KOTOMONO.CO – Saya nggak tahu, apakah generasi milenial zaman now itu masih doyan nonton wayang orang. Tetapi, saya sengaja memunculkan tulisan ini karena saya suka menonton pergelaran wayang orang. Minimal, nontonnya via youtube. Maklum, di Pekalongan amat jarang dan bahkan mungkin nggak pernah ada pentas wayang orang.
Nah, salah satu adegan yang saya suka dalam pentas wayang orang itu adalah perang kembang. Apa itu? Yaitu perang antara Arjuna dan Cakil.
Dalam adegan ini, tokoh idola saya adalah Cakil. Memang sih, boleh dibilang tokoh yang satu ini tokoh yang paling apes di sepanjang sejarah cerita Mahabharata. Setiap kali muncul di atas panggung, dia hanya dipertontonkan sebagai sosok pecundang. Lawan yang ia hadapi adalah lawan yang tak sebanding, sehingga ia tampak seperti ksatria bodoh, tak pandai memilih lawan yang tepat.
Meski kalah, ia layak mendongakkan dagu dan membusungkan dada. Kekalahannya, bagi saya, adalah kekalahan yang tak sia-sia. Ia menghadapi lawan yang tentu lebih besar darinya. Ia boleh dibilang sebagai heronya wangsa yaksa, penguasa hutan. Apalagi, dengan aksi panggungnya yang energik. Gayanya yang pethakilan, guling-guling, salto, jingkrak-jingkrak, lompat sana-sini, diselingi aksi lincahnya memainkan keris adalah bukti keseriusannya melakukan perlawanan. Penuh daya dan benar-benar bersemangat. Panggung pun jadi tampak hidup, lebih bernyawa.
Sebagai penonton, saya merasa disuguhi tontonan yang menarik dan atraktif. Beda dengan pola permainan Arjuna yang tampak sedikit gerak dan kurang atraktif. Tentu, maksudnya mungkin ingin menunjukkan kalau Arjuna itu seorang ksatria yang sakti mandraguna. Ia tak perlu polesan agar tampak benar-benar sakti. Atau bisa jadi aksi Arjuna yang cenderung sedikit gerak itu hanya sebuah upaya untuk menciptakan keseimbangan di atas panggung. Hm… mungkin saja begitu.
Sebab yang namanya keseimbangan, salah satunya dapat diwujudkan dengan cara menampilkan gaya yang berbeda. Atau mungkin, perbedaan gaya itulah yang sebenarnya menghidupkan suasana panggung. Karena di dalam keseimbangan butuh dua kutub yang berbeda. Ada yang sakti, ada yang tidak. Ada yang menang, harus ada yang kalah. Ada yang perthakilan, juga mesti ada yang bersahaja. Dan semakin banyak variasi alias keragaman itu, semakin hiduplah panggung. Sekalipun, dengan dua variabel pun sudah cukup. Setidaknya, untuk menghadirkan konflik.
Baca juga : Dongeng Timun Mas dan Ramalan Masa Depan
Nah, konflik inilah yang menjadi inti dari peristiwa. Tidak akan ada peristiwa jika tidak ada konflik. Tetapi, apa sebenarnya tujuan dari konflik itu?
Tidak lain adalah untuk menemukan keindahan-keindahan dalam kehidupan. Keindahan, tidak lain adalah sebuah komposisi yang lengkap. Diisi oleh berbagai elemen-elemen yang berbeda. Elemen-elemen ini kemudian disusun sedemikian rupa, sehingga menampilkan wujud dunia yang lengkap.
Seperti pertunjukan wayang orang yang menampilkan sosok protagonis dan antagonis bermain dalam satu panggung. Mereka bertarung dalam sebuah peperangan. Di saat itu, yang kita tonton bukan siapa yang benar atau salah, bukan siapa yang akan menang atau kalah. Tetapi, yang kita saksikan adalah cara mereka bertarung yang menampilkan permainan komposisi gaya berlaga.
Keindahan yang demikian, tentu butuh proses pengendapan untuk dicerap. Tidak bisa langsung. Tidak serta-merta bisa dihakimi dan dihukumi. Butuh proses sampai benar-benar kita menemukan. Seperti saat kita menyaksikan lautan yang luas, maka keindahan yang kita temukan barangkali bukanlah air yang melimpah di tengah laut. Tetapi, bisa saja hanya setetes air dari bermiliyar-miliyar kubik volume air di lautan.
Maka, demikian pula saya memandang tokoh yang hobinya pethakilan ini. Cakil mati gara-gara tingkah pethakilannya sendiri. Saat melawan Arjuna, ia harus mati oleh kerisnya sendiri. Oleh tangannya sendiri pula. Tentu, cara mati yang begitu itu dianggap cara bodoh dan konyol, sekaligus tragis. Dari itu tampak bahwa cara matinya Cakil memperlihatkan dua peristiwa dalam satu waktu. Di satu sisi terkesan komedi, karena Cakil mati konyol. Di sisi lainnya, terkesan tragis karena miris. Seorang ksatria mati ditangannya sendiri. Pertanyaannya kemudian, terlepas dari unsur salah-benar, kalah-menang, apakah kita harus tertawa atau menangis melihat yang demikian itu?
