KOTOMONO.CO – Tanpa berbasa basi, saya akan langsung menjawab pertanyaan dari judul yang saya tulis tersebut. Iya, memang menjadi perempuan sangatlah sulit. Kita dituntut untuk melakukan banyak hal agar bisa dinilai sebagai perempuan seutuhnya. Padahal, sebenarnya, sebagai perempuan, kita tidak bisa melakukan hal-hal tersebut.
Misalnya saya. Sebagai perempuan, saya tidak bisa memakai make up. Saya tidak merasa nyaman ketika bibir saya harus diwarnai dengan warna merah mencolok atau warna pink agar bisa dinilai imut oleh banyak orang. Selain itu, saya juga tidak merasa nyaman ketika memakai dress. Saya lebih nyaman memakai celana tiga perempat dan kaos oblong. Menurut saya, diri saya ada di kaos oblong dan celana tersebut, bukan pada dress.
Lagi pula, apa kaitannya dress dan make up dengan diri perempuan? Dianggap erat kaitannya karena memang konstruksi sosial menganggapnya demikian. Apalagi pola pikir masyarakat sudah terkunci oleh konstruksi sosial. Jadi, menurut masyarakat, dress dan make up berjenis kelamin perempuan. Padahal kedua benda tersebut tidak memiliki jenis kelamin.
Selain itu, ketika sedang haid, perempuan juga sering kali merasakan sakit yang luar biasa. Perut sakit, pinggang pegal, hingga keluar jerawat adalah hal-hal yang harus dihadapi perempuan setiap bulannya. Belum lagi banyak perempuan yang harus menghadapi kerasnya dunia kerja yang tidak memberikan cuti haid di tengah menghadapi masalah haid yang pelik itu.
BACA JUGA: Yang Nihil dari Perayaan Hari Kartini
Lalu, perempuan juga bisa dicap sebagai orang yang jorok ketika darah haid tersebut membekas di bokongnya. Hal tersebut tidak berlaku ketika ada orang jatuh yang darahnya bercucuran. Sama-sama darah, kenapa hanya darah haid yang dianggap jorok dan tabu?
Sulitnya menjadi perempuan juga sering dialami oleh perempuan yang memiliki payudara yang besar. Dianggap murahan hingga terjadi pelecehan seksual adalah masalah yang harus dihadapi perempuan tersebut.
Padahal, perempuan itu sudah memakai pakaian yang longgar dan memakai jilbab, agar payudaranya tidak begitu menonjol. Namun, tetap saja, payudara masih tetap terlihat begitu nyata dan pelecehan seksual menimpanya.
Dan ketika kejahatan itu terjadi, siap-siap saja perempuan akan disalahkan. “Kamu sih, punya susu kok gede banget, jadinya gini kan?” Begitu kira-kira kalimat yang akan terlontar dari mulut orang-orang.
Pun ketika perempuan memiliki payudara yang kecil. Mereka sering dianggap bukan perempuan seutuhnya. Tidak perlu memakai baju seksi katanya, karena tidak ada “bagian tubuh” yang bisa dipamerkan.
BACA JUGA: Perempuan itu Nggak Lemah, ini Buktinya!
Rasa sulit menjadi perempuan semakin tampak, ketika perempuan memasuki usia seperempat abad lebih namun tidak kunjung menikah. Banyak yang menganggap bahwa menikah di usia 30++ akan sulit untuk hamil, apalagi melahirkan anak. Padahal sebenarnya, perempuan yang dicap “perawan tua” tersebut merasa dirinya baik-baik saja walaupun belum atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah dan punya anak.
Sulitnya menjadi perempuan juga sangat dirasakan oleh banyak perempuan ketika sudah berumah tangga. Wajib mengurus urusan domestik adalah hal yang selalu dihadapi para perempuan. Banyak yang menganggap bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sepele.
Padahal rasa capek yang luar biasa sering kali menempel di tubuh ibu rumah tangga tersebut. Bayangkan saja, seorang ibu harus bangun pagi-pagi sekali guna menyiapkan sarapan dan air hangat agar anak dan suami bisa berangkat sekolah dan bekerja.
Belum lagi ada tugas cuci piring, cuci baju, mengepel lantai, membersihkan kaca, menggosok baju, dan lain-lain. Tugas akan semakin berat ketika ibu tersebut harus mengurus balita apalagi jika dirinya tengah hamil tua. Di malam hari pun, ibu rumah tangga wajib menyiapkan makan malam anggota keluarganya. Selesai makan, ibu rumah tangga masih disibukkan pikirannya karena harus memikirkan, “Besok akan masak apa?.” Intinya, menjadi ibu rumah tangga wajib siaga 24 jam.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Bagaimana jika perempuan yang sudah melahirkan dan kembali bekerja di ruang publik? Ah, ya tetap saja, mereka akan dicap sebagai bukan ibu seutuhnya. Apalagi jika mereka melahirkan secara caesar dan tidak dapat menyusui anaknya. Dan ketika kembali bekerja pun, beban ganda (mengurus urusan domestik dan mencari nafkah) akan selalu ada di benak perempuan.
Masalah sulitnya menjadi perempuan juga tak berhenti di situ saja. Perempuan harus cantik menurut standar yang sudah ditetapkan adalah hal yang wajib dipenuhi oleh para perempuan.
Kulit harus putih, rambut panjang dan lurus, badan proporsional, mata tidak boleh terlihat seperti mata panda, wajah harus glowing, bulu mata harus lentik, lutut tidak boleh hitam, bibir harus tetap merah merona dan tampak alami, adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh para perempuan agar tetap dinilai cantik walaupun pasca melahirkan.
Tak hanya fisik yang dituntut sempurna. Secara sikap dan sifat pun perempuan juga dituntut untuk menjadi anggun. Misalnya tidak boleh tertawa terbahak-bahak, tidak boleh terlalu mandiri, tidak boleh terlalu pandai, tidak boleh memiliki jabatan yang tinggi, dan harus nurut terhadap suami. Jika mereka melanggarnya, ya mereka akan dicap sebagai perempuan abal-abal.
Lalu, apa yang harus kita lakukan agar perempuan tidak merasa sulit? Janganlah membuat rumus “jadilah perempuan seutuhnya”. Biarkan saja perempuan tersebut tumbuh dengan keinginannya masing-masing.
Jika ada perempuan ingin melajang seumur hidup, izinkan. Jika ada perempuan tidak ingin punya anak, izinkan. Jika ada perempuan ingin berkarir pasca menikah dan melahirkan, izinkan. Jika ada perempuan ingin menjadi ibu rumah tangga, izinkan dan hormatilah.
Jadi, intinya jangan memberatkan perempuan untuk menjadi keinginan banyak orang terlebih dari suaminya sendiri. Selagi tidak memberatkan orang lain, maka izinkanlah perempuan menjadi apa yang kita impikan.