KOTOMONO.CO – Dipikir-pikir kok ngenes juga ya!
Ketika orde baru telah berakhir, seharusnya kita bisa menghirup udara segar karena demokrasi sudah menjadi bagian dari hidup kita. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Demokrasi hanyalah gimmick bagi bangsa ini. Demokrasi benar-benar tidak hidup mulai dari lingkup terkecil sampai ke lingkup yang paling besar.
Kita mulai dari lingkup yang terkecil yaitu lingkup keluarga. “Jangan menjawab omongan orang tua” adalah kalimat yang sering kita dengar ketika kita, sebagai anak, sedang dinasihati orang tua. Jika kita menjawab omongan mereka, maka kita bisa dicap sebagai anak durhaka. Intinya jika kita berbuat salah, kita harus diam dan manut apa yang dikatakan orang tua kita. Jika menjawab pernyataaan atau bahkan pertanyaan mereka, siap-siap kita akan menjadi penghuni neraka.
Selain itu, kita juga tidak pernah diajak diskusi tentang hal sekecil apapun dengan orang tua kita. Sebaiknya, orang tua harus mengajak diskusi terlebih dahulu walaupun hanya perihal cat kamar apa yang cocok untuk si anak tersebut. Tak hanya itu, pendidikan yang menjadi salah satu hal yang paling krusial untuk si anak pun harus dibahas bersama-sama.
Contohnya ketika si anak meminta sekolah di Sekolah A karena sekolah tersebut unggul di bidang seni. Bukannya mendukung apa yang diinginkan si anak, orang tua tersebut malah menyuruh si anak sekolah di Sekolah B karena di sekolah tersebut unggul bidang eksak yang katanya bidang tersebut lebih penting daripada bidang seni. Hal inilah yang jamak terjadi di keluarga Indonesia bagian manapun.
Tak hanya di lingkup keluarga, di lingkup pertemanan pun kata demokrasi hanyalah sebuah angan-angan. Hanya karena tidak merasa enak dengan teman, kita selalu mengalah untuknya. Contohnya ketika kita menagih utang ke teman kita. Pertengkaran sering terjadi dan bahkan putusnya tali silaturahmi tak hanya terjadi satu dua kali. Padahal menagih utang ke teman kita adalah hak kita apalagi jika keuangan kita lagi menipis dan kebutuhan tersebut tak bisa dihindari.
Di dunia pendidikan kita pun konsep demokrasi hanyalah konsep kiasan. Inilah yang pernah saya alami ketika mengenyam pendidikan hampir 17 tahun mulai dari TK sampai duduk di bangku kuliah. Sebuah pertanyaan yang saya tanyakan dengan seorang guru justru dipertanyakan balik ke saya. Beliau mengatakan bahwa “apakah saya tidak mendengarkan penjelasannya?” Pertanyaan tersebut juga membuat saya merasa kecil apalagi didukung oleh olok-olakan teman saya. Tak hanya itu, demokrasi juga tak benar-benar diterapkan di bangku kuliah.
BACA JUGA: Membaca Langkah Mas Gibran dalam Pencalonan Wakil Presiden
Pelarangan menggunakan cadar pernah diterapkan oleh pihak kampus UIN Abdurrahman Wahid karena dianggap menyimpang. Pihak kampus juga menilai bahwa ajaran tersebut berasal dari ajaran agama Islam yang radikal yang mana bisa berbahaya untuk masyarakat luas. Hal tersebut pastinya membuat salah satu teman saya gerah apalagi kebijakan tersebut terpampang nyata di banner yang terpasang di depan Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah (FUAD).
Seharusnya pihak kampus memahami bahwa penggunaan cadar bukan berarti ia terpapar oleh agama Islam yang radikal. Penggunaan cadar adalah salah satu kebebasan ekspresi bagi perempuan. Selama si pengguna cadar tersebut tidak mengganggu pihak lain, semestinya pihak kampus tidak mempersoalkannya.
Tidak hanya sampai di lingkup pendidikan, ilusi demokrasi di negeri demokrasi juga sudah menjadi penyakit akut bagi pemerintah yang seharusnya menjadi contoh utama. Disahkannnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektornik (UU ITE) menjadi salah satu bentuk nyata penyakit tersebut. Di dalam UU tersebut, kita, sebagai warga negara dilarang untuk menghina dan mencemarkan nama baik pemerintah. Hal tersebut tertuang di UU KUHP Pasal 14 dan 15 serta Pasal 310 Ayat (1) UU ITE yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (3).
Banyak pihak yang mengatakan bahwa pasal tersebut bermakna luas. Artinya, jika kita mengkiritik kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat kecil, maka pasal tersebut bisa membawa kita ke dinginnya balik jeruji besi.
BACA JUGA: Kematian Shinzo Abe Merupakan Ironi di Negara Demokrasi
Salah satu korban dari pasal tersebut adalah aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Dilansir dari kompas.id, Haris dan Fatia dilaporkan pada 3 April 2023 atas dugaan pencemaran nama baik dalam unggahan channel yuotube Haris Azhar yang berjudul “Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada”.
Video tersebut membahas bahwa ada keterlibatan para pejabat termasuk Luhut Binsar Pandjaitan dan purnawirawan TNI AD terhadap bisnis di Intan Jaya, Papua. Atas konten tersebut, Luhut melaporkan ke Polda Metro Jaya. Namun, saat ini kedua aktivis tersebut dibebaskan karena dinyatakan tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik.
Tak hanya kasus tersebut, baru-baru ini, dalam Pemilu 2024 juga terdapat kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Kecurangan ini sudah diatur sebelum pemilu berlangsung mulai dari mengubah aturan usia minimum paslon hingga semrawutnya sistem Sirekap. Film dokumenter Dirty Vote juga telah mendeskripsikan bahwa penyalahgunaan kekuasaan dalam Pemilu 2024 menjadi bukti nyata yang besar bahwa demokrasi di negeri ini telah usai.