Rupanya tidak. Kita sama sekali tidak dibikin menangis ataupun tertawa. Tetapi, diam-diam atau mungkin terang-terang, kita justru menyoraki peristiwa peperangan itu. Sekalipun kita hafal betul hasil akhir dari peperangan itu, tetapi kita memilih menjadi chearleader. Bersorak sorai untuk setiap ketegangan yang hadir dalam peperangan itu. Tetapi, siapa yang kita pihaki? Ternyata tidak ada yang kita pihaki. Kita hanya memihak pada kemenarikan aksi laga mereka di atas panggung.
Sementara, bagi kematian Cakil, bagi caranya mati, kita cenderung diam. Mengapa? Karena alam bawah sadar kita tengah digugah oleh keindahan lain. Keindahan dalam dimensi yang berbeda. Memang, ada yang mungkin diam karena merasa lega, Arjuna menang. Tetapi, kemenangan Arjuna hanyalah efek. Ia memang mampu meredakan ketegangan-ketegangan selama peperangan terjadi. Tetapi, di balik kemenangan itu ada dimensi keindahan yang sangat halus. Keindahan itu hanya mampu ditangkap melalui alam bawah sadar. Bahwa kematian Cakil bukanlah soal kekalahan. Tetapi, kematian Cakil adalah soal diri yang kembali pada diri. Di situlah ada kesunyian. Ada jeda. Sebagaimana dalam lanjutan peristiwa itu. Ada jeda yang hening sebelum akhirnya Arjuna didatangi para Punakawan.
Baca juga : Kisah Klasik Penuh Mistik SMANSA Pekalongan
Ketika Arjuna dipertemukan dengan Punakawan, ia mengungkap kegelisahannya. Ia risau, jika tangannya membawa bencana. Tangannya menggenggam dosa. Ia takut kena karma. Tetapi, oleh Ki Lurah Semar, Arjuna ditenangkan. Semar tidak memandang apa yang dilakukan Arjuna sebagai kesalahan. Sebaliknya, Semar berpesan agar Arjuna lebih waspada. Gemi nastiti lan ngati-ati. Weling Semar agar Arjuna waspada terhadap dirinya sendiri, sebab kesaktian Arjuna makin bertambah. Maka, bukan tidak mungkin akan banyak mengundang musuh. Tetapi, siapa musuh itu? Tidak lain adalah musuh dalam diri yang sewaktu-waktu bisa membunuh dirinya sendiri.
Dari sini pula, Semar sebenarnya tengah mengungkap apa itu kedaulatan dalam diri. Kedaulatan bukan semata soal teritori, melainkan bagaimana bersikap pada diri. Cakil adalah tokoh yang sebenarnya berusaha mempertahankan kedaulatan. Tetapi, kedaulatan yang dipahami Cakil tidak lebih pada persoalan teritori. Wilayah kekuasaan. Ia terusik oleh kehadiran Arjuna yang tapa brata di hutan kekuasaannya. Maka, wajar jika Cakil mengusir Arjuna. Usaha Cakil boleh dibilang sebagai caranya mengartikulasikan makna kepahlawanan dan cinta tanah air. Ia mesti tampil di garda depan. Melawan dan mengusir segala gangguan. Ia harus tampil sebagai teladan, menjadi contoh bagaimana melakukan perlawanan. Tetapi, ia lupa bahwa ada bagian yang rapuh pada dirinya. Ia belum sempat melawan dirinya sendiri.
Sementara Arjuna, adalah seorang yang masih dalam masa belajar. Wajar pula jika ia kadang kurang ajar. Kekurangajaran Arjuna ini dibuktikan dengan menerobos teritori Cakil tanpa pamit, tanpa permisi. Baginya, hutan yang dikuasai Cakil adalah laboratorium yang berfungsi untuk menguji ilmu dan kesaktiannya. Tersebab itu, Semar pun mengritik cara Arjuna. Sekalipun menang, Arjuna dipandang sama hinanya dengan Cakil. Sebab, kememangan Arjuna bukanlah sesuatu yang mesti dianggap prestasi. Dibangga-banggakan sebagai perihal yang prestisius. Kemenangan Arjuna semata-mata kebetulan. Sebab, kemenangan Arjuna memang dikehendaki. Tetapi, bukan kehendak Arjuna sendiri. Arjuna hanya menjalani nasibnya.
Menurut Semar, Arjuna tak boleh sombong, karena sombong hanya akan merobohkan kedaulatan dalam diri. Seperti yang terjadi pada Cakil yang silau pada konsep kedaulatan teritori. Ia membela sesuatu yang ia sendiri sebenarnya belum seratus persen ia pahami. Bahwa teritori yang ia sebut-sebut sebagai kekuasaannya hanyalah suatu konsep yang abstrak. Sekalipun tampak kasatmata, karena ada wilayah, batas, pemetaan kawasan, dan sistem kekuasaan yang dibangunnya. Tetapi, ia lupa memetakan dirinya sendiri. Lupalah menjaga wilayah diri. Ia lupa meneropong kawasan dirinya, tetapi sibuk meneropong kawasan kekuasaan yang sejatinya tidak nyata. Kekuasaan (manusia) hanya batas-batas prasangka. Diukur dengan kira-kira yang dirasiokan melalui luas yang diangkakan. Padahal, kekuasaan sejati tak terhitung dan tak hingga. Angka tak mampu menjangkau.
BACA JUGA artikel Ribut Achwandi lainnya