KOTOMONO.CO – Wilayah Nusantara kaya akan berbagai warisan budaya yang adiluhung, baik berupa warisan benda (tangible) maupun warisan tak benda (intangible). Warisan budaya tersebut mencakup hampir semua sendi kehidupan kita, mulai yang bersifat spiritual, seni, hubungan kemasyarakatan, sampai hal-hal kecil seperti permainan.
Berbicara tentang permainan mungkin yang terlintas di benak kita adalah sesuatu yang remeh-temeh berkenaan dengan urusan anak-anak. Namun tahukah sobat kotomono? Ada banyak bentuk permainan di Nusantara yang awalnya adalah sesuatu yang serius. Ada banyak ragam permainan tradisional yang merupakan turunan atau bentuk adaptasi dari sebuah seni perang dan olah keprajuritan pada jaman kerajaan.
Seni perang dan olah keprajuritan tersebut menemukan masa kejayaan di masa lampau, ketika perang antar kerajaan masih relatif sering terjadi. Ketika memasuki era modern yang relatif damai, seni olah keprajuritan harus mencari bentuk baru agar bisa bertahan dan tetap dikenal oleh generasi penerus. Salah satu caranya adalah dengan diadaptasikan dalam bentuk permainan.
Berikut contoh beberapa bentuk permainan yang merupakan adaptasi dari seni perang dan olah keprajuritan jaman kerajaan:
1. Pasola
Pasola merupakan permainan perang-perangan yang dilakukan oleh masyarakat adat Sumba, Nusa Tenggara Timur. Permainan ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan, harus atas ijin seorang tetua adat yang disebut Rato. Sebelum melaksanakan pasola, seorang Rato harus mendapatkan ijin dari leluhur melalui ritual nyale terlebih dahulu.
Dalam permainan ini dua warga desa (desa pesisir laut dan desa yang ada di gunung) bertemu di lapangan untuk beradu ketangkasan perang. Adu ketangkasan di sini meliputi keahlian menunggang kuda sambil melemparkan lembing kayu ke arah lawan. Permainan ini dilakukan setahun sekali sebagai wujud rasa syukur terhadap hasil panen.
BACA JUGA: 6 Permainan Tradisional Yang Jarang Dimainkan Anak Sekarang
2. Peresean
Peresean ini dilakukan oleh masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok. Dalam permainan ini ada dua orang yang disebut pepadu yang beradu ketangkasan dalam mengalahkan lawan. Mereka saling memukul lawan menggunakan rotan. Juga ada adu kelincahan menangkis menggunakan perisai yang terbuat dari kulit kerbau tebal dan keras. Permainan ini dipimpin oleh seorang pengadil yang disebut sebagai pakembar.
Permainan ini sudah dilakukan sejak abad 13. Pada awalnya peresean merupakan ajang latihan menggunakan pedang dan perisai bagi para prajurit sebelum berangkat ke medan perang. Dalam perkembangannya, peresean dilakukan sebagai upaya ritual masyarakat adat dalam memohon hujan kepada Tuhan.
3. Caci
Caci dilakukan oleh masyarakat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dalam bahasa Flores, ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi caci bermakna ujian satu lawan satu. Bentuk permainannya hampir serupa dengan peresean masyarakat Sasak. Namun Caci tidak menggunakan rotan, melainkan cambuk yang terbuat dari batang enau yang disebut pori. Perisai yang dipakai dalam caci terbuat dari anyaman rotan yang berlapis kulit kerbau, dikenal dengan sebutan nggiling.
Caci ini dimainkan dan dipertunjukkan sebagai bentuk rasa syukur pada musim panen (hang woja). Kadangkala juga dimainkan dalam ritual menyambut tahun baru (penti).
BACA JUGA: Sebuah Tips yang Perlu Kamu Perhatikan Sebelum Membeli Gitar
4. Behempas
Behempas dilakukan oleh masyarakat adat Dayak di daerah Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Permainan ini mirip dengan Peresean dan Caci, dilakukan dengan saling gebuk menggunakan rotan dan alat penangkis berupa perisai yang terbuat dari rotan juga. Behempas ini masih rutin dimainkan dalam pesta adat Erau di Tenggarong dan Festival Dahau di Kutai Barat.
Behempas berasal dari kata bimpas yang berarti pukul-pukulan atau perang tanding. Bentuk adaptasi dari behempas yang paling populer saat ini adalah behempas bantal. Sebuah permainan yang hampir selalu dilombakan dalam acara tujuhbelasan di berbagai daerah di Indonesia. Tampaknya permainan ini akan cocok dilakukan oleh para garangan yang memperebutkan gebetan yang sama, pasti akan seru.
5. Gebug Ende dan Mekare-kare
Ritual Gebug Ende dan Mekare-kare adalah permainan perang yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat di Bali. Ende dalam bahasa Bali adalah rotan. Jadi gebug ende adalah permainan saling pukul menggunakan rotan. Cara mainnya hampir sama dengan peresean maupun caci, yang penting main pukul dan tangkis. Gebug ende ini biasa dilakukan oleh masyarakat di desa Seraya Barat, Karangasem.
Sedangkan mekare-kare biasanya dilakukan oleh masyarakat adat Bali Aga, desa Tenganan. Dalam mekare-kare yang digunakan sebagai alat pukul adalah pandan duri. Bagi sobat kotomono yang sering sambat perihnya hati ketika ditolak gebetan, tampaknya perlu merasakan perihnya luka dalam permainan ini.
Baik gebug ende maupun mekare-kare umumnya dilakukan sebagai ritual untuk memohon hujan kepada Tuhan.
6. Ujungan
Ujungan dan Jemparingan adalah permainan perang yang dilakukan oleh masyarakat di Jawa. Ujungan dikenal di hampir semua pelosok tanah Jawa, namun yang menyelenggarakan secara rutin setiap tahun adalah masyarakat di Banjarnegara, Jawa Tengah. Tujuannyapun sama, sebagai ritual permohonan hujan. Ujungan sendiri memiliki bentuk permainan seperti Gebug Ende, Behempas, maupun Caci. Hanya saja Ujungan tidak menggunakan perisai. Alih-alih perisai, para pemain ujungan menggunakan lengan tangan sebagai penangkis pukulan lawan.
7. Jemparingan
Sedangkan Jemparingan berasal dari kata jemparing yang berarti panah. Jadi jemparingan adalah permainan panahan menggunakan busur dan anak panah tradisional. Jemparingan ini pada awalnya dilakukan secara terbatas oleh kalangan bangsawan kraton Jogya dan Surakarta sebagai latihan olah keprajuritan. Seiring perkembangan jaman mulai dilakukan oleh masyarakat umum.
BACA JUGA: Dear Anak 90-an, 5 Permainan Ini Akan Membawamu ke Masa Lalu
Dari beberapa macam permainan perang tersebut, kita bisa mengambil nilai-nilai yang perlu ditularkan kepada generasi muda. Yang paling utama adalah semangat sportivitas. Semua bentuk permainan tersebut di atas selalu melibatkan adu fisik antar pemain. Namun ketika permainan telah usai, tidak ada dendam yang diperam. Para pemain kembali pulang sebagai teman dan saudara.
Nilai kedua yang bisa diteladani adalah terawatnya kekuatan fisik dan mental. Setiap pemain dalam permain perang tersebut harus melatih fisiknya agar kuat dan bisa memenangkan permainan. Selain itu, dibutuhkan mental pemberani dan pantang menyerah. Permainan semacam ini mustahil dilakukan oleh mereka yang bermental penakut, apalagi pengecut.
Ragam permainan perang semacam ini memang hanya mungkin dimainkan oleh para pemberani. Lalu bagaimana dengan mereka yang takut beradu fisik? Jangan kuatir, mereka bisa melakukan adu bacot melalui media sosial. Hanya perlu modal quota internet dan materai 10 ribuan sudah cukup.