KOTOMONO.CO – Kalau kamu diberi kesempatan untuk bertemu dengan dirimu sendiri di masa lalu, kira-kira apa yang bakalan kamu katakan padanya? Apa yang akan kamu sesalkan di hadapannya, atau apa yang akan kamu tumpah ruahkan padanya? Marah, benci, kecewa, atau justru rasa syukur dan terima kasih?
Bagaimana pula jika yang kamu temui adalah dirimu dari masa depan. Apa yang akan kamu lakukan atau tanyakan padanya? Tentang karir atau barangkali jodohmu masa depan? Itulah saya pikirkan kala menonton The Adam Project (2022) di saluran digital Netflix.
Sebuah film yang mengisahkan tentang Adam Reed (Ryan Reynolds), seorang penjelajah waktu dari tahun 2050 yang tanpa sengaja tiba di tahun 2022 padahal ia harusnya pergi ke tahun 2018 untuk menyelamatkan kekasihnya, Laura. Akibatnya, di tahun tersebut ia malah bertemu dengan dirinya sendiri yang masih berusia 12 tahun.
Teruntuk Dirimu di Masa Lalu
Adam dewasa yang datang dari tahun 2050 dengan segala pemikirannya yang lebih dewasa dan realistis bertemu dengan dirinya sendiri di masa lalu yang masih berusia 12 tahun. Adam dewasa sangat sadar betapa menyedihkannya dirinya di masa lalu. Lemah, culun, penyakitan, dan kerap bersikap tidak empati pada sang Ibu.
“Kau punya ibu yang merawatmu, sedangkan dia tidak ada yang merawat. Ibu bangun tiap pagi, patah hati, menghadapi lemari penuh baju Ayah, dan kau hanya memberinya masalah tanpa memahami perasaannya sedikitpun.”
Adam berkata tentang bertapa muak dirinya mengingat sikapnya di masa lalu, meski telah 30 tahun terlewat. Seorang yang pemarah dan tak pernah peduli pada rasa sakit dan rasa kehilangan yang dirasakan ibunya. Ia membenci mendiang ayahnya karena tak pernah ada untuknya dan hanya memikirkan pekerjaannya.
Adam dewasa adalah manusia yang sangat membenci dirinya di masa lalu, yang kalau bisa ingin dihapus saja karena saking banyaknya penyesalan dan kenangan buruk di dalamnya. Namun, Adam dewasa sangat sadar. Dirinya yang kuat dan tangguh di masa ini tak akan pernah ada tanpa semua luka, sesal, dan kecewanya di masa lalu. Masa lalu yang pahit dan berat itulah yang membentuknya dan membuatnya tegar sampai saat ia hidup di tahun 2050.
BACA JUGA: Review Film Teman Tapi Menikah
Tidak peduli seburuk apapun dirimu di masa lalu, terimalah, karena semua hal buruk dan pahit yang telah kau hadapi itulah yang akan membuatmu menjadi kuat di masa depan. Jangan hanya berdiam dan menyalahkan diri sendiri, tapi bangkitlah, berjuanglah dengan segala rasa sakit itu untuk menjadi lebih baik.
Teruntuk Dirimu di Masa Depan
Jika sebelumnya telah kita bahas bagaimana pandangan Adam yang telah dewasa. Maka kali ini kita akan beralih ke sudut pandang Adam yang masih berusia 12 tahun. Si bocah yang lemah, culun, dan penyakitan itu. Ia bahkan kerap dihajar oleh teman-temannya.
Ia hidup dengan ibunya, sedangkan ayahnya telah meninggal dunia dua tahun lalu. Kepergian sang Ayah telah meninggalkan luka dan rasa sepi yang teramat sangat dalam keluarga itu, membuat hubungan antara Adam dan Ibu tidak baik-baik saja.
Ketika melihat dirinya yang telah dewasa, Adam kecil merasa sangat kagum, dengan tubuh yang tinggi besar dan kekar. Ia yang masih lemah pun berandai-andai kapan dirinya dapat menjadi kekar dan kuat seperti dirinya di masa depan.
