KOTOMONO.CO – Penulisan sejarah lokal, di era Orde Baru, tampaknya menjadi hal tabu. Ada anggapan, jika penulisan sejarah lokal justru akan menumbuhkan rasa kecintaan yang berlebihan pada daerahnya di masyarakat (chauvinisme). Dikhawatirkan, hal itu akan meruntuhkan rasa nasionalisme.
Berbagai upaya pun dilakukan. Salah satunya, pengarusutamaan penulisan sejarah nasional. Demikian pula dalam hal pengajaran sejarah di sekolah-sekolah. Tidak banyak diajarkan tentang sejarah daerah bagi pelajar.
Berbeda dengan yang terjadi pada masa pasca reformasi. Penulisan sejarah lokal tampak marak. Disemangati rasa cinta tanah air, penulisan sejarah lokal ini memberi warna baru dan memperkaya khazanah pustaka sejarah di Indonesia.
Buku Jejak Dakwah Ulama Nusantara: Menelusuri Perjuangan, Keteladanan, dan Hikmah Ulama Pekalongan, yang ditulis oleh Tim penyusun buku yang dimandegani Lakpesdam NU Kota Pekalongan merupakan salah satu buku yang layak diapresiasi. Sebab, selain mengetengahkan kisah para ulama Pekalongan, buku ini juga menyuguhkan fakta-fakta menarik tentang peran dan peristiwa yang bersejarah. Keterlibatan tokoh-tokoh ulama dalam membangun karakter kota Pekalongan sebagai Kota Santri turut diulas dalam buku setebal 204 halaman ini.
Di dalamnya, kisah 16 tokoh ulama Kota Pekalongan semasa hidupnya diulas. Diawali dengan kisah Habib Ahmad bin Abdullah Al Athos. Nama beliau tentu sudah sangat masyhur. Tidak hanya bagi masyarakat Pekalongan, akan tetapi sudah dikenal seantero Nusantara. Beliau merupakan Habaib yang sangat dihormati. Tidak hanya saat masih hidup, melainkan pula setelah wafat (1929).
Kisah berikutnya, adalah riwayat hidup Habib Hasyim bin Umar bin Yahya (w.931). Beliau adalah kakek dari Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Dalam buku ini, diulas tentang kepribadian dan ketokohan beliau di tengah-tengah masyarakat. Tidak luput pula hubungan mesra antara beliau dengan Habib Ahmad.
Kisah ketiga, tentang perjalanan hidup Habib Ali ibn Ahmad Al Athos. Secara ringkas, kisah perjalanan hidup beliau diurai dan diungkap dari sisi peran dan kedekatan beliau dengan para Kiai Kota Pekalongan.
Selain kisah tiga Habaib tersebut, kisah para Kiai Kota Pekalongan juga diulas dalam buku terbitan NEM tersebut. Di antaranya, KH. Syafi’i Abdul Majid yang merupakan sosok pejuang; KH. Anshor bin Abdullatif dengan fenomenalitasnya; KH. Ahmad Subki Masyhadi yang tekun menulis kitab-kitab; dan lain-lain.
Jika dicermati lebih lanjut, sekalipun tokoh-tokoh ulama yang ditulis dalam buku tersebut merupakan tokoh-tokoh yang pernah membesarkan nama Nahdlatul Ulama, umumnya tokoh-tokoh ini merupakan tokoh-tokoh yang terbuka dan moderat. Mau bergaul dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan latar belakangnya. Sayang, sikap moderat itu tak cukup detil diurai dalam buku ini.
Selain itu, penyajian informasi dalam buku ini, meski sudah dirasa cukup, belum mampu memberikan gambaran faktual yang sesuai dengan era yang dialami para tokoh. Peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan kiprah tokoh-tokoh hanya diulas secara selintas lalu. Muncul kesan pula, penyajian kisah peristiwa-peristiwa yang dialami sejumlah tokoh seperti nukilan-nukilan dari serentetan peristiwa. Disajikan secara sepotong-sepotong, bahkan nyaris korelasinya terputus.
Oleh sebab itu, diperlukan kejelian pembaca. Jika perlu lengkapi fakta sejarah tokoh dengan referensi-referensi pendukung sebagaimana yang ditunjukkan pada catatan kaki dan daftar pustaka. Tujuannya, agar pembaca mampu mengurai peristiwa secara detail. Bisa dikatakan, buku ini baru semacam panduan bagi pembaca untuk menemukan informasi yang lebih lengkap.
Meski begitu, buku ini layak Anda koleksi dan Anda baca. Setidaknya, untuk memperluas wawasan atas kiprah para tokoh ulama Pekalongan serta peristiwa sejarah yang melingkupinya. Selain itu, agar kita tidak lagi merasa kehilangan masa lalu Kota Pekalongan.