KOTOMONO.CO – Pelajaran menggambar tidak bisa disepelekan begitu saja. Pelajaran ini sama pentingnya dengan pelajaran-pelajaran lain.
Menggambar, oleh sebagian orang dianggap sebagai keterampilan yang nggak sembarangan. Begitu juga menyanyi, menari, ataupun bidang-bidang lainnya yang dikaitkan dengan seni. Menurut pandangan ini, hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya dengan sempurna. Dengan kata lain, orang yang mampu melakukannya dengan baik dianggap berbakat. Bakat?
Padahal, kalau mau jujur, semua orang bisa menggambar. Semua orang juga bisa menyanyi, menari, memainkan alat musik, ataupun menulis puisi. Problemnya hanya soal elok atau tidak. Jika elok, orang-orang akan mengatakan itu karena bakat. Jika kurang elok, orang-orang akan menganggapnya itu bukan bakatnya.
Oh betapa celakanya seseorang yang dianggap tidak berbakat itu. Langkahnya untuk bisa melakukan hal-hal lebih dari yang sekarang dipasung oleh anggapan itu. Seolah ia kena vonis, bahwa haram baginya untuk menggambar, menyanyi, menari, memainkan alat musik, atau menulis puisi. Seperti kena kutukan dewa yang langsung mengirimkan petir menyambar tubuhnya.
Indirectly, anggapan itu mematikan potensi diri seseorang yang barangkali punya minat besar untuk mengembangkan dirinya di bidang itu. Tetapi, karena dianggap tidak berbakat, ia bisa saja nyerah dan malas menekuni apa yang diminatinya. Lalu, banting setir ke bidang lain yang boleh jadi sama sekali nggak diminatinya, alias kepaksa nikung.
Yang bikin parah lagi, dunia pendidikan kita. Terutama, pada jenjang pendidikan dasar. Tidak jarang saya temui seorang guru terjebak dalam lubang anggapan yang senada. Bahwa dunia seni itu urusan bakat. Dengan begitu, guru seolah-olah pegang kartu sakti, bahwa ia tak mesti mengajarkan teknik menggambar dengan baik. Pelajaran menggambar cukup diberikan dengan penugasan. Guru hanya memberikan deskripsi tugas kepada murid-muridnya; menggambar buah-buahan, pemandangan alam, membikin gambar dengan arsiran, atau lainnya, pokoknya sesuai dengan anjuran kurikulum.
Jam pelajaran menggambar pun terbatas. Tak lebih banyak porsinya dari pelajaran lain. Coba saja bandingkan dengan pelajaran Matematika misalnya. Lebih banyak mana?
Padahal, di dalam pelajaran menggambar ada banyak teknik dan tahapan yang harus dilewati oleh seseorang agar bisa menggambar dengan baik. Tetapi, dengan jatah waktu terbatas teknik-teknik itu mustahil dikenalkan semuanya. Tahapan-tahapannya pun boleh jadi rancu. Nggak urut.
Malah, dalam kurikulum pendidikan dasar saat ini, pelajaran seni dijadikan satu paket dalam satu mapel; Seni Budaya dan Keterampilan. Makin sempit pula kesempatan anak untuk mendapatkan pelajaran menggambar.
Pun demikian pada diri guru. Disadari atau tidak, guru SD adalah guru yang multi. Semua mata pelajaran kudu diajarkannya, kecuali pelajaran agama dan olahraga. Biasanya, dua jenis mapel ini ada gurunya sendiri.
Otomatis, tanggung jawab guru pun amat besar. Selain harus mengajarkan semua mapel, guru juga harus menguasai semua mapel. Tetapi, tidak semua guru mampu seperti itu. Apalagi kalau kita tarik anggapan di awal tulisan ini, bahwa urusan seni adalah urusan bakat. Anggapan itu secara tak disadari telah membunuh potensi diri pada guru itu sendiri. Karena merasa tak punya bakat, ia pun lantas tak terlalu serius mengajarkan bagaimana menggambar yang baik.
Orientasi guru cenderung mengarah pada pelajaran-pelajaran yang dianggap menentukan kelulusan seorang murid. Seperti Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, maupun IPS. Sementara, pelajaran menggambar yang diintegrasikan ke dalam mapel SBK, cukuplah hanya jadi pemanis.
