KOTOMONO.CO – Hingga Rabu (24 Februari 2021) sore, saya tak menemukan hal yang lebih menarik untuk ditulis, selain hal ini. Saya menemukan sebuah postingan menarik di medsos tentang aksi yang dilakukan seorang kawan saya selama masa banjir merendam Pekalongan. Postingan itu, menurut pandangan subjektif saya, punya sesuatu yang berbeda. Sudut pandangnya menarik dan menggelitik. Ia tidak mengritik secara langsung memang. Tetapi, ampuh untuk disodorkan kepada pihak-pihak yang mestinya bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa warga.
Saya mengenalnya sudah cukup lama. Sejak SMP. Karena dulu ia satu almamater. Sama-sama muridnya Pak Suim, guru Seni Rupa. Sama-sama muridnya Bu Ika, guru bahasa Indonesia. Juga sama-sama muridnya Pak Abu Bakar, guru Fisika. Bahkan, pas kelas tiga, kami satu kelas. Ruangannya di pojok belakang, dekat ruang kantor guru. Namanya, mas Fredi Kastama.
Sejak banjir melanda Pekalongan, termasuk kelurahan tempatnya tinggal, cepat dan tanggap ia bersikap. Ia langsung turun ke lapangan bersama sedulur-sedulur yang tergabung di Maiyah Suluk Pesisiran. Padahal, rumah tinggalnya juga terkena banjir.
Mula-mula, ia sempat menghubungi saya untuk dihubungkan dengan pihak terkait. Tetapi, mungkin karena respon dari pihak yang terkait itu dinilai tak begitu cepat—maklum kadang urusan dengan pihak terkait tak jarang memakan waktu yang relatif lebih lama karena masalah birokrasi—ia merasa perlu upaya untuk melakukan sendiri. Memenuhi apa-apa yang mesti dipenuhi. Sekurang-kurangnya, menyelamatkan warga kampung sendiri dulu.
BACA JUGA: Dinsos P2KB Kota Pekalongan Tanggapi Postingan “Kapok ke Dinsos”
Namun, rupanya tak cukup di kampung sendiri, ia pun segera melesat ke kampung-kampung lain. Tentu, ia tak sendiri. Ada sedulur-sedulur dari MSP, tempat ia juga bergiat di dalamnya. Gerakannya gesit. Bahkan, yang saya lihat dari postingan-postingannya di facebook, jauh lebih gesit dari pasukan yang dikirim oleh Pemerintah Kota Pekalongan. Sebab, setiap ia dan sedulur-sedulur MSP bergerak, tidak saya temukan satu pun foto yang mempertemukan mereka dengan pasukan berseragam dengan logo kota Pekalongan.
Ia dan sedulur-sedulur MSP menyalurkan bantuan yang disumbangkan dari para dermawan. Macam-macam bentuk dan jenisnya. Ada obat-obatan, bahan makanan, dan sebagainya. Semua disalurkan ke setiap lokasi terdampak banjir.
Meski begitu, ia tak lupa menjalankan roda ekonomi untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang ditanggungnya. Ketika tak nyemplung di kawasan banjir, ia sempatkan meladeni orderan batik. Seusai melayani orderan batik via online, ia kembali lagi menjadi manusia air. Berjibaku dengan banjir.
Dalam beberapa kali kesempatan, ia dan sedulur-sedulur MSP juga memandu para dermawan dari luar daerah yang berniat menyalurkan donasi ke warga terdampak. Dengan segenap hati, ia dan sedulur-sedulur MSP mengantarnya sampai tujuan. Bahkan, menjadi jembatan yang baik bagi para dermawan itu dengan warga.
Selain itu, ia dan sedulur-sedulur MSP pun membuka posko peduli warga terdampak banjir. Poskonya sederhana. Hanya sebuah ruang tamu di salah satu rumah pegiat MSP. Tak ada atribut apapun yang terpampang di sana. Prinsipnya, adalah sama-sama saling menjaga kepercayaan. Saling menjaga hubungan baik.
Di posko inilah, para pegiat MSP, termasuk ia, menyusun rencana dari hasil observasinya di lapangan. Ya, sebelum rencana itu dibuat, pemetaan wilayah dan masalah dibuat berdasarkan hasil observasi langsung ke lapangan. Jadi, tidak asal mendistribusikan donasi yang terhimpun. Pemetaan wilayah dan masalah juga dilakukan dengan berkoordinasi dengan jejaring para pegiat yang selama ini tersebar di banyak wilayah. Sehingga, hal itu memudahkan tim.
