KOTOMONO.CO – Pertama, saya akan memulainya dengan grand isu yang mendasari Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) ini dikeluarkan. Setelah ini, saya akan menyebutnya Permendikbudristek saja. Atau mungkin Permen saja deh, biar nggak terlalu ribet dibaca.
Permen tersebut muncul didasari karena kasus kekerasan seksual yang tak pernah tuntas diselesaikan. Tahun 2020 saja, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) kasus kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan sebanyak 11.637. Sementara, sampai Juni 2021, kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai 3.122 kasus.
Melihat banyaknya kasus kekerasan seksual, terutama yang menimpa perempuan dan anak, tentu akan memancing emosional siapa saja. Orang tentu saja akan tergerak kemanusiaannya untuk langsung terenyuh sekaligus mengutuk kasus kekerasan seksual. Jika tidak, mungkin kamu termasuk pelakunya.
Jawaban awalnya ada di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sayangnya draft RUU tersebut tak kunjung disahkan, dan DPR malah mengesahkan RUU yang blass nggak relevan dan sangat elitis: Omnibus Law. Nah, Nadiem Makarim sebagai Mendikbud-Ristek berinisiatif mengeluarkan Permen itu tadi.
Tujuannya, sudah jelas untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, terutama di Perguruan Tinggi. Mengapa? Karena setiap kali terjadi kasus kekerasan seksual, nggak pernah hukum itu memihak kepada korban. Apalagi kalau si penyintas adalah mahasiswi dan pelakunya dosen sendiri atau malah dekannya sendiri, atau rektornya sendiri.
Penyintas jelas nggak mau atau nggak punya daya buat speak up. Ada relasi kuasa yang berjalan di sana. Si dosen akan sangat leluasa mengontrol mahasiswi yang macam-macam, meski justru ia sendiri yang macam-macam. Misalnya, dengan ancaman nilai.
BACA JUGA: Kok Bisa Informasi Kebijakan Pemkot Pekalongan Nggak Sampai ke Warga?
Hal itu bikin para penyintas kekerasan seksual, di kampus terutama, harus mengalami trauma. Beberapa bahkan ada yang memutuskan untuk berhenti kuliah, daripada harus bertemu predator seksual di kampus. Maksudnya Mas Menteri mengeluarkan Permen, ya, karena itu. Lewat Permen tersebut, Mas Nadiem pengin kalau mahasiswa-mahasiswi ini bisa kuliah dengan nyaman, tanpa ancaman dari para predator seksual.
Oke, saya akan bahas pasal di Permendikbudristek 30 tersebut, yang konon kontroversial. Padahal menurut saya mah dikontroversi-kontroversikan doang itu. Paling tidak biar kamu nggak kocak kayak MUI yang menolak peraturan yang penuh kemaslahatan ini.
Pasal 1 (ayat 14) tentang Kewajiban Pembentukan Satuan Tugas, yang berbunyi:
14. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Pasal ini sudah sangat jelas ya. Bahwa nanti akan dibentuk semacam satgas yang fungsinya seperti pusat informasi. Satgas inilah yang akan melaporkan tindakan ke pusat, dengan catatan tidak ada sanksi yang bisa diberikan oleh pihak kampus. Tapi yang pasti, dan harusnya sih, satgas di sini nggak kayak satgas mafia bola yang dibentuk PSSI.
Pasal 3 tentang Prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:
a. kepentingan terbaik bagi Korban;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
d. akuntabilitas;
e. independen;
f. kehati-hatian;
g. konsisten; dan
h. jaminan ketidakberulangan.
Poin-poin di atas sudah sangat jelas. Apalagi untuk poin (a). Selama ini korban atau penyintas sering nggak diperhatikan. Meski pelaku kekerasan seksual ditangkap, tapi terkadang lupa untuk melakukan pemulihan terhadap penyintas.
Padahal pemulihan adalah sesuatu yang sangat penting. Agar si korban atau penyintas bisa melanjutkan hidup. Tidak terbayang-bayang oleh perilaku bejat dosennya, atau rektornya, atau malah temennya sendiri. Dalam poin (a) tersebut menunjukkan kalau Permendikbudristek ini memihak kepada korban. Itu.
Pasal 5
(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian
tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m,
dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.
Panjang? Ha ha ha. Tapi Pasal inilah yang membuat PKS meradang, MUI bersungut-sungut menolak, dan kelompok-kelompok relijies sangat juga tak ketinggalan ikut berkata “HARAM!!!”
Yang mereka perdebatkan adalah frasa “TANPA PERSETUJUAN KORBAN“. Sengaja saya tulis pakai huruf kapital, biar pada melek, dan biar jelas apa yang masih debatable. Frasa tersebut pada ayat 2 diulang sebanyak enam kali. Para kaum kolot yang menolak itu menganggap kalau Permendikbudristek 30 sebagai upaya untuk melegalisasi zina.
Malahan lebih dari itu, Mas Menteri dinilai pro terhadap seks bebas. Itu karena frasa “TANPA PERSETUJUAN KORBAN“, yang dipahami mereka adalah kalau mendapat persetujuan berarti boleh berhubungan seks meskipun bukan suami-istri. Jadi, lewat peraturan tersebut Mas Nadiem melegalkan zina. Astaghfirullah…
Begini ya, saudaraku yang otaknya hanya sebesar kacang Garuda Rosta, zina dan kekerasan seksual itu berbeda. Nah, peraturan yang dibuat Mas Menteri itu untuk KEKERASAN SEKSUAL. Definisi kekerasan seksual sudah ada di pasal 5 ayat 2.
Dalam poin yang ada frasa “TANPA PERSETUJUAN KORBAN” itu untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan ada consent dari si korban atau tidak. Jika tidak, tentu saja itu masuk ke kategori kekerasan seksual. Umpamanya gini deh, kamu pinjem motor temen dengan izin, nah itu namanya pinjem. Berbeda kalau kamu main ambil saja motornya, tanpa izin itu namanya mencuri dan itu kejahatan.
BACA JUGA: Mari Kita Sejenak Gelengkan Kepala untuk Vonis Bebas Dua Terdakwa Korupsi Bansos di Bandung Barat
Misalkan ada consent atau persetujuan pun juga harus dilihat kondisi korban sesuai ayat 3. Kalaupun ternyata mendapat persetujuan, kemudian yang terjadi zina seperti yang ditakutkan MUI, ya, itu sudah bukan ranah Permen ini lagi. Carilah undang-undang pidana soal itu, apa perselingkuhan atau apa kek. Nggak nemu?
Iya, iya lah, zina itu kan urusan privat, masak negara mau ngatur urusan privat? Sementara kekerasan seksual masuk ke ranah publik. Sampai sini harusnya sih, kamu-kamu sudah bisa bedain mana zina mana kekerasan seksual. Ya, kan? Wong bedain tender bodong sama yang profitabel saja bisa.