Sejak kapan tubuh menjadi objek kesalahan? Rasa-rasanya nggak pernah deh aku temukan itu. Tetapi, mengapa tubuh selalu menjadi sasaran empuk bagi jutaan pasang mata untuk kemudian diukur salah benarnya atas dasar penglihatan mereka?
Ya, tubuhku mungkin nggak menarik bagi mereka. Berat badan berlebih. Pipi seperti bakpao. Dan, tinggi badanku tak bisa mengalahkan tingginya pagar rumah tetangga yang ukurannya hanya satu setengah meter itu. Tetapi, apakah aku harus merasa bersalah dengan tubuhku?
Mestinya tidak. Tetapi, setiap melintas di jalan kampung, tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang tak mengenakkan. Aku merasa ada banyak pasang mata mengikuti langkahku. Cara mereka memandang juga aneh. Diselingi bisik-bisik yang kadang terdengar pula tawa dengan nada mengejek. Sungguh menjengkelkan!
Mula-mula aku tak peduli memang. Tetapi, lama-lama aku merasa tak nyaman. Aku merasa seperti dikejar dosa hanya karena tubuhku.
Pada sebuah pagi, aku menyengaja memanggil beberapa teman yang senasib. Sama-sama memiliki bentuk tubuh yang berlebihan. Kami mengobrol soal tubuh kami. Ah, rasanya aneh memang mengobrolkan tubuh sendiri. Tetapi, apa boleh buat, ini juga demi kebaikan bersama, pikirku. Toh, bagiku, mengobrolkan tentang diri sendiri itu lebih baik daripada ngobrolin orang.
Karuan saja, teman-teman semua hadir. Kami berkumpul di warung Mak Ndut. Ya, aku sengaja memilih tempat itu, karena pemilik warungnya juga bertubuh gendut seperti kami. Dengan begitu, kami merasa bebas membicarakan tubuh kami.
“Fren, kamu ngrasa nggak sih kalau kita ini spesial?” aku mengawali obrolan. Sengaja kupancing dengan obrolan yang mungkin saja di luar dugaan teman-temanku. Spesial! Kata itu barangkali saja bisa membuat mereka meledak-ledak.
“Spesial?” seloroh Cika sambil nyengir dan mengerutkan dahinya.
“Iya, spesial!” aku menukas.
“Apanya yang spesial, Vit?” pangkas Amel.
“Karena kita selalu diperhatiin orang-orang sekitar kita. Ya nggak?” tanyaku.
Sejenak senyap. Tak ada yang buka suara. Hanya suara bising kendaraan yang melintas di jalan depan warung Mak Ndut yang lewat. Pandangan mereka juga mulai aneh. Mungkin karena mereka pikir kata-kataku aneh bagi mereka.
“Kok pada bengong?” selorohku.
“Nggak, aku nggak bengong. Cuma ngrasa aneh aja sama kata-katamu barusan,” sahut Cika.
“Iya, Vit. Kamu aneh hari ini. Kenapa tiba-tiba kamu bilang kita spesial? Padahal, dulu kamu kerap bilang pingin banget diet. Tapi, kenapa sekarang kamu jadi berubah gitu?” sambut Amel.
“Betul, Mel. Gara-gara omongan Vita soal diet itu, sebenarnya aku jadi semangat buat diet lho, Vit. Tapi, kenapa sekarang beda gini?” timpal Jeni.
“Aku juga,” tukas Cika ketus.
Aha! Akhirnya, satu per satu mereka mulai buka suara juga. Aku senang. Mereka mau jujur. Dan, itulah gunanya menjadi teman. Bagi orang-orang seperti kami, kejujuran itu mutlak. Apalagi kami cukup tahu dirilah dengan keadaan tubuh kami. Sekalipun mungkin keadaan tubuh kami masih bisa diakalin, tapi apalah artinya kalau usaha yang kami lakukan justru menyiksa diri.
Ya, aku memang pernah mengatakan pada mereka tentang niatku untuk diet. Tetapi, itu dulu. Ketika aku mulai merasakan ketidaknyamanan. Bukan karena tubuhku sebenarnya. Melainkan karena ocehan kakakku.
“Anak gadis itu mbok ya pinter ngerawat tubuh. Jangan sampai tubuh kedodoran gitu,” kata kakakku suatu sore.
Mungkin kakakku benar. Aku memang nggak bisa ngerawat tubuh. Tetapi, menganggap tubuh gendut sebagai suatu kesalahan, itu tidak bisa aku terima.
Sejak itu, aku berniat diet. Kuikuti saja saran para ahli yang ditulis di media-media online. Aku mulai mengurangi makan nasi. Mengurangi konsumsi gula, lemak, dan sebagainya, dan sebagainya. Tetapi, lama-lama aku merasa tersiksa. Aku seperti merasa berdosa karena dengan diet itu aku seolah-olah tak menerima keadaan dengan seutuhnya. Aku seperti tak menerima takdir. Semua hanya karena anggapan mereka yang buruk padaku.