Namun, Adam kecil sangat sadar bahwa dirinya yang telah dewasa tak sebaik itu. Dirinya yang telah dewasa mudah kalap akan sesuatu, tak berpikir panjang, dan begitu mudah tersulut emosi akan sesuatu. Adam kecil sadar bahwa dirinya yang telah dewasa masih juga belum bisa sembuh dari luka masa lalunya.
“Karena dia meninggal. Kau membencinya karena dia meninggal. Kau memaksa dirimu membencinya karena itu lebih mudah dari pada merindukannya. Aku masih ingat beberapa hal yang tidak ingin kau ingat.”
BACA JUGA: Review Film Losmen Bu Broto
“Nasib buruk menimpamu, menimpa kita, dan kita tak pandai menghadapinya. Kurasa itu perangai kita. Kini aku menyusahkan ibu, dan kurasa marah lebih mudah dari pada beranjak sedih. Mungkin ketika aku dewasa, aku mulai lupa bahwa dua emosi itu berbeda.”
Teruntuk dirimu di masa depan, jangan pernah lupakan hal-hal baik di masa lalu hanya karena ada begitu banyak kesulitan yang tengah kau hadapi. Meski masa lalu rasanya lebih baik dilupakan saja, tapi jangan pernah lupa, bahwa di masa lalu ada banyak kenangan penting yang terlalu sayang untuk dibuang apalagi dilupakan.
Hadapi Masa Lalu dan Ungkapkan Perasaanmu
Kadang cinta tak butuh hanya dengan pembuktian, tapi juga ungkapan. Rasa yang terpendam perlu diutarakan. Kesedihan pun demikian. Berpura-pura tegar seringkali tak menyembuhkan luka. Hanya menutupinya, hingga entah kapan akan muncul pula ke permukaan.
Barangkali Adam dewasa mencoba berdamai dengan masa lalu, di mana ia kerap kali menyusahkan sang Ibu. Ketika tanpa sengaja bertemu ibunya ia berkata,
“Kau pikir kau bersikap tegar untuk putramu, tapi masalahnya jika kau berpura-pura tegar, itulah yang dia yakini. Mungkin dia perlu tahu kalau kau tidak tegar. Itu tidak masalah.”
Begitu pula ketika di scene terakhir di mana ia hendak berpisah dengan sang Ayah. Sang Ayah sadar betapa ia masih belum menjadi ayah yang baik. Ia cinta pada putranya, tapi tak pernah mengungkapkannya dengan baik, dan tak bisa selalu berada di sisi anaknya.
Saya sangat tersentuh kala sang Ayah mengucapkan rasa cintanya pada Adam dewasa. Betapa ia sangat bangga dan sayang terhadap anaknya. Ia bahkan merasa beruntung dapat menyaksikan anaknya hidup sampai menjadi di usia dewasa seperti ini.
BACA JUGA: Review Film Pandai-Me
Lalu ada pula scene ketika Adam kecil memeluk ibunya. Hadapi lukamu dan ungkapkan perasaanmu. Jika merasa marah, kesal, kecewa atau sedih, ungkapkanlah!
Terakhir dan yang paling saya suka adalah adegan ketika Adam dewasa berkata pada dirinya yang masih 12 tahun, “Kuhabiskan waktu 30 tahun, aku berusaha berubah agar tidak seperti dirimu lagi. Kuberi tahu sesuatu, walaupun aku benci mengatakannya, tapi sejak semula kau adalah bagian terbaikku.”
Bagi saya scene ini seolah menggambarkan sosok Adam dewasa tengah berdamai dengan dirinya sendiri di masa lalu.
Meski film The Adam Project (2022) menyajikan aksi yang epik dan seru, akan tetapi yang paling membekas bagi saya adalah bagaimana masing-masing karakter –bukan hanya Adam– mulai menerima keadaan dan masa lalunya.