KOTOMONO.CO – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengungkapkan, bahwa akan berusaha membuat Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) tidak diskriminatif dan tidak menimbulkan ketimpangan gender.
“Kami sudah menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KIA bersama dengan berbagai pihak dengan beberapa masukan agar RUU ini tidak menimbulkan diskriminasi gender,” ujar Bintang seperti dikutip dari ValidNews.id.
Dalam kesempatan tersebut, mereka menyampaikan masukan sesuai dengan bidangnya masing-masing, dimulai dari pembahasan cuti melahirkan, cuti pendampingan, pengasuhan anak, ketentuan umum, dan lain sebagainya.
Saat ini pemerintah tengah menyusun DIM RUU KIA berdasarkan hasil yang diperoleh dari dialog lintas sektor, termasuk lembaga masyarakat, akademisi, dan dunia usaha. DIM RUU KIA ditargetkan akan rampung dan diparaf oleh menteri perwakilan Presiden RI pada 26 Agustus 2022.
Pada RUU KIA, pasal 4 ayat 2 dibahas tentang ketentuan cuti melahirkan serta hak ibu yang bekerja, yang mana diberikan masa cuti 6 bulan dan merupakan ketentuan yang ideal untuk ibu yang baru melahirkan agar kesehatan mental dan fisiknya terjaga begitu pula dengan buah hatinya.
“Dengan adanya cuti melahirkan yang ideal untuk ibu yang baru melahirkan, bisa membantu agar kesehatan mental dan fisiknya baik, serta anak terjaga dan terawat dengan baik pula,” ujar praktisi pendidikan, Retno Listyarti, seperti dikutip dari Parapuan.
Realitanya, sekarang perempuan pekerja banyak yang mengambil cuti sebelum melahirkan dan bekerja kembali setelah melahirkan tanpa menunggu 6 bulan, hal ini terkadang disebabkan oleh perusahaan yang mendesak untuk bekerja kembali, sehingga perlunya pengkajian akan hal tersebut, agar tidak terjadi kerugiaan pada pihak mana pun.
Dalam pasal 10 mengenai hal yang wajib dilakukan oleh seorang ibu, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menanggapi hal tersebut. Mereka mengapresiasi adanya RUU KIA, karena sejumlah Negara sudah menerapkan hal serupa sesuai dengan kondisi Negara masing-masing.
“Komnas Perempuan juga memberikan apresiasi terhadap perhatian khusus pada keterhubungan hak maternitas dengan isu kekerasan terhadap perempuan serta kebutuhan perempuan yang menyandang disabilitas dalam mengakses hak maternitas,” kata dia seperti dikutip dari Kompas.
Namun RUU KIA ini dikhawatirkan memunculkan domestikasi, yaitu menomorduakan peran seroang perempuan yang hanya menangani urusan domestik rumah tangga saja.
Dalam urusan pekerjaan, RUU KIA berdampak pada perusahaan maupun UMKM yang ada, yang mana selama 6 bulan itu produktivitas dari perusahaan ataupun UMKM terpengaruh. Hal itu disampaikan oleh Ketua DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang.
Para ahli ikut menanggapi adanya RUU KIA. Salah satunya Ahli Hukum Ketenagakerjaan Universitas Airlangga, Hadi Subhan. Ia mengungkapkan bahwa perlu ada sinkronisasi RUU KIA. Jika RUU KIA ini berdiri sendiri akan menimbulkan masalah, maka dari itu perlu dikaji ulang kembali.
“Kurang tepat kalau berdiri sendiri, yang mana bukan berarti RUU KIA ini bisa diterapkan di UU Ketenagakerjaan. Kalau itu berdiri sendiri, maka peraturan peraturan ketenagakerjaan lebih khusus daripada RUU KIA,” ungkap Hadi Subhan, seperti dikutip dari Kompas.
Dalam hal ini, pemerintah harusnya tidak lepas tangan, dengan mengatur ketentuan cuti serta konsekuensinya. Bisa kita lihat bahwa RUU KIA menurut pandangan beberapa pihak masih menimbulkan diskriminasi gender, sehingga perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah akan hal tersebut.
Menghadapi masalah yang terjadi berkaitan dengan RUU KIA, tidak terlepas akan adanya pro dan kontra. Namun, yang perlu diperhatikan pemerintah dalam memutuskan RUU KIA yaitu dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap seorang ibu, anak, dan pihak yang terkait dengan pekerjaan yang sedang dijalani oleh ibu itu sendiri.
Banyak Negara yang sudah menerapkan hal ini. Dan itu membantu keluarga ibu yang melahirkan tanpa terjadinya diskriminasi gender. Salah satunya Negara Islandia yang memberikan cuti selama 6 bulan bagi ibu yang melahirkan dengan presentase gaji yang diberikan 59% dari gaji normalnya. Walau begitu Islandia memberikan peralatan untuk kebutuhan ibu dan bayi secara gratis, sehingga sang ibu merasa diperlakukan dengan baik oleh pemerintah.
Perlu adanya tanggung jawab dari pemerintah dalam memutuskan RUU KIA, dan siap menghadapi konsekuensi yang terjadi jika RUU KIA ini ketika sudah diputuskan menimbulkan diskriminasi gender, atau bahkan menurunnya produktivitas perusahaan yang jika terjadi terus menerus mengakibatkan perusahaan itu gulung tikar. Oleh karena itu, mengkaji lebih dalam dan melihat ke bawah apa yang sedang terjadi pada masyarakat Indonesia perlu dilakukan.