Kotomono.co – Bung Karno pernah berkata, “Berpikirlah seperti orang Minang, bekerjalah seperti orang Jawa, dan bicaralah seperti orang Batak.” Kalimat itu dilontarkan memang bukan berdasarkan khayalan semata. Bung Karno kenal watak suku bangsa di Nusantara. Maka terlontarlah kalimat itu.
Jika ditelisik lebih jauh, makna kalimat tersebut bisa kita lihat hari ini. Ada banyak cendekiawan yang berasal dari tanah Minang. Sebut saja Muhammad Hatta, Tan Malaka, Hamka, dan banyak penulis lainnya. Mereka bergelut di bidang pendidikan dan di bidang lain yang tak jauh dengan proses berpikir.
Menelisik Perkataan Bung Karno
Bekerjalah seperti orang Jawa. Orang Jawa dikenal sebagai pekerja keras. Mereka bekerja sepenuh hati meskipun upah yang diperolehnya tidak sepadan. Maka tak heran jika ada banyak konten yang membawa-bawa frasa “kuli Jawa” akhir-akhir ini. Tipikal mereka mirip dengan orang Tiongkok. Orang Jawa berani merantau keluar daerah, hingga di setiap daerah di Indonesia hampir bisa dipastikan ada orang Jawanya.
Lalu, bicaralah seperti orang Batak. Memang, jika kita pernah berbicara dengan orang Batak, kita akan melihat betapa lugasnya mereka berbicara. Bukan soal nadanya yang tinggi, namun kefasihannya dalam berkata-kata memang sangat mengagumkan. Maka tidaklah salah jika orang Batak banyak berkecimpung di dunia hukum sebagai pengacara, mediator, dll.
Sebagai pemimpin besar, Bung Karno tentu banyak bercengkrama dengan banyak suku bangsa. Beliau sering kali menjalani masa pengasingan dan bertemu orang-orang baru. Dari sanalah ia berkenalan dengan banyak watak kolektif sebuah masyarakat.
BACA JUGA: 5 Kiat Menghadapi Kekalahan War Tiket Konser, Sini Merapat!
Kalimat itu tidak bisa dimaknai bahwa Bung Karno tidak melihat suku bangsa lainnya. Hanya saja, akan terlalu panjang jika beliau membahas keunggulan setiap bangsa yang ada di Nusantara. Singkatnya, Bung Karno hanya mengutip karakter bangsa-bangsa yang dapat membakar semangat rakyat pada zaman itu.
Bersantailah Seperti Orang Sunda
Mungkin, jika Bung Karno tengah berada di zaman damai dan terjauh dari ancaman kolonial, maka ungkapan itu akan diakhiri dengan kalimat “dan bersantailah seperti orang Sunda.”
Tentu hal ini tidaklah berlebihan. Orang Sunda terkenal dengan sifatnya yang tidak suka cari masalah, senang bersantai, gemar berbincang, dan senang menyambung tali silaturahim. Orang Sunda sendiri sering mengatakan bahwa Sunda adalah akronim dari suka bercanda.
BACA JUGA: Jenis-Jenis Paham Ateisme dan Bagaimana Membantahnya
Bukti lainnya ditemukan pada warisan leluhur Sunda. Pribahasa yang tersebar di masyarakat sangat mengindikasikan bahwa orang Sunda berwatak tenang dan santai sejak dulu. Contohnya saja seperti pribahasa berikut.
“Bobot pangayun timbang taraju.”
Artinya segala sesuatu harus dilakukan berdasarkan pertimbangan. Peribahasa yang satu ini menandakan bahwa orang Sunda sangat hati-hati dalam memutuskan sesuatu. Itu bertujuan untuk menghindari masalah yang tidak diinginkan.
“Bobo sapanon carang sapakan.”
Artinya mohon maaf jika ada kekurangan yang mengecewakan. Setelah berpidato di hadapan orang banyak, pribahasa yang satu ini sangat sering digunakan oleh orang Sunda. Ini menandakan bahwa orang Sunda sangat takut untuk membuat orang lain kecewa terhadap apa yang mereka lakukan.
Yang Membedakan dengan Suku Bangsa yang Disebut Soekarno
Bukti lainnya bisa kita tinjau berdasarkan perbandingan dengan tiga suku bangsa yang disebutkan oleh Bung Karno. Jika disandingkan dengan orang Batak, orang Sunda jelas tidak suka berbicara dengan panjang lebar. Jika mendapat lawan bicara yang menggebu-gebu, orang Sunda cenderung untuk mengalah dan diam.
Hal itu bukan berarti orang Sunda tidak bisa berbicara fasih. Hanya saja ada sebuah pribahasa Sunda yang mengatakan “Ulah mapatahan ngojay ka meri,” yang artinya jangan mengajari kepada ahlinya. Orang Sunda yang terlalu santai itu mengerti bahwa dirinya tidak seahli orang Batak untuk urusan berbicara.
Lalu jika dibandingkan dengan orang Minang, orang Sunda pun memiliki banyak cendekiawan di bidang pendidikan. Hanya saja, sedikit dari mereka yang menulis. Meskipun ada juga cendekiawan Sunda yang namanya bahkan diakui oleh mancanegara, sebut saja almarhum Ajip Rosidi yang beberapa kali menerima penghargaan dari Jepang, Brunei, dan lainnya berkat karya tulisnya yang mengagumkan.
BACA JUGA: Islam Itu Tidak Harus Arab, Tapi juga Tidak Mengabaikan Arab
Nah, jika dibandingkan dengan suku bangsa tetangganya, orang Sunda dan Jawa sebenarnya tidak berbeda jauh. Dalam hal pekerjaan, mereka memiliki minat yang sama di bidang agraria. Akan tetapi, orang Sunda tidak banyak yang merantau. Orang Sunda lebih senang berkumpul dengan sanak saudaranya ketimbang meninggalkan tanah kelahiran.
Bahkan untuk urusan ini ada peribahasa yang mengatakan “dahar teu dahar asal ngumpul.” Artinya, walaupun tidak makan asal berkumpul (dengan keluarga). Maka tak aneh jika orang Sunda tidak suka merantau jauh seperti orang Jawa, Minang, atau Batak.
Itulah karakter santai orang Sunda yang sampai saat ini masih terjaga. Di balik itu semua ada nilai positif dan negatifnya. Namun, itu semua tergantung kepada sudut pandang kita dalam menyikapinya.