Tidak heran jika di dunia pendidikan jarang ada guru yang buka les menggambar. Paling-paling ya les Bahasa Inggris, Matematika atau pelajaran-pelajaran lain yang dianggap sulit. Untuk urusan menggambar, guru cukuplah dengan mencari anak yang “berbakat” saat ada ajang lomba yang
“diwajibkan” oleh Dinas Pendidikan. Cara ini dilakukan dengan sistem bypass. Hanya melihat karya anak-anak yang menurut penilaian guru dianggap bagus. Bukan benar-benar dilihat dari kemampuan atau keterampilan anak.
Pengalaman saya ketika SD dulu begitu. Saya kerap ditunjuk ikut lomba bidang seni. Bukan karena pengamatan guru terhadap proses yang saya jalani. Akan tetapi, hanya karena gambar saya dapat nilai delapan. Saat itu pula saya dianggap punya bakat.
Tetapi sekarang, setelah sekian lama tak menekuni dunia seni rupa, terutama menggambar dan melukis, kemampuan saya menumpul. Saya melihat banyak teman-teman saya yang dulu tak pandai menggambar justru punya karya lukis yang jauh melampaui saya dulu. Saya pun kemudian berpikir, mestinya teman saya ini yang dulu diikutkan lomba. Bukan saya.
Saya bahkan baru mengenal teknik menggambar justru pada saat saya duduk di bangku SMP. Ketika itu, Pak Suim, guru Seni Rupa saya, dengan telaten mengajarkan teknik-teknik menggambar. Mulai dari teknik yang sederhana sampai yang rumit. Dan memang, Pak Suim adalah jebolan dari Akademi Seni Rupa Indonesia. Jadi, beliau sangat menguasai teknik dan tahapan menggambar.
Begitu di SMA, pelajaran seni rupa hilang. Waktu itu, satu-satunya pelajaran seni yang saya peroleh hanya seni musik. Itu pun tak terlampau serius diberikan. Apalagi SMA yang saya duduki kala itu tergolong sekolah favorit. Sekolah yang menyandang prestasi akademik yang lumayan baik. Tentu, orientasinya ya ke arah akademik.
Betapa masalah ini sebenarnya masalah serius. Tetapi, sampai detik ini, rasa-rasanya tak pernah mendapatkan perhatian lebih. Mungkin karena kompleksitas masalah dunia pendidikan yang tak ada ujungnya.
Bagi saya, menggambar tidak sekadar menggoreskan imajinasi. Akan tetapi, sangat erat hubungannya dengan pembentukan pribadi. Seseorang yang benar-benar tekun mempelajari dunia seni rupa akan cenderung menjadi pengamat yang sangat cermat. Ia akan memperhatikan sampai pada detil-detilnya. Ia juga akan memperhitungkan secara saksama ukuran, skala, jarak, porsi, dan segala macamnya, sehingga komposisi gambarnya menjadi sangat bisa diterima. Antara logika dan estetika pun dikawinkan. Tidak semata-mata khayalan.
Dengan kata lain, pelajaran menggambar juga melatih seorang anak untuk mendalami semua mata pelajaran lain yang diajarkan. Tidak terkecuali Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Sosial, Sejarah, dan lain-lain. Pelajaran menggambar, dengan demikian, bisa dijadikan semacam metode atau pendekatan untuk menyelami pelajaran-pelajaran lain yang diajarkan.
Saya kira, perlu kesungguhan untuk mengajarkan pelajaran yang satu ini, walau selama ini pelajaran menggambar semata-mata dianggap sebagai pelajaran rekreatif. Tetapi, apa sih makna di balik istilah rekreatif? Di dalamnya ada banyak aspek yang juga patut dipertimbangkan. Daya kreasi, pengamatan, ketepatan, dan sebagainya.
Jadi, pelajaran menggambar tidak bisa disepelekan begitu saja. Pelajaran ini sama pentingnya dengan pelajaran-pelajaran lain. Pandangan ini saya peroleh ketika saya membaca novel Pangeran dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Efendi. Novel ini berkisah perjalanan karier Raden Saleh sebagai seorang maestro seni lukis. Namanya kesohor di Eropa. Tetapi, proses panjangnya patut menjadi pelajaran bagi siapa saja.