KOTOMONO.CO – Penggemar film di negeri ini pasti tahu film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Film yang tayang tahun 2020 ini diangkat dari buku best seller karya Marchella FP. Lewat besutan Angga Dwimas Sasongko film ini boleh dibilang sukses mengangkat tema keluarga.
Kisahnya juga sangat menyentuh. Lebih-lebih ketika film ini mengungkap hubungan kakak-adik dari tiga bersaudara, antara tokoh Angkasa, Aurora, dan Awan.
Mula-mula, hubungan mereka berjalan harmonis. Tetapi, lambat laun hubungan itu diwarnai dengan pengalaman traumatik dalam keluarga mereka. Tokoh Awan yang diperankan Rachel Amanda adalah anak bungsu dalam keluarga mendadak menjadi seorang yang sangat bergantung pada orang-orang sekitarnya. Ia selalu dibingungkan dengan keputusan yang diambilnya. Walhasil, ia kerap melawan keputusannya sendiri ketika ia tahu jika keputusan itu tidak sesuai dengan kata hatinya.
Kondisi ini, membuat Awan semakin kesulitan menemukan jati dirinya. Ia bahkan sempat putus asa karena merasa gagal menjadi dewasa. Nah, berangkat dari suguhan kisah film ini, menarik pula bagi kita untuk mengulik seperti apa sebenarnya menjalani hidup sebagai seorang anak bungsu.
Seperti telah diungkap para ahli, urutan kelahiran anak dalam sebuah keluarga ternyata sangat berpengaruh pada pembentukan karakter, sikap, dan perilakunya. Masing-masing anak akan memiliki karakteristik, persepsi dan interpretasi berbeda dalam menghadapi sebuah situasi yang berbeda.
Berbeda dengan pendapat ahli, masyarakat kita punya cara pandang sendiri. Umumnya, mereka beranggapan kalau anak bungsu itu anak manja. Kok bisa?
Biasanya, anak bungsu mendapatkan perhatian lebih dari orang tua dan saudara-saudaranya. Lebih-lebih jika selisih usia mereka cukup jauh. Dengan kata lain, sikap manja pada anak bungsu ini dipersepsikan sebagai akibat dari perhatian yang berlebihan dari orang-orang sekitarnya.
BACA JUGA: Jika Kita Bisa Memilih, Pengennya Jadi Anak Pertama, Tengah, atau yang Bontot?
Selain perhatian yang berlebih, sikap manja pada anak bungsu juga diakibatkan oleh kebiasaan orang-orang sekitar yang selalu ingin membuat hidupnya serba tercukupi. Ketika mengalami kesulitan, orang-orang di sekitarnya akan dengan lekas-lekas memberi pertolongan. Ketika murung, orang-orang di sekelilingnya buru-buru memberinya hiburan.
Disadari atau tidak, perhatian yang berlebihan itu perlahan-lahan membentuk sikap hidup si bungsu menjadi orang yang cenderung suka memrotes, mudah marah, dan ceroboh. Di saat itu, tak jarang orang-orang di sekitarnya memberi label sebagai anak “bermasalah”.
Memang, yang namanya orang tua selalu punya keinginan untuk bisa menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Khususnya, bagi si bungsu. Tidak heran jika kemudian sikap orang tua yang demikian cenderung menjadi overprotektif.
Tak pelak lagi, pengekangan sulit dihindari. Aturan-aturan yang ketat diberlakukan. Bahkan, tidak jarang pula jalan hidupnya sangat ditentukan oleh keinginan orang tua, tanpa berusaha mengenali potensi yang ada pada diri si bungsu.
Perlakuan semacam ini sebenarnya membuat si bungsu justru kesulitan menemukan jati dirinya. Sulit pula baginya menemukan potensi pada dirinya. Oleh sebab itu, ia juga merasa kesulitan untuk mengembangkan diri.
Saking sulitnya, si anak bungsu ini tak jarang jadi kerap membangkang. Sebab, sebenarnya ia punya cita-cita untuk dirinya sendiri. Ia pengin banget bisa mencapai keinginannya dengan usahanya sendiri. Tapi sayang, perlakuan yang demikian mengikatnya membuat ia “dipaksa” hidup dengan keputusan orang lain.
Kalau kondisi ini berlarut-larut, bukan tidak mungkin ia justru akan menjadi seorang yang mudah putus asa dan kehilangan semangat dalam menjalani hidup. Bahkan, bisa sangat mungkin ia akan menjadi pribadi yang temperamen dan depresi. Makanya, ada baiknya orang-orang di sekelilingnya berusaha mengerti apa sesungguhnya yang diinginkan si bungsu.
Umumnya, anak bungsu ingin hidup mandiri. Mereka menolak pelabelan “anak manja”. Dari keinginan itu, tampak jelas bahwa sebenarnya si bungsu bisa hidup mandiri. Hanya kadang karena tak didukung oleh lingkungan keluarga, maka keinginan itu mungkin sekali hanya akan menjadi angan-angan kosong.
Lalu, dukungan apa yang bisa diberikan? Banyak. Misal, dengan mencoba untuk menjalin komunikasi yang baik dan terbuka mengenai keinginan si bungsu. Bisa juga dengan tidak membandingkannya dengan yang lain. Atau, memberinya kepercayaan untuk melakukan sesuatu sehingga ia berkesempatan mengexplore potensi dirinya. Selain itu, boleh juga dikasih tantangan agar si bungsu bisa melakukan hal baru.
BACA JUGA: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual
Kita memang tidak bisa menentukan mau jadi anak yang keberapa dalam keluarga. Tetapi, tak perlu risau dengan anggapan minir tentang anak bungsu. Sekalipun mungkin saja langkah kita tak banyak didukung keluarga, kita mesti terus berusaha dan mencoba untuk membuktikan, bahwa kita bisa.
Setidaknya, kita punya kesempatan yang lebih leluasa untuk belajar dari pengalaman kakak-kakak kita. Dengan begitu, kita dapat menjadi orang yang lebih baik. Bisa menghindari kesalahan yang pernah kakak-kakak kita lakukan.