Yang menarik lagi, sementara sejumlah kelompok lain berusaha berkoordinasi dengan lembaga-lembaga milik pemerintah atau organisasi-organisasi yang sudah mapan, MSP justru mengambil sikap yang berbeda. Mereka bergerak sebagai respon yang spontan. Meski begitu tersistem dengan baik. Birokrasi yang mereka susun pun sederhana, ala kadarnya. Tidak njelimet dan bikin ribet. Prinsipnya, menolong ya menolong saja.
Kemandirian semacam ini yang saya kira sangat patut diapresiasi. Memang, tidak hanya MSP yang melakukan hal semacam ini, saya kira. Tetapi banyak komunitas atau kelompok-kelompok lain yang juga melakukan hal serupa. Corak dan langgam gerak mereka pun beraneka macam. Semua perlu diapresiasi. Entah itu yang bekerjasama dengan pemerintah, organisasi, maupun yang mandiri, saya kira sama-sama melakukan hal yang sama baiknya. Dalam keadaan apapun, kesiap-siagaan semacam ini, saya pikir, perlu menjadi pembiasaan.
Pemerintah, mestinya patut berbangga karena memiliki warga yang siap sedia kapan saat dibutuhkan. Bahkan, tanpa harus diminta atau diperintah oleh Walikota atau Bupati, bahkan oleh Presiden sekalipun. Kalaupun memang masih ada kendala yang dihadapi lembaga pemerintah, warga juga maklum, tenaga yang ada di lembaga-lembaga pemerintah barangkali saja sangat terbatas. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Bu Khotijah via telepon saat saya bersiaran di acara Wedangan, kalau mengandalkan pemerintah akan lama, karena warga juga paham kekuatan pemerintah tidak akan mampu mencukupi kebutuhan semua warga.
BACA JUGA: Cerita Dua Penelepon tentang Dampak Banjir di Pekalongan
Pemakluman semacam ini mestinya disikapi secara bijaksana oleh para pemangku kebijakan. Tak perlu merasa gusar atau kecil hati, apalagi merasa didahului atau diterabas kewenangannya. Sebaliknya, para pemangku kebijakan mestinya merasa bersyukur karena memiliki warga yang baik dan mau mengerti kesulitan yang dialami oleh lembaganya. Kalaupun ada sedikit selentingan dari warga, saya rasa itu lumrah. Barangkali warga tidak cukup pengetahuan mengenai apa-apa yang memang harus dikerjakan di lembaga-lembaga pemerintah itu. Mungkin tidak cukup mengerti kerepotan para awak negara yang berseragam di lingkungan kantor-kantor pemerintah.
Yang mungkin jauh lebih perlu dilakukan lagi oleh para awak negara berseragam ini adalah melakukan komunikasi dan dialog sedekat mungkin dengan warga. Jika perlu benar-benar mendudukkan diri sebagai pelayan masyarakat. Artinya, benar-benar mau mendengarkan dan memperhatikan apa saja yang dikeluhkan warga. Jangan sampai meja dan kursi yang diduduki menjadi penghalang untuk dekat dengan warga. Jangan sampai seragam itu menjadikan Bapak atau Ibu yang terhormat itu merasa kaku.
BACA JUGA: Keluh Kesah Seorang Warga Terdampak Banjir tentang Foto-foto di Medsos
Di lain sisi, pemakluman warga atas kinerja para pemangku kebijakan, mestinya juga disikapi dengan cara yang anggun. Sebab, dengan pemakluman ini ada pekerjaan-pekerjaan lain yang sama pentingnya yang dapat dilakukan dengan lebih baik. Seperti merencanakan pembangunan jangka panjang untuk mengatasi masalah banjir dan rob di Pekalongan. Ini perlu, agar kedepan dampak banjir dan rob dapat diminimalisir. Sehingga, aktivitas warga pun dapat terjamin lancar. Perputaran roda ekonomi dapat bergulir dengan lebih baik. Dan warga pun tak sungkan-sungkan menyetor pajaknya kepada negara, karena kebutuhan mereka pun terpenuhi. Yaitu, memiliki lingkungan yang terbebas dari banjir dan rob.
Sekali lagi, angkat topi dan tundukkan kepala untuk para relawan, dermawan, dan semua warga Pekalongan yang telah mencurahkan perhatian. Dengan apapun caranya. Doa terbaik untuk semua.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya