KOTOMONO.CO – Jika konten yang dibikin asal-asalan disertai niat mengejar viewer, tamatlah riwayat kita. Kebodohan akan merajalela di mana-mana.
SIM yang kita tahu yaitu Surat Ijin Mengemudi, di mana dia diperlukan sebagai syarat wajib tapi suka dilanggar pengendara. Baik itu sepeda motor roda dua hingga kendaraan roda rangkap (baca: tronton). Namun, SIM yang saya maksud dalam tulisan ini berbeda. SIM: Surat Ijin Mengonten.
Ide ini muncul begitu saja setelah saya menonton cuplikan konten TikTok yang sempat jadi topik panas beberapa akun Twitter. Ada seorang ibu memberi minum anaknya yang masih berusia tujuh bulan dengan kopi. Kamu nggak salah baca: tujuh bulan. Bayi dalam video tersebut terlihat gemoy dan meminum kopi yang disuapkan ibunya memakai sendok.
Dis! Pentingnya edukasi, hadeh pic.twitter.com/nYjobrTZf9
— AREA JULID (@AREAJULID) January 22, 2023
Berikut saya kutipkan story line yang ditambahkan dalam video tersebut.
“Bayi minum good day kan ada susunya daripada dikasih susu frisian flag katanya ndak ada susunya. Kemarin-kemarin bayi BAB sepuluh kali sehari, alhamdulillah sejak minum susu kopi sekarang dia BAB sembilan kali sehari“.
Tahan dulu shock-nya. Masih dengan ibu dan bayi yang sama, pada konten yang lain, story line-nya juga nggak kalah mengejutkan.
“Alhamdulillah dapet ayam, bayi usia tujuh bulan makan ayam pedas sama nasi tapi ndak bisa ngunyah karena dia ndak punya gigi kasihan dia cuma bisa telan“.
“Bayi makan ayam bakar pedas sama nasi alhamdulillah dikasih. Bayi tujuh bulan makan seadanya aja dulu nanti baru makan ayam recheese sama jus“.
Masih ada beberapa konten lagi, tapi saya rasa tiga itu sudah cukup mewakili. Nah, sudahkah anda melihat benang merahnya?
Yap! Saya mengkhawatirkan kegoblokan ini menjamur bakal tumbuhnya bibit-bibit kreator yang nggak bertanggung jawab yang dapat merusak kesucian pikiran orang lain. Lha wong sekarang saja sebenarnya sudah banyak kok.
BACA JUGA: Tipe Orang Yang Cocok Nonton Channel Youtube Ria Ricis
Baiklah mari langsung kita urai saja standarisasi seseorang diperbolehkan mengonten atau sederet ujian yang perlu dilewati untuk mendapatkan Surat Ijin Mengonten biar hal seperti ini nggak terulang.
Punya Otak
Ini syarat utama yang wajib dimiliki. Entahlah nanti mau pakai CT scan atau teknik apa, yang pasti tiap-tiap individu yang menginginkan kebebasan berekspresi di media sosial baiknya punya otak yang masih berfungsi dengan baik. Bukan sebatas isian kepala tok.
Seperti ibu tadi misalnya. Memang betul susu kental manis sebenarnya tidak mengandung susu, tapi hal itu bukan lantas bayi tujuh bulan boleh dikasih kopi yang katanya mengandung susu. Terlebih cerita selanjutnya. Lagi-lagi memang benar intensitas BAB anak dari sepuluh ke sembilan itu berkurang dan patut disyukuri, tapi jumlah normalnya nggak sebanyak itu juga. Hohohooo.
Saya nggak punya kapasitas yang cukup untuk menjelaskan lebih detail perihal sisi medisnya. Alasan-alasan kenapa bayi boleh makan ini atau itu, atau kemungkinan gangguan yang bisa mengintainya.
Tapi secara logika nih, kalau ibu merasa kasihan dengan anaknya yang belum punya gigi jadi nggak bisa menelan makanan dengan baik, lantas kenapa pula masih kau kasih itu nasi sampai mau habis, hah?! Ayam pedas segala pula.
Ayolah, gunakan logika berpikir dulu sebelum memutuskan membuat konten. Masak iya selama proses pencarian ide, eksekusi, hingga memutusan mengunggahnya nggak kepikiran sama sekali? Oh iya, kan belum pasti ada.
Ada Sedikit Kemampuan Meramal Masa Depan
Jangan berpikiran kalau mau mendapat SIM kudu bisa meramal cuaca bulan depan dulu. Bukan, itu urusan BMKG. Kemampuan meramal yang saya maksud di sini adalah pertimbangan-pertimbangan yang akan terjadi ke depan jika kamu memutuskan membuat konten yang akan disebarluaskan itu.
Apakah bisa berdampak positif untuk dirimu sendiri, followers, bahkan pengguna medsos lain yang nggak kamu kenal dan nggak bisa kamu prediksi? Lebih simpelnya lagi, kontenmu itu akan merugikanmu tidak? Jangan sampai lho kelak, jejak digital masih tertinggal kemudian anak cucumu menanggung malu melihat kebodohan yang kamu abadikan.
BACA JUGA: Job Seeker Pekalongan Minim Literasi, Komentar Postingan Medsos Buktinya
Kembali ke ibu tadi. Salah satu akun yang juga ibu-ibu ada yang berkomentar, mungkin karena saking gemasnya. Katanya, dia sampai rela menggadaikan HP buat beli susu, agar anaknya nggak minum air putih. Dibalaslah komentar tadi oleh si ibu yang milih kopi susu, “Kalau HP saya digadai, gimana saya main TikTok“.
Glubrakkk!
Aduh nak, rupanya asupan nutrisimu tidak lebih penting dibanding sebuah aplikasi. Semoga kau tetap sehat dan tumbuh dengan segudang pengertian serta kebijaksanaan. Huhuhuuu.
Tidak Memiliki Semangat Menyebar Kebodohan
Jika konten yang dibikin asal-asalan disertai niat mengejar viewer, tamatlah riwayat kita. Kebodohan akan merajalela di mana-mana. Puncaknya, konten demikian bisa dikonsumsi oleh orang lain dengan pengetahuan minim juga dan kemudian ikut mempraktikkannya.
Entah itu meniru perbuatan yang ditampilkan dalam konten, atau cara kreator mengolah kontennya. Kalaupun niat membikin konten untuk tujuan lain, apakah nggak lebih baik dilakukan dengan cara yang lebih bisa dimaklumi? Kembali ke poin pertama sih, punya otak terlebih dahulu.