KOTOMONO.CO – Hari itu Tuhan menjawab doa seorang hamba yang rajin dan rutin berpuasa. Tiap hari Senin dan Kamis ia tak makan maupun minum hingga waktu maghrib tiba. Tiap sore, tak lupa melaksanakan salat dhuha. Surat Al Waqiah didawamkan. Sedekah ia lakukan tiap pagi. Terutama kepada binatang kesayangannya, seekor burung Beo.
Angka 200 juta itu membelalakkan mata Pak Juladri! Sampai-sampai tangannya gemetaran. Gelas plastik bungkus minuman teh pabrikan itu mendadak menjadi sangat berat. Ia banting saja di lantai. Kemudian, berjingkrak-jingkrak sambil menyanyikan lagu yang tak pernah dinyanyikan oleh penyanyi manapun. Lagunya sendiri.
“Dhuh Gusti! Maturnurun, Gusti…!” serunya saat melipat lututnya. Diikuti sujud syukur.
Dipungutnya gelas plastik itu. Dibacanya tulisan angka 200 juta itu lagi. Dibolak-baliknya gelas plastik itu. Diputar. Diulang lagi dan lagi. Mengetes penglihatannya. Barangkali ada yang salah pada matanya. Tetapi, tetap saja tulisan itu masih ada. Utuh. Tak berubah.

Selamat! Anda berhak mendapatkan uang tunai Rp. 200.000.000
Sebagai seorang pelanggan setia, Pak Julardi merasa sangat tersanjung. Sudah bertahun-tahun ia membeli minuman teh bergelas plastik. Tak hanya untuk dirinya. Tiap ada tamu, ia suguhkan teh itu di atas meja tamu.
“Wah, ini teh paling enak sedunia loh! Silakan,” ucapnya pada siapa saja yang bertamu di rumahnya.
Di lain waktu, ketika duduk-duduk di teras rumah sembari mengudang burung Beo kesayangannya, gelas plastik itu tak pernah lepas dari genggamannya. “Ayo Beoku sayang, katakan minuman apa yang paling enak di dunia ini?” ucapnya pada si Beo.
“Ame-ame…. Ame-ame,” jawab si Beo disambut tawa Pak Julardi.
“Burung pintar!”
Setiap Pak Julardi punya gawe, minuman itu pula yang disuguhkan kepada semua tamunya yang datang. Dan, ia selalu katakan pada semua tamunya itu, “Ini seperti teh dari surga. Rasanya sangat nikmat!”
Ada yang tersenyum. Ada yang diam. Ada pula yang menggeleng pelan. Juga ada yang manggut-manggut. Pak Julardi tak peduli. Ia tak henti-hentinya memuji-muji minuman kesukaannya itu.
Pernah pula, dalam mimpinya, ia menjadi bintang iklan minuman itu. Lagak dan gaya bicaranya dimirip-miripkan dengan artis bintang iklan minuman Ame-Ame yang sebenarnya. Sangat mirip.
Tak ada yang tahu, apa yang membuatnya begitu tergila-gila pada minuman kesukaannya itu. Orang sekampung dibikinnya heran. Bahkan, ada yang sempat melapor pada Pak Kiai. Memintanya, agar kelakuan Pak Julardi itu dihentikan.
“Saya kuwatir, kalau-kalau Pak Julardi jadi hilang akal warasnya. Bisa juga jadi syirik, Kiai, karena terlalu memuja-muja minuman kesukaannya itu,” lapor salah seorang warga kepada Pak Kiai.
“Jangan buru-buru. Buruk sangka itu ndak baik. Siapa tahu, Pak Julardi itu sedang bersyukur kepada Tuhan, karena telah diberi kenikmatan yang ngedap-edapi. Siapa tahu juga, Pak Julardi sedag memuji kebesaran Tuhan,” jawab Pak Kiai menanggapi laporan warga.
Tingkah Pak Julardi menjadi buah bibir tetangga. Bahkan seisi desa. Semua membicarakan Pak Julardi dan teh Ame-Amenya. Apalagi, ketika kemudian seisi desa tahu kalau Pak Julardi mendapatkan uang 200 juta dari teh itu.
Hingga pada suatu sore, Marno, petugas sampah kampung itu tanpa sengaja melihat bekas gosokan pada gelas plastik itu. Ketika ia tengah memilah-milah sampah yang akan dijualnya ke pengepul. Semua gelas plastik bekas itu, pada bagian yang sama, bagian hologram gelas, tertera tulisan “SILAKAN COBA LAGI!”.
Marno hanya bisa menggeleng dan tersenyum kecil. “Oh, ini toh?” gumamnya.
Ya! Bertahun-tahun Pak Julardi rajin menggosok hologram itu. Bertahun-tahun pula ia tak pernah seberuntung hari ini. Keberuntungan besar! Ya! Duaratus juta! Duaratus juta! Duaaa ratus juuuuuta!!!
Lantas, ia menghitung lagi. Memainkan kalkulatornya. Menghitung mundur. Mengulang awal mula ia mulai melanggan teh Ame-Ame. Mula-mula ia menghitung dengan perkalian dan penjumlahan. Ditemukan angka akhir. Rupanya, selama ini ia telah menghabiskan uangnya sebesar 199.980.000 rupiah. Hanya untuk melanggan teh Ame-Ame.
Bukan angka yang kecil. Untuk ukuran Pak Julardi yang pensiunan pegawai itu, angka 199.980.000 rupiah itu teramat besar. Sangat besar! Artinya, jika dihitung lagi, keberuntungan itu tak besar. Hanya, 20 ribu. Seharga satu dus teh Ame-Ame yang tiap hari ia beli di pasar.
Segera ia bungkus lagi impiannya, yang pernah ia katakan di hadapan orang-orang. Ketika duduk-duduk di serambi musala kampung, seusai berjamaah. Angka 20 juta yang ia janjikan itu bungkus lagi. Disimpannya rapat-rapat dalam ruang rahasianya. Melupa. Yang di pikirannya, soal sedekah, tak mungkin orang-orang akan menagih. Sebab, sedekah itu tak bisa dipaksa-paksa. Tiga puluh juta, katanya, akan disedekahkan untuk menyantuni anak yatim.
Kini, setelah 200 juta di tangan, tak ada serupiah pun ia sumbangkan. Sebab, angka 20 juta, baginya tak masuk akal. Ia hanya mendapatkan untung 20 ribu. Bukan 200 juta. Sejak itu, ia berhenti memborong teh Ame-Ame. Ia juga berhenti memuji-muji merk teh kesukaannya itu. Sejak itu pula, tak nampak sandalnya di pelataran musala. Pintu rumahnya tak lagi terbuka. Janjinya meleset, hanya karena angka 20 ribu.
Baca juga tulisan-tulisan Cerpen menarik lainnya