KOTOMONO.CO – Kalau dengar kata “dijodohin”, kita mungkin akan meresponnya dengan mencibirkan mulut kita. Lantas bilang, “Idih kuno amat sih!” ya kan?
Tapi, memang sih, di era kayak sekarang ini agaknya aneh kalau ada “perjodohan”. Terutama, bagi masyarakat perkotaan. Entah di desa? Memang sih, anak muda sekarang cenderung ogah dijodohin. Nggak cewek, nggak cowok, sama-sama ogah dijodohin. Maunya sih cari jodoh sendiri. Katanya sih lebih sreg, karena sudah kenal satu sama lain.
Tapi, mungkinkah sikap anak muda sekarang terpengaruh kisah Sitti Nurbaja yang ditulis Marah Rusli tahun 1922? Padahal, belum tentu anak-anak muda sekarang pernah baca novelnya. Paling banter ya pernah dengar ceritanya aja. Itu pun cerita ringkasnya.
Novel ini, oleh penulisnya, menjadi sebuah upaya melawan tradisi kawin paksa atas hubungan bisnis antar orang tua. Jadi, bukan murni perjodohan. Dan, kalau mau mengulik lebih dalam, novel ini sebenarnya sebuah kecaman atas sikap Pemerintah Kolonial Hindia Timur (Belanda) yang sangat berambisi untuk menguasai negeri ini. So, perkaranya beda. Kawin paksa nggak sama dengan perjodohan.
Nah, di negara-negara tetangga, rupanya praktik perjodohan masih kerap ditemukan. Perjodohan bahkan dilanggengkan menjadi tradisi yang sakral. Di India salah satunya.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Masyarakat India berkeyakinan bahwa perjodohan adalah hal yang terbaik dalam menjalin pernikahan dan hubungan. Anak-anak muda pun kebanyakan memilih jalur perjodohan dalam mencari pasangan hidupnya. Bahkan, sebuah penelitian mengungkap salah satu faktor yang membuat angka perceraian di India rendah adalah perjodohan.
Tradisi perjodohan juga masih berlaku di negara-negara lain. Seperti Tiongkok, Pakistan dan Jepang. Lalu, apa kabar di Indonesia?
Banyak yang mengira kalau di Indonesia sudah nggak ada tradisi perjodohan. Padahal nggak begitu. Tradisi perjodohan masih bertahan dan masih sering dilakukan. Terutama masyarakat desa yang masih memegang prinsip budaya dengan kuat. Entah itu karena dipaksa, terpaksa, atau memang sudah saling cinta? Perjodohan masih kerap kali dilakukan.
Di Desa Sindang, kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah tradisi perjodohan masih kerap dijumpai. Terutama bagi keluarga calon mempelai wanita. Seperti sudah direncanakan, sejak awal, pihak keluarga akan mencarikan jodoh yang tepat untuk anak mereka. Bila sudah memasuki masa remaja, di antara orang tua akan mulai membicarakan masalah pasangan dan perjodohan.
BACA JUGA: Hei, Para Suami! Jangan Bebani Istrimu Pakai Alat Kontrasepsi
Meski begitu, kadang para orang tua juga khawatir jika dengan perjodohan itu akan membuat hubungan persaudaraan atau bermasyarakat menjadi bermasalah. Hal itu juga yang ditakutkan para anak muda. Tetapi dengan ketakutan itu pula kadang para orang tua justru berpikir kalau hal itu akan membuat semua yang terlibat dalam perjodohan itu akan semakin berhati-hati dalam berperilaku.
Sementara, orang tua yang tergolong masih cukup muda biasanya tidak akan menggunakan adat perjodohan. Mereka cenderung membebaskan anak mereka untuk menentukan masa depannya. Tetapi jika dalam keluarga masih ada nenek atau kakek, perjodohan kerap kali masih dilakukan dalam keluarga.
Keikutsertaan mereka inilah yang membuat sikap semua anggota keluarga “terpaksa” mengikuti kemauan mbah-mbah mereka. Bagaimana caranya menolak, kadang masih saja kita yang kalah dengan mereka.
Hal yang paling berpengaruh sebenarnya bermula dari pendidikan kemudian lingkungan, yang membuat perjodohan masih kerap dilakukan. Di Desa Sindang termasuk desa yang pendidikannya tergolong rendah. Yang melanjutkan ke jenjang SMA pun jarang.
Apalagi yang sampai melanjutkan ke perguruan tinggi bisa dihitung menggunakan jari. Kebanyakan anak muda memilih berhenti lulus SMP lalu bekerja di pabrik atau PT, kemudian menikah dan berumah tangga.
Banyak yang beralasan, jika sekolah tinggi bakal mengeluarkan uang banyak. Yang ditakutkan mereka adalah, jika sudah sekolah tinggi serta mengeluarkan biaya banyak, tetapi ujung-ujungnya hanya sebagai kuli bangunan, tukang penderes, atau buruh. Apalagi bagi perempuan, sulit bagi mereka untuk melanjutkan sekolah tinggi. Hanya karena alasan ujung-ujungnya bakal jadi ibu rumah tangga, percuma sekolah tinggi tidak jadi apa-apa.
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Terkadang mendengar hal seperti itu, apalagi sebagai perempuan yang mendengarnya ikut sakit hati. Padahal sekolah tinggi bukan bertujuan untuk menjadi orang yang kaya, tetapi sekolah itu bertujuan untuk mencari ilmu. Dan kemudian ilmu tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk menjadi bekal kelak jika akan menentukan masa depan yang akan dijalani.
Banyak orang sukses tetapi dengan latar belakang pendidikan yang rendah, dan yang berpendidikan tinggi menjadi korban pengangguran. Terkadang mindset orang berbeda, yang membuat susah dalam mencapai satu tujuan yang sama untuk membuat maju daerah sendiri.
Kembali ke permasalahan perjodohan, sebenarnya apa yang orang tua cari dari calon pasangan yang akan menjadi pasangan anaknya kelak. Apakah harta, kekayaan, keagamaan, atau karena hal lain? Jika semua itu berimbang, tidak masalah kelak nantinya.
Namun, jika karena alasan harta dan mapan, apakah hal itu menjadi alasan yang logis? Sebenarnya kami sebagai suara anak muda, menolak jika alasan menikah karena itu. Jika karena harta dan mapan, hal itu tidaklah cukup untuk bekal berumah tangga. Karena harta juga bisa dicari nantinya, mapan juga pasti akan tumbuh dengan mental yang mendukung. Jika tanpa agama yang kuat, kami juga tidak yakin.
Sebagai anak muda, kami juga melihat dari pengalaman pasangan lain yang awal mulanya dari perjdohan. Dan kami melihat akibatnya, dengan perjodohan ternyata banyak yang berakhir berpisah dan bercerai. Memang tidak semua, tetapi kebanyakan kami menemukan hal itu terjadi. Dan kami tidak ingin mengalami hal tersebut, karena pernikahan bukanlah ajang perjajalan atau percobaan.
BACA JUGA: Latah dan Mudah Berpaling adalah Budaya Kita
Seringkali mendengar alasan perjodohan karena orang tua melihat dari kemapanan, kekayaan dari calon pasangan anaknya kelak. Tetapi terkadang mereka tidak melihat bagaimana perilakunya, tingkah laku kesehariannya, keimanannya dan hal lain. Karena pernikahan itu butuh modal yang banyak, bukan hanya uang tetapi mental pun sangat penting dalam berumah tangga.
Dan yang paling sering mereka lakukan adalah, menjodohkan anak perempuannya saat umurnya masih remaja dan belum cukup umur. Hal itu juga terkadang membuat angka perceraian sangat tinggi. Pernah mendengar kalimat, “Cinta ditolak, dukun bertindak”? Kalimat tersebut memang kadang menjadi jalan penting bagi keluarga yang ingin menjodohkan namun anaknya menolak. Jika dukun bertindak, ya sudah tiada harapan untuk bisa menolak bukan?
Banyak budaya yang kadang memang baik untuk kita, tetapi bagaimana kita menyikapi budaya yang kadang dipandang baik tetapi kenyataannya lain.