KOTOMONO.CO – Pernah ngebayangin seumpama Anda jadi bungkus rokok yang diremas-remas dan dibuang ke mulut asbak setelah semua isinya habis dihisap? Kira-kira gimana rasanya?
Mungkin, ini pertanyaan konyol. Jadi, nggak ada kewajiban juga buat Anda untuk menjawab. Cukup bayangkan saja seandainya Anda jadi bungkus rokok itu.
Sebagai bungkus rokok, mula-mula Anda terlindung oleh lapisan plastik bersegel. Ketika masih utuh, Anda tampak gagah dan memesona. Apalagi ketika dipajang di dalam etalase bersama merk-merk rokok lain. Desain yang begitu rupa membuat bungkus rokok itu tampak keren. Mampu membuat mata yang memandang tergoda.
Begitu tiba-tiba ada yang beli, bungkus rokok itu terpisah dari kawanannya. Masuklah ia ke saku celana atau jaket atau juga tas kecil. Selama di dalam saku atau tas itu ia tidak tahu akan dibawa kemana. Ia ikuti saja tuan barunya itu kemanapun pergi.
Hingga di suatu tempat, ia mendapati suara ramai. Kemudian si tuannya mengeluarkan dari saku atau tas tempatnya tinggal sementara. Ia lantas ditaruh di atas meja. Dari sana ia melihat orang-orang duduk melingkarinya. Mereka mengobrolkan sesuatu yang mungkin saja penting bagi orang-orang itu. Tetapi, ia tak mengerti apa yang sedang dibicarakan orang-orang itu.
Lalu, ia edarkan pandangannya ke semua sisi. Ia temukan cangkir dan gelas, juga piring dan sendok-garpu ada di sekitarnya. Ada juga asbak. Dan, yang membahagiakannya adalah ketika ia mendapati beberapa bungkus rokok ada di dekatnya. Setiap mereka duduk bersama korek api. Ada yang segelnya telah dikelupas. Ada juga yang pelapis plastiknya dilepas. Ada juga yang bagian tutup bungkus itu menganga, hingga tampak batang-batang rokok di dalamnya. Ia menyapa mereka satu-satu.
Tak lama kemudian, si tuan memungutnya dari meja. Lalu, dibuka pita kecil segelnya. Dibuka juga bagian tutupnya. Selepas itu, dibuka juga bagian kertas grenjeng dan dilepasnya bagian atasnya. Tampak sudah batang-batang rokok yang ia simpan.
Diambil oleh si tuan, sebatang. Ada ruang yang tiba-tiba melegakan. Ia lantas dibalikin lagi ke atas meja. Sementara si tuan, memasang sebatang rokok itu di antara celah bibirnya. Mulutnya menjepit pangkal batang rokok. Tangan kanannya mulai memainkan korek api. Seketika, korek api yang melumat ujung rokok itu memerahbarakan ujung rokok dan mengepulkan asap putih.
Bersama kepul asap putih itu, si tuan melepaskan jepitannya pada pangkal rokok. Kini, sebatang rokok itu diapit oleh dua jari tangan kanan si tuan. Rokok itu digamit oleh jari telunjuk dan jari tengah.
Si tuan, tampak menikmati betul sensasi rasa sebatang rokok itu. Ia menghembuskan asap rokok itu. Lalu, kembali melibatkan diri dalam percakapan itu.
Sesekali, si tuan mengangkat cangkirnya. Menyeruput isinya. Mungkin kopi? Mungkin teh? Atau, mungkin saja bukan dua-duanya. Tetapi apa?
Mungkin lebih baik bagi bungkus rokok itu mengabaikan kemungkinan-kemungkinan itu. Ada yang lebih penting dan prioritas. Yaitu, ia tak sendiri di atas meja. Ada beberapa kawan sejawatnya.
BACA JUGA: Ganti TV Digital? Jangan Kuwatir, Ada Bantuan! Katanya….
Sementara si tuan asyik mengobrol, ia memilih ngobrol bersama para bungkus rokok lainnya di atas meja. Saling bertegur sapa dan bertanya kabar. Ngobrol ngalor-ngidul tak jelas arah. Yang penting masih bisa hepi.
Batang pertama sudah habis. Si tuan itu lantas mengusek-usek bagian bara pada rokoknya di permukaan asbak. Memadamkan baranya.
Setelah benar-benar padam, si tuan masih saja nyerocos soal ini-itu. Sesekali tampak si tuan menyeruput minuman dari cangkir itu. Tetapi, bungkus rokok itu makin tak memedulikan apa yang dilakukan si tuan. Ia makin menemukan keasyikan, ia terus mengobrol bareng bungkus-bungkus rokok di dekatnya itu.
Makin lama, ia juga makin tak lagi peduli kalau batang-batang rokok yang ada di dalamnya berangsur berkurang jumlahnya. Si tuanlah yang mengambil batang-batang rokok itu dari dalam bungkus. Itu dilakukan berkali-kali oleh si tuan, sampai akhirnya semua batang rokok di dalam bungkus itu habis.
Selang beberapa saat kemudian, si tuan mengakhiri obrolan. Tanda-tanda untuk meninggalkan tempat menikmati obrolan itu. Namun, sebelum si tuan ini benar-benar meninggalkan tongkrongannya itu, ia meremas bungkus rokok itu hingga bentuknya menjadi tak beraturan. Saat beranjak dari kursi dan hendak berdiri, ia membuang bungkus rokok yang sudah tak ada isinya itu ke mulut asbak. Lantas, segera meninggalkan meja itu, bersama kawan-kawan obrolan.
Kini, bungkus rokok itu sendirian, ditinggal kawan-kawannya. Ia hanya bisa tergolek diam tanpa daya di dalam mulut asbak. Bentuknya tak rupa. Tak semenarik seperti ketika ia dipajang di dalam etalase. Tentu, keadaan itu membuatnya tak lagi diperhatikan. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah diam menunggu nasib.
BACA JUGA: Wisata Cerita, Sebuah Ide Untuk Kepariwisataan Non-Mainstream
Tetapi, nasib bungkus rokok usang itu selalu menjadi pasti. Dipungut dari mulut asbak, lalu dibuang ke dalam tong sampah. Makin jauhlah ia dari segala kemewahan yang pernah hinggap pada dirinya. Bahkan, ia menghilang dilahap api hingga menjadi abu di antara abu-abu yang lain dalam tumpukan sampah.
Begitulah, kehidupan sang bungkus rokok. Kemewahan yang dulu ia miliki, seketika musnah setelah segala yang membuatnya berarti habis dinikmati si tuan. Sedang si tuan, karena merasa telah membayarnya mahal dari sebuah toko, ia merasa punya hak untuk memperlakukannya demikian. Tak peduli apakah itu menyakitkan atau tidak. Bagi si tuan, ia tak lebih bungkus rokok yang pada akhirnya akan disampahkan.
Berkaca dari tragedi bungkus rokok itu, saya lantas berpikir. Bahwa tragedi bungkus rokok hanyalah sekelumit peristiwa tragis yang sangat mungkin dialami oleh manusia itu sendiri. Tragedi bungkus rokok barangkali sebuah pesan terselubung tentang tabiat manusia yang cenderung menjadi sewenang-wenang. Entah itu disadari maupun tidak.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya