KOTOMONO.CO – Berbicara mengenai Sejarah dari Asal-usul Kelurahan Noyontaan Kota Pekalongan ini sangat menarik. Karena kita akan dibawa ke masa lampau kondisi dari tanah Pekalongan. Dan Pekalongan sendiri dapat dikatakan Pekalongan termasuk kota tertua di Jawa karena sudah ada sejak pemerintahan Jawa kuno.
Bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa Pekalongan itu kota tua bisa dilihat dari bukti-bukti peninggalan sejarah terutama makam-makam tua yang ada di Pekalongan, Batang dan sekitarnya.
Diceritakan bahwa di Pekalongan ini masih terpengaruh sebagian budaya Jawa Barat dan sebagian budaya Jawa Timur. Karena perbatasan Mangkang itu wilayah Majapahit terus kebarat ikut Pajajaran kuno. Pekalongan sendiri terpengaruh bahasa-bahasa sunda seperti ada nama tempat, Cikoneng Cibeo di daerah sragi.
Sebelum wali 9 yang masyhur itu, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri Sunan, Kali Jogo dll, itu sudah ada wali 7 seperti lembaga wali 9 jamannya Sunan Ampel itu. Lembaga wali 7 itu seperti Wali Abdal, Wali Abdal itu ada 7.
Wafat satu akan ada yang menggantikannya, wafat satu ganti, wafat satu ganti dan seterusnya. Jumlahnya tidak lepas dari 7. Nah wali 9 pun demikian. Pada waktu di pimpin oleh seorang Bupati yang namanya Adipati Tanja Ningrat beliau meninggal pada tahun 1127 H, yang mana dimakamkan di Sapuro juga sejaman dengan Ki Gede Noyontoko.
Pada waktu itu ada seorang kiyai yang menyebarkan dakwahnya di sebuah desa tertentu, beliau adalah seorang kiyai yang sangat terkenal dan berilmu tinggi pada waktu pemerintahan Bupati Adipati Tanja Ningrat. Desa tempat ki Gede Noyontoko berdakwah ini akhirnya dikenal dengan Desa Noyontaan sebagai penanda wilayah kekuasaan maupun sebagai penghargaan jasa beliau yang membuka hutan atau “babad Alas”(istilah orang Jawa).
Baca juga : Sejarah Pasar Sentiling (Banjarsari) Pekalongan
Kiyai Gede Noyontoko meninggal pada tahun 1660 M.2 Akan tetapi, hingga saat ini belum diketahui secara pasti di mana makam Kiyai Gede Noyontoko. Menurut keterangan Sekretaris Kelurahan Noyontaansari, terdapat dua versi makam Kiyai Gede Noyontoko. Versi pertama, menurut Bapak Zili, makam Kiyai Gede Noyontoko berada di Jl. Dr. Wahidin yang saat ini digunakan sebagai “Toko Diana”. Versi kedua, menurut Syaikh Al Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya (Habib Lutfi) dan Bapak Moelyoredjo makam Kiyai Gede Noyontoko berada di Noyontaan Gang VII. Tepatnya berada di Eks-kediaman Bapak Soetekwo yang sudah dibeli oleh Habib Lutfi.

Terlepas dari benar dan salah mengenai sejarah maupun letak makam Kiyai Gede Noyontoko, pada akhirnya Desa Noyontaan telah berkembang dengan baik. Sampai Desember 2013 tercatat 7.994 orang bermukim di Desa Noyontaan, yang tersebar dalam 7 Rukun Warga.4 Penduduk Desa Noyontaan cukup beragam. Berbagai etnis seperti Jawa, Arab dan Cina hidup berdampingan tanpa ada batasan yang menghalangi kehidupan sosial mereka.
Serta Noyontaan sendiri menurut artinya adalah tanah yang tinggi (gumuk). Seperti yang di ungkapkan bapak Zyli yang telah menjadi ketua RT sejak tahun 1982 dan ketua RW sejak tahun 1996 sampai sekarang, beliau mengungkapkan bahwa “makam yang ada di belakang mushola gang 16 Noyontaan adalah makam Ki Gede Noyontoko” karena makam itu sudah ada sejak buyut beliau, yang menjadi lurah pertama kali di desa Noyontaan.
Yang jadi pertanyaan adalah “Siapakah ki Gede Noyontoko itu ?”
Beliau adalah seorang salah satu komandan dari prajurit dari kerajaan Mataram yang di tugaskan untuk melawan belanda di Batavia yang invansinya di pimpin oleh senopati kerajaan Mataram yang bernama Bahurekso.
Cerita Ki Gede Noyontoko
Karena kelicikan tentara Belanda, yang bukannya melawan pasukan perang kerajaan Mataram mereka malah menghancurkan dan membakar habis persediaan makanan pasukan kerajaan Mataram dan oleh sebab itu semua pasukan dari kerajaan Mataram menjadi “kocar – kacir” dan akhirnya kerajaan mataram menyuruh pasukannya untuk mundur, sedangkan Ki Gede Noyontoko sendiri berhenti di sebuah hutan dan kemudian mendirikan gubug di situ, yang sekarang ini menjadi desa Noyontaan.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Landungsari Kota Pekalongan
Dalam sumber versi lain ada yang mengatakan bahwa desa Noyontaan bukan berasal dari nama kiyai yang waktu itu menyebarkan dakwahnya yaitu Ki Gede Noyontoko. Melainkan di ambil dari peperangan antara Senopati Baurekso, yang di pihak pasukan kerajaan mataram melawan para perompak yang di pimpin oleh Raja Tunjung Maya, saat itu pada tahun 1613 – 1645 M.
Peperangan tersebut di menangkan oleh pasukan kerajaan Mataram kemudian tempat peperangan tersebut di namakan Noyontaan yang artinya “Ulat mati”. Selanjutnya dengan perkembangan zaman maka jadilah sebuah Desa Noyontaan yang terdiri dari beberapa kampung seperti dukuh Sipelem karena di wilayah ini banyak ditumbuhi pohon pelem/mangga, Cokrah karena lokasinya yang terpencil di pinggir sawah.
Mipitan, kampung ini memiliki beberapa cerita menarik salah satunya adalah diambil dari terdesaknya Ki Noyontoko dan Ki Surantoko yang terdesak (kepepet/terjepit) dalam tugasnya menjaga lumbung pangan waktu penyerangan kedua Mataram ke Batavia, mereka lari ke daerah Pekalongan dan memberikan tetenger (tanda) dengan nama Mipitan yang berarti terdesak.
Ada pula kampung Cerme yang berlokasi di sekitar Terminal lama atau yang kini telah menjadi mall Ramayana. Dikisahkan bahwa kampung ini dulu banyak tumbuh pohon cerme. Di sekitar Puskesmas Noyontaan kearah utara sampai mendekati rel kereta api dulu dinamai dengan Kampung Bon Sayur (Kebun Sayur).
Di lokasi tersebut terdapat tanah kosong yang ditanami dengan sayur-sayuran. Ada pula beberapa nama kampung yang tidak diketahui mengapa diberikan nama sedemikian rupa. Beberapa kampung tersebut seperti Pambaan, Regiman, Karang Guga dan Kemrisen.
Pada akhirnya menjadi Desa Noyontaan dipimpin oleh Lurah pertama ialah Bapak Usman sedang Sekretaris desa dipegang oleh Bapak Noyojoyo. Sebagaimana masih sama dengan adat istiadat masyarakat Jawa, adapun adat istiadat yang telah di tinggalkan masyarakat setempat seperti Sedekah Bumi.
Kegitan Sedekah Bumi adalah kegiatan semacam upacara atau ritual yang di adopsi pada masa kejayaan hindhu budha yang bertujuan sebagai rasa syukur terhadap apa yang telah di berikan oleh sang pencipta.
Baca juga : Sejarah Terbentuknya Kota Pekalongan
Seperti yang di ungkapkan oleh warga setempat yang asli pribumi Noyontaan “bahwa jaman dulu setiap berapa tahun sekali ada upacara sedekah bumi”, entah sekarang kegiatan semacam itu telah tiada. Banyak di desa Nonyotaan yang berbeda suku dan agama, akan tetapi itu bukan menjadi permasalahan akan tetapi sebagai kelebihan.
Masyarakat di Kelurahan Noyontaan hidup dengan sejahtera dan tenggang rasa yang tinggi mulai dari gotong royong, dan saling membantu satu sama lain tidak membedakan mana itu Cina, Jawa, Arab, Islam, Kristen dan lain – lain.
Sumber : Dain Santoso, Setyaningsih – Mengungkap Asal-Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan – KPAD Kota Pekalongan.