KOTOMONO.CO – Sejak kemunculan ChatGPT, Artificial Intelligence (AI) kian popular. Chatbot ini mampu menjawab segala pertanyaan dan merespons perintah penggunanya hanya dalam waktu singkat. ChatGPT bahkan digadang-gadang akan terus melakukan upgrade agar mampu melakukan perintah dengan lebih baik sehingga memudahkan pekerjaan manusia.
Tidak hanya ChatGPT, kecerdasan buatan lainnya juga berkembang cepat. AI terbukti mampu membantu pekerjaan manusia sehingga menjadi lebih efisien. Misalnya beberapa tools yang dibuat untuk memudahkan administrasi perkantoran, membuat animasi, mengubah teks menjadi suara, produksi video, ide konten, copywriting, bahkan menulis artikel sekalipun.
Banyak tugas yang terbantu, namun pada akhirnya juga menimbulkan keresahan. Jika beberapa pekerjaan ini sanggup diselesaikan oleh AI dengan baik bahkan dalam waktu yang relatif singkat, apakah posisi manusia kelak akan tergeser oleh AI? Apakah keberadaan AI yang super canggih ini pada akhirnya juga mampu menggantikan posisi penulis?
BACA JUGA: Menumbuhkan Gerakan Literasi Tak Cukup dengan Gerakan Membaca
Mungkin AI bisa membantu mempermudah pekerjaan. Tapi dalam prosesnya tentu membutuhkan konseptor untuk merencanakan sistem yang baik dan hanya bisa dilakukan oleh kerja otak manusia, termasuk dalam hal menulis, Tools AI seperti ChatGPT dan Copy.AI bisa melakukannya, tapi tentu menjadi lebih sempurna jika dikombinasikan dengan kerja otak manusia.
AI Hanyalah Robot, Tidak Berperasaan
Saat senggang, saya terkadang iseng mencoba bermain-main dengan ChatGPT. Sekadar bertanya tentang apa yang saat itu ingin saya ketahui, atau sengaja menanyakan hal-hal remeh yang terlintas di kepala saya. Seperti ketika itu, saya mendadak ingin menguji seberapa hebat kemampuan ChatGPT membuat puisi.
Hanya dengan menuliskan kalimat perintah, “buatkan saya puisi bertema cinta”, dalam sekejap ChatGPT sudah menyuguhkan hasilnya. Sesuai dugaan, puisi yang dihasilkan AI tersebut tidak lebih dari kata-kata biasa yang cenderung jujur dan hambar. Berbeda dari puisi yang ditulis berdasarkan interpretasi hati dan pikiran manusia.
Lain waktu saya memerintahkan ChatGPT untuk membuat artikel. Tools ini berhasil membuatnya dengan bahasa yang baku khas artikel biasanya.
Artinya, AI tidak sesempurna itu melaksanakan perintah menulis. Kelemahan AI dalam hal ini yaitu bahwa ia sebatas robot dengan sistem sedemikian rupa sehingga hanya mampu menjalankan perintah berdasarkan data-data yang sudah tersimpan.
Sementara menulis adalah pekerjaan yang tidak hanya berbasis data saja. Perlu adanya sentuhan gaya bahasa, diksi, juga perasaan agar apa yang ingin disampaikan penulis bisa tersalurkan dengan tepat. Dan itulah yang tidak ada pada AI. Setiap penulis memiliki karakternya sendiri, akan sulit mendapatkan tulisan yang demikian melalui AI.
Jangan harap kamu bisa memerintahkan AI untuk menulis artikel satire tentang peristiwa yang masih ramai diperbincangkan belakangan ini. Mengapa? Karena satire adalah tulisan khusus dengan gaya yang hanya bisa diciptakan oleh manusia. Ada ciri khas di sana yang mampu menarik gelak tawa namun sekaligus bisa dipahami pesannya oleh pembaca. Tulisan satire tidak sekaku artikel yang dihasilkan AI. Begitu pula dengan sajak puisi.
AI adalah robot. Meskipun mampu melakukan pekerjaan menulis secara “lugas”, ia tidak memiliki emosi untuk menghasilkan karya yang mampu menyentuh hati atau menyampaikan maksud secara tepat. Data yang tersimpan pun sebenarnya terbatas.
BACA JUGA: 4 Hal yang Paling Menyebalkan Saat Berselancar di Twitter
Pun saat saya menanyakan topik “teror ninja Banyuwangi”, ChatGPT mengaku tidak bisa memberikan informasi yang valid. Hal ini disebabkan karena AI tersebut berbasis data sehingga hanya mampu mengolah informasi yang tersedia saja. Keterbatasan informasi yang tersedia memaksa kita tidak hanya bergantung pada kemampuan ChatGPT semata.
Kembali pada Fungsi Semula
Dengan kecerdasannya, AI juga masih memiliki kekurangan. Untuk memanfaatkan kecerdasan buatan secara maksimal, kita bisa mengembalikan AI pada fungsi semula: membantu dan mempermudah pekerjaan manusia. Kamu bisa menjadi seorang ahli AI yang kemudian bekerja untuk mengoperasikan AI sedemikian rupa sehingga menyempurnakan tugas-tugasmu.
Jika memungkinkan menulis menggunakan AI, periksa kembali dan sesuaikan dengan gayamu. Tapi sebenarnya ada satu pertanyaan yang masih menjanggal bagi saya. Jika memang kita mencantumkan tulisan yang dibuat oleh AI, apakah kita bisa melakukan klaim bahwa tulisan (atau karya lain apapun itu) sebagai karya orisinil kita?
Keberadaan AI baiknya membuat kita makin bersemangat untuk mencari ide-ide brilian untuk berkarya. Memudahkan pekerjaan, dan bukan sebagai pengganti otak secara sepenuhnya.