KOTOMONO.CO – Beberapa hari lalu jutaan anak sekolah baru saja menerima rapor. Barangkali sebagian besar dilakukan via dalam jaringan (daring) demi menghindari kerumunan. Sisanya diambil langsung di sekolah secara bergiliran. Tentu dengan protokol kesehatan yang katanya ketat supaya aman.
Dulu, hari penerimaan rapor merupakan hari yang cukup bersejarah bagi kalangan pelajar. Mereka menunggu orangtuanya di rumah, berharap-harap cemas apakah nilai pelajarannya bagus atau jelek. Tatkala pintu rumah di buka, segera saja mereka menghampiri bapak atau ibunya seraya menerka isi rapor lewat mimik mukanya.
Ada orangtua yang langsung memberi ganjaran atau hukuman sebelum si anak diberi kesempatan membuka laporan itu. Tapi ada juga yang membiarkan buah hatinya melihat sendiri bagaimana deretan angka pada tabel nilai, baru kemudian menjatuhkan “vonis”. Pada akhirnya, semua itu bermuara pada bentuk tindakan orangtua terhadap anaknya.
Reaksi apa yang bakal dikeluarkan orangtua bisa bermacam-macam. Bila itu kekecewaan, maka kadarnya pastilah berbeda antara orangtua satu dengan yang lain. Begitu juga kebahagiaan, kebanggaan, atau kepuasan. Intinya satu, alasan tindakan itu bergantung isi rapor atau, pada kesempatan lain, skor ulangan harian.
Kalau begitu, isi rapor adalah landasan perlakuan orangtua kepada anaknya dalam hal pendidikan. Nilai dan deskripsi apa yang perlu ditulis guru harus memotret apa yang betul-betul terjadi. Karena itu, guru mesti barhati-hati merangkum sedemikian banyak hal ke dalam format beberapa halaman saja.
Begitulah. Menilai memang tidak mudah. Menilai itu perlu kecermatan. Ada banyak pertimbangan dan pilihan yang perlu diputuskan. Pun, tidak semua hal dapat dinilai dan dicantumkan, mengingat dalam seminggu guru mengajar ratusan murid. Sebab itu, penilaian, pada dirinya sendiri, tidak merangkum keseluruhan.
BACA JUGA: Salah Guru Ya Kalau Kualitas Pendidikan Kalah Saing?
Selain itu, fokus sekolah bukanlah pada pendidikan, tetapi pengajaran. Ini yang nyata terjadi. Pekerjaan utama guru itu salah satunya melaksanakan amanatkan kurikulum, yaitu menyampaikan semua materi pelajaran, mentransfer pengetahuan kepada murid-muridnya. Inilah yang dinamakan pengajaran.
Sayangnya, selama melaksanakan kewajibannya, guru tak cuma menuangkan air pengetahuan ke segelintir murid saja, melainkan ratusan. Nah, dengan jumlah sebanyak itu, ditambah banyaknya kemampuan dasar yang perlu dikuasai mereka, materi pelajaran terkesan terlampau banyak.
Guru dan murid stress. Pendidikan direduksi habis-habisan ke tingkat mekanis, tanpa ada upaya kembali ke fitrahnya. Itu pun masih ditambahi tanggungjawab besar mendidik generasi bangsa, generasi masa depan. Kondisi inilah yang secara umum tengah berlangsung selama proses pencapaian tujuan pendidikan nasional: agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Cita-cita yang mulia, abstrak,sekaligus mengawang-awang bila dihubungkan dengan usaha yang minimal dan beban kerja guru yang berlebihan.
BACA JUGA: Pelajaran Menggambar Sama Pentingnya Dengan Pelajaran yang Lain
Baik, kembali ke rapor. Mungkin, banyak orangtua menerima begitu saja apa yang rapor sajikan. Meragukannya sama saja tidak mempercayai guru. Tak percaya guru berarti meremehkan kegunaan pendidikan. Padahal tanpa pendidikan, hidup orang akan (makin) susah.
Berdasarkan logika itu timbul lah kepercayaan soal pendidikan anak sebagai tanggung jawab penuh pihak sekolah. Karena itu, andaikata ada orang bilang “Wahai anakku, sekolah lah biar pintar” atau “Kelakuan bocah itu kayak preman, pastilah dia tidak sekolah”, maka itu petunjuk yang teramat jelas bahwa sekolah punya kuasa menjadikan anak cerdas dan baik budinya.
Lantas, melalui proses pendidikan yang sebenarnya tak banyak diketahui orangtua murid, rapor diyakini merangkum segala macam proses itu. Rapor menceritakan apapun soal anaknya terkait sekolah. Akhirnya, orangtua mungkin menduga bahwa laporan itu menunjukkan tingkat kepintaran anak sekaligus kebaikan budinya sebagai hasil pendidikan di sekolah. Nilai bagus, sudah jelas maknanya. Sebaliknya, nilai jelek berarti masa depan suram. Semacam itu.
Namun, apa arti semua nilai mata pelajaran pada rapor? Apakah ia betul-betul menunjukkan sisi kecerdasan dalam menangkap pelajaran serta kualitas pribadi seorang anak? Bagaimana dengan lika-liku perkembangan diri mereka selama beberapa bulan terakhir? Apakah segala warna-warni proses dan hasil pembelajaran selama beberapa bulan itu dapat secara memuaskan diwakili oleh rapor yang hanya beberapa halaman saja?
BACA JUGA: Kota Pekalongan Bikin Program Kesejahteraan Sosial Anak Integratif, Buat Apa ya?
Nyatanya, nilai maupun deskripsi perkembangan murid cuma sebatas serpihan dari totalitas yang luar biasa kompleks dalam kehidupan anak di sekolah. Boleh jadi lebih banyak hal yang tak tertangkap oleh guru untuk dinilai. Bahkan, pada kesempatan tertentu, guru bisa ragu lho apakah kemahiran muridnya dalam mengerjakan soal atau misalnya mengondisikan anggota kelompok belajarnya merupakan hasil didikannya atau bukan.
Kalau demikian, sebenarnya bagaimana sih asa-usul rapor?

Mungkin penjelasannya agak membosankan, karena terlalu teknis. Tapi, biar rapor nggak cuma dipandang seperti lembaran penilaian saja, baiknya kita simak sejenak asal usulnya. Yuk.
Kita mulai dari satu mata pelajaran saja. Misalnya Fisika. Setidaknya, selama satu semester murid perlu menguasai lima kemampuan dasar (KD) yang sebelumnya sudah disusun oleh pemerintah. Salah satu KD tersebut bisa berbunyi menganalisis interaksi gaya dan hubungan antara gaya, massa,dan gerak benda.
Masing-masing KD itu biasanya dipecah menjadi beberapa indikator sebagai petunjuk apakah nantinya murid menguasai KD tadi. Supaya nggak bingung, berikut ini nih contoh indikatornya: menerapkan hukum Newton pada gerak melingkar atau menyelidiki karakteristik gaya gesek melalui percobaan.
Indikator inilah yang kemudian digunakan guru sebagai unit terkecil dalam menguji pemahaman dan keterampilan muridnya. Hasil akhirnya adalah skor pencapaian berupa angka, misal 80 atau 50, yang menunjukkan tingkat penguasaan materi.
Singkatnya, konten pelajaran yang diajarkan oleh guru, paling sedikit, bertujuan agar indikator itu terpenuhi.
Jadi, mboh piye carane, guru harus berusaha agar si murid mampu menguasai indikator itu, atau mampu menerapkan hukum Newton pada gerak melingkar.
Ingat ya, itu baru satu indikator. Tiap KD bisa saja ada tiga sampai lima indikator. Padahal satu semester itu seenggaknya ada lima KD. Alhasil, 25 indikator perlu dicapai murid pada satu pelajaran saja: Fisika.
BACA JUGA: Cara Mudah Belajar Membaca dan Menulis Aksara Jawa Nglegena
Lha memangnya ada berapa pelajaran sih? Sedikitnya, menurut undang-undang, mulai SD hingga SMA, murid ketiban sepuluh pelajaran. Bahkan bisa lebih kalau IPA atau IPS dipecah menjadi pelajaran Biologi, Kimia, Fisika atau Ekonomi, Geografi, Sosiologi.
Karena itu wajar saja bila sekolah itu lebih fokus ke pengajaran daripada pendidikan.
Nah, sekali lagi, rapor itu bukan gambaran keseluruhan proses belajar anak, melainkan hasil akhir semata. Kalau mau lihat potret total perkembangan anak, silakan saja hubungi masing-masing guru yang mengajar. Utamanya yang berkaitan dengan pemahaman tentang materi pelajaran.
Sebab itu, saya serukan kepada seluruh orangtua murid: nggak perlu lah Anda khawatir menemui atau menghubungi guru mapel. Itu hak Anda semua kok, dan dijamin oleh undang-undang. Ditambah lagi, mengetahui perkembangan anak adalah kewajiban Anda semua. Karena, pada intinya, sekolah hanya membantu Anda dalam mendidik anak, khususnya dalam hal pengajaran.
Jadi, kalau mau tahu anaknya gimana saja selama pelajaran, apakah memperhatikan, apakah bisa bekerja dalam tim, apakah suka menghilang, apakah lebih memilih duduk di kursi belakang karena satu dan lain hal, silakan menemui gurunya. Bisa via daring atau luring. Terserah mana yang dirasa nyaman.
BACA JUGA: Pentingnya Kerja Sama Orang Tua dalam Mendampingi Pertumbuhan Anak
Selepas itu berbincanglah dengan mereka, akrabilah, perlakukanlah mereka layaknya rekan seperjuangan. Mereka-mereka ini adalah mitra Anda semua, juga sebagai sumber utama nilai rapor anak Anda. Ketimbang telat mengapresiasi isi rapor yang datang dua kali setahun, sudah seyogianya Anda mulai menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan guru atau walikelas. Hitung-hitung bagi tugas.
Ini serius. Nggak main-main. Buat anak kok main-main. Orangtua itu urusannya mendidik anak di luar jam sekolah, mulai sore hingga menjelang tidur, plus saat liburan sekolah. Sedangkan guru dapat jatah mengajar (dan mendidik), umumnya, dari jam tujuh pagi hingga jelang sore.
Hasil dari pendidikan dan pengajaran kedua pihak ini lalu digabungkan dan dibicarakan. Mungkin nggak selalu dalam forum formal, misalnya ngobrol santai melalui saluran telepon, pesan WhatsApp, atau di warung kopi. Rapor itu baiknya dianggap laiknya potongan puzzle. Melaluinya nyaris tak mungkin kita mengetahui keseluruhan.