“Tenang… tenang. Kalian jangan langsung ngejudge gitu deh. Ampun….” ucapku membela diri sambil kutatap pandangan mata mereka satu per satu.
“Vit, aku paling nggak suka dimain-mainin sama temen, Vit. Kamu tahu kan?”
“Oke, oke, Cika, kamu tenang dulu. Aku mau jelasin ke kalian. Kenapa aku ngomong gini,” belum selesai aku bicara, kemarahan Cika makin menjadi. Ia langsung saja nyolot.
“Vit, selama ini aku sudah nganggap kamu teman baik. Teman paling spesial. Tetapi, kamu rupanya suka permainkan pertemanan ini. Nggak Vit, aku nggak terima cara kamu gini!”
“Cika!” Amel menahan Cika. Cepat-cepat ia menarik lengan Cika dan menyuruhnya duduk lagi. Aku yang tadinya agak cemas dan khawatir kalau Cika jadi pergi, merasa lega. Kutarik napas dalam-dalam. Kemudian menghempaskannya.
“Ya, aku kemarin-kemarin memang sempet juga diet. Seperti kalian. Tetapi, ada pengalaman buruk yang aku alami,” pelan aku mulai bercerita pada mereka. Tentang pengalaman buruk itu. Syukur, mereka mau mendengarkannya.
Awal aku diet, memang rasanya ada beban berat. Aku sulit menghindari makanan. Tetapi, lambat laun aku terbiasa. Semua karena ada harapan besar yang kutanam dalam benakku. Bahwa suatu ketika, aku akan memiliki tubuh indah. Aku membayangkan, aku menjadi gadis yang diidam-idamkan. Bahkan, bayangan itu sampai terbawa ke dalam mimpiku.
Aku berdiri di atas catwalk. Berlenggak-lenggok sebagai seorang model. Semua mata memandang perhatian. Sorot kamera pun terpusat ke arahku. Lantas, datanglah seorang pangeran tampan mengulurkan tangannya sambil membungkukkan badan dan berjongkok. Aku menyambut tagannya. Dan, diciumnya tanganku. Riuhlah tepuk tangan.
Selang berapa lama, selepas mimpi itu pergi dari tidur malamku. Aku temukan sebuah artikel tentang peristiwa tragis yang menimpa seorang model. Demi mempertahankan bentuk tubuhnya, ia rela menyiksa diri sendiri. Sampai-sampai tubuhnya meradang dan sakit parah.
Memang, model itu memulai kariernya karena balas dendam. Dulu, kerap ia merasa terpojokkan gara-gara tubuhnya yang tak menarik. Diet ketat pun dilakukannya. Hidupnya seketika berubah.
Tetapi, setelah ia jatuh sakit, ia sadar. Apa yang dialaminya, ia anggap sebagai halusinasi. Ia tak benar-benar memiliki dirinya seutuh-utuhnya. Ia hanya menuruti apa kata orang-orang. Apa yang dibanggakannya tak lebih hanya anggapan orang. Dan ia bekerja bukan atas kemauannya, melainkan demi sebuah anggapan.
“Kupikir, apalah artinya tubuh ini jika tubuh yang kita punya hanya kita tundukkan pada sebuah anggapan? Kalau tubuh kita paksakan untuk tunduk pada anggapan, lalu tubuh kita ini punya siapa? Punya kita atau punya anggapan?” kataku.
Kulihat, semua terdiam. Mereka seolah terhipnotis oleh ceritaku. Mungkin, karena mereka juga merasakan hal yang sama. Mereka terdiskriminasi oleh anggapan orang-orang. Terpojok karena tak sanggup melawan anggapan itu.
Tidak. Aku tidak ingin dikuasai oleh anggapan. Dan aku yakin, Tuhan pasti punya alasan mengapa aku, Cika, Amel, dan Jeni diciptakan dengan tubuh begini. Tentu, alasan itu alasan yang spesial.
“Ya, Tuhan menciptakan kita spesial,” pungkasku.
Seketika, Mak Ndut yang sedari mula mengamati obrolan kami menimpal, “Halah, halah, halaaah…. Kalian itu kok masih ngomongin soal tubuh. Mbok kayak Mak ini loh. Nggak peduli sama tubuh Mak. Alhamdulillah, walau tubuh Mak ini selebar pintu warung, Mak masih tetep bisa jualan. Masih bisa gerak sana-sini. Masih diberi kesehatan. Bisa nyekolahin anak sampai sarjana. Apalagi?”
Kata-kata Mak Ndut, seketika memecah suasana. Tawa pun membuncah. Ya, kami merasa punya orang tua yang mau mengerti keadaan kami.