KOTOMONO.CO – Curah hujan berintensitas tinggi merata di seluruh wilayah Pekalongan Kota dan Kabupaten. Debit air sungai-sungai di Pekalongan pun overdosis, karena daya tampung sungai-sungai terbatas. Tak terhindarkan, luberan air terpaksa meleber ke kawasan permukiman warga. Hingga kini (Senin, 8 Februari 2021), luberan air telah menggenang ke seluruh wilayah Kota Pekalongan.
Dampak peristiwa alam ini benar-benar mengganggu kