KOTOMONO.CO – Fenomena angka kelahiran korea selatan turun disaat tren K-Pop sedang naik-naiknya, jelas ini buruk untuk negara itu.
Gebrakan K-pop dimulai sejak debutnya boyband bernama Seo Taiji and Boys pada tahun 1992 yang membawa angin segar bagi industri musik Korea Selatan. Grup tersebut beranggotakan Seo Taiji, Yang Hyun-Suk, dan Lee Juno. Hadirnya grup tersebut menawarkan musik yang sangat berbeda dari budaya Korea saat itu, dimana pada tahun 1980-an masyarakat terbiasa mendengarkan musik-musik ballad atau bertempo pelan dan bertemakan kesedihan atau romansa. Kemudian Seo Taiji and Boys hadir dengan menggabungkan budaya musik dari Amerika seperti rock, rap, techno dan R&B dengan memadukan lirik Korea.
Dengan kemunculan boygroup tersebut bersama musiknya yang unik, menjadi titik balik Korea Selatan dalam melihat perkembangan budaya global dan seolah ini menjadi pembuka jalan bagi musisi lain untuk ikut berkreasi meramaikan industri musik yang ada di sana. Pada akhirnya muncullah beberapa boy dan girl groups maupun penyanyi solo lainya yang berhasil mendapat perhatian pasar musik di Korea Selatan hingga menjamur ke beberapa negara.
Sampai saat ini, musik K-pop yang telah memulai masa perjalananya sejak 30 tahun yang lalu, masih berkembang pesat seperti virus yang merambah ke masyarakat luas.
Lalu mengapa industri K-Pop kian populer?
Agar bisa bersaing di belantika musik, para Idol ini sebelum debut telah dilatih secara khusus dan sangat serius oleh masing-masing agensi yang menaungi. Mulai dari kemampuan dalam menari, bernyanyi, bermusik, rap, akting bahkan belajar dalam bahasa asing. Mereka juga mengikuti latihan fisik dan bahkan menjalani diet yang ketat demi mendukung penampilan fisik yang sempurna di atas panggung. Musik, vokal, visual, serta fashion yang semuanya sudah terkonsep dengan rapi dan detail ini yang menjadi daya tarik bagi penggemar musik K-Pop.
BACA JUGA: Dunia Kerja Startup itu Seru Sekaligus Menegangkan, Gen Z Perlu Baca ini!
Keberhasilan K-Pop menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat di dunia tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam bekerjasama dengan baik bersama industri kreatif untuk memajukan dan memperluas pengaruh K-Pop ke berbagai negara. Media sosial juga ikut andil dalam mengangkat sektor hiburan dari Korea Selatan. Dengan adanya platform digital mampu menjangkau khalayak yang lebih luas di seluruh dunia yang sangat memungkinkan penggemar dapat mengakses musik, konten, bahkan berinteraksi dengan idolanya.
Tetapi mengapa jumlah penduduknya malah menurun?
Korea selatan disebut-sebut sedang mengalami penurunan jumlah populasi (beberapa pihak menyebutnya ‘resesi seks’). Hal ini disebabkan rendahnya angka pernikahan yang pada akhirnya berpengaruh pada merosotnya tingkat kelahiran anak. Pada tahun 2021 jumlah pernikahan mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu 193.000.
Dikutip dari databoks, (30/11/2022) Korea selatan tercatat memiliki angka kelahiran terendah di Dunia, yakni hanya 0,84 pada tahun 2020 dan turun menjadi 0,81 pada 2021. Sedangkan untuk angka kematian terus meningkat di bulan Agustus tahun lalu lantaran dampak penuaan populasi dan bahkan didorong oleh pandemi COVID-19 yang menjadi faktor risiko kesehatan bagi kelompok warga lanjut usia, hal ini disampaikan oleh seorang pejabat senior di Badan Pusat Statistik Nasional. The Guardian pun memproyeksikan populasi Korea Selatan akan menyusut dari 52 juta orang pada saat ini, menjadi 38 juta orang pada tahun 2070.
BACA JUGA: Hikikomori, Fenomena Pertapa Zaman Modern di Jepang
Menyusutnya angka populasi di Korea Selatan disebabkan banyak anak muda yang menunda menikah atau pasangan yang memilih tidak memiliki anak, karena kesulitan dalam menemukan waktu luang bagi orang tua yang bekerja, serta beban biaya yang tinggi untuk membesarkan anak di tengah naiknya harga rumah yang semakin sulit dijangkau oleh kebanyakan orang.
Terlebih lagi, sebagian besar orang di Korea Selatan terutama wanita lebih memprioritaskan kebebasan pribadi dan memilih untuk membangun karirnya terlebih dahulu sehingga banyak yang rela melepas hubungan, perkawinan dan anak-anak. Hal ini semakin diperparah dengan masyarakatnya yang terkenal dengan ambisi karir yang kompetitif, serta faktor sosial seperti kecenderungan masyarakat Korea yang memilih hidup mandiri atau biasa disebut dengan gaya hidup honjook juga menjadi faktor kunci lainnya rendahnya kesuburan populasi di negeri ginseng tersebut.
Krisis populasi yang berlangsung secara terus menerus dapat berdampak negatif terhadap suatu negara. Diantaranya dapat menghambat pertumbuhan ekonominya seiring berkurangnya jumlah tenaga kerja yang tersedia, mengurangi permintaan pasar, berkurangya inovasi baru, biaya kesehatan semakin tinggi karena meningkatnya jumlah perawatan kesehatan untuk penduduk yang menua, dan jumlah pembayar pajak aktif semakin sedikit.
BACA JUGA: Lewat Drama Shooting Stars Kita Jadi Tahu Huru-hara Dibalik Industri Hiburan Korea Selatan
Pada akhirnya, terjadi transisi demografis di mana jumlah orang yang lebih tua semakin meningkat. Saat wanita memilih untuk memiliki lebih sedikit atau bahkan tidak memiliki anak, hal ini berkontribusi pada penurunan jumlah populasi yang dapat menggantikan mereka saat mereka meninggal. Akibatnya, jumlah orang yang lebih tua semakin banyak dan masyarakat perlu menemukan cara untuk mengatasi tantangan yang terkait dengan populasi yang semakin menua.
Pemerintah Korea selatan telah mengambil langkah dalam mengantisipasi situasi ini, yakni dengan memberikan subsidi bantuan kepada warganya yang berencana memiliki anak.
Dikutip dari Bloomberg, (31/08/2022) Korea Selatan berencana memberikan tunjangan bulanan kepada setiap keluarga yang baru memiliki bayi sebesar 1 juta won atau sekitar Rp 12.000.000 akan diberikan secara bertahap dimulai dengan jumlah 700.000 won atau sekitar Rp 8.578.000 sebulan dan akan naik ke jumlah penuh pada tahun 2024. Setelah anak berusia satu tahun, tunjangan akan dikurangi setengah dan akan berlangsung selama satu tahun lagi.
Dukungan ini diberikan untuk menangani salah satu risiko jangka panjang terbesar di negara itu.