“Jasmerah, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah.”
KOTOMONO.CO – Begitulah kalimat yang keluar dari mulut sang proklamator kita, Bung Karno. Kalimat yang tentu saja selalu diingat oleh para sejarahwan dan pembelajar sejarah. Kalimat yang sering kali dipahami sebagai amanat Bung Karno agar masyarakat di masa depan, termasuk hari ini tak melupakan sejarah.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Kira-kira begitu amanat berikutnya. Namun pernahkah kita berpikir bahwa mungkin saja Bung Karno mengatakan itu agar seluruh masyarakat Indonesia tak melupakan secara khusus jasa-jasanya sebagai founding father negeri ini?
Kalimat “Jasmerah” tadi bisa jadi sebuah propaganda yang tanpa kita sadari ditanamkan oleh Bung Karno. Barangkali Bung Karno tak mau, kelak masyarakat Indonesia melupakan jerih payahnya. Alhasil, Bung Karno pun dikenang dan tetap digadang-gadang sebagai tokoh sentral dalam sejarah Indonesia.
Bahkan, saking kuatnya propaganda itu, berhasil pula dipakai Bu Mega sebagai alat pembanggaan diri sekaligus propaganda. Pun dengan seluruh anak keturunan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Kalimat “Jasmerah” ternyata juga menancap kuat ke tempurung kepala masyarakat hingga sudut yang paling kecil. Sampai-sampai ke setiap masing-masing kota. Di Kota Pekalongan sampai pula ke sudut terkecil lagi: kelurahan.
Mungkin karena perspektif “Jasmerah” itulah, Angga Panji Wijaya menulis tulisan Jangan Ngimpi Nama Kelurahan Bisa Beneran Kembali. Dalam tulisannya itu, Angga menulis, singkatnya bahwa perubahan nama kelurahan dengan metode merger atau digabung menciderai sejarah dan asal-usul kelurahan tersebut.
Dengan ciamik, Angga memberikan contoh masyarakat Landungsari yang melancarkan gelombang protes karena kelurahannya digabung dengan Noyontaan dan menjadi Noyontaansari. Angga menulis hal itu acuh terhadap sejarah kelurahan. Di mana ada sosok Mbah Landung yang dianggap hero.
Penggabungan kelurahan menghapus sejarah, begitu yang ditulis Angga. Saya nggak paham apa yang dimaksud menghapus sejarah oleh beliau. Menurut saya, Angga hanya berlebihan saja menilai penggabungan kelurahan sebagai bentuk tak peduli pada sejarah setempat.
Sebab, penggabungan kelurahan hanya persoalan administratif saja. Sama sekali tak akan pernah bisa mempengaruhi sejarah. Apalagi sampai mengubahnya. Begini, sosok Mbah Landung tadi misalnya, akan tetap disegani dan dikenal oleh seluruh masyarakat Kota Pekalongan, terutama warga Landungsari. Kendati nama kelurahannya digabung dengan Noyontaan.
Seperti halnya Yogyakarta tetap dikenal sebagai pusat pemerintahan kerajaan Mataram, meski namanya sudah bukan Mataram. Malah sekarang Mataramnya ada di Nusa Tenggara Barat. Atau kerajaan di dataran Pasundan, yang sekarang sudah menjadi nama-nama kota seperti Bandung, Garut, dan sebagainya. Apa mungkin masyarakat Bandung dan Yogyakarta tadi melupakan sejarahnya?
Tentu tidak. Sama sekali tidak. Karena nama sebuah wilayah sendiri itu bagian dari sejarah. Sementara sejarah sifatnya fluktuatif. Sejarah bukan sesuatu yang saklek. Kebenaran sejarah tak bisa dipastikan.
Angga menulis, kebijakan merger kelurahan di Kota Pekalongan sarat unsur politis yang beliau asumsikan justru merugikan. Nah, tepat di situlah kelemahan tulisan Angga. Beliau agaknya lupa bahwa perubahan nama wilayah sejak dulu memang sarat kepentingan politik. Tapi itu dulu, dulu banget.
Semestinya hari ini hal demikian nggak berlaku. Saya yakin masyarakat Kota Pekalongan semakin cerdas. Masyarakat tak mungkin terperdaya oleh janji manis politisi yang mendompleng isu picisan seperti pengembalian nama kelurahan. Ayolah, masyarakat Kota Pekalongan ngga mungkinkan seprimitif itu?
Kalaupun ada calon walikota yang memasang janji kampanye untuk mengembalikan nama kelurahan, masyarakat Kota Pekalongan sebaiknya tak usahlah terlalu berbahagia. Seolah-olah mendapatkan mutiara di dalam mulut kerang yang terdampar di tepi pantai. Tidak… tidak, bukan persoalan ditepati atau tidaknya. Tapi program itu sama sekali tak substansial.
Pengembalian nama kelurahan jika benar-benar terlaksana, tak bisa mempengaruhi apa-apa. Buruh akan tetap terlunta-lunta. Pedagang kecil akan tetap digusur Satpol PP. Tukang ngelorot masih ngelorot, dan sebagainya. Paling banter nama Mbah, Kyai, Buyut yang menjadi sosok hero kembali terabadikan.
Lagi pula tujuan awal penggabungan kelurahan ini adalah agar pelayanan lebih efektif dan efisien. Mengenai asal-usul nama, sejarah, atau cerita-cerita yang ada bukanlah urusan pemerintah daerah. Mbok pikir wae, penggabungan kelurahan kok kudu mikirin asal-usul segala? Dari yang semula pengin efisien jadi nggak efisien kalau gitu caranya.
Pun perkara jarak, lebih jauh dan semacamnya. Itu hanya soal pembiasaan saja. Toh jika kita menilik di daerah-daerah dataran tinggi, misal Batang atau Kabupaten Pekalongan. Beberapa kantor kelurahan justru punya lokasi yang jauh dari pemukiman, ataupun ada pemukiman yang jauh dari kelurahan. Toh mereka santai-santai saja tuh.
Baca juga : Nonton Debat Pilkada, Berasa Makan Klepon Tanpa Kinco
Saya tak mau menjadi warga Kota Pekalongan yang mentah-mentah termakan isu sejarah yang di politisasi. Saya yakin, kelurahan mau berubah-ubah namanya, masyarakat akan tetap mengenal Landungsari ya Landungsari, Kraton ya Kraton, Kramatsari ya Kramatsari, Bumirejo ya Bumirejo. Pemerintah daerah boleh sesuka hati mengubah-ubah Perda, tapi apa yang sudah terpatri di benak masyarakat, itu yang tak mungkin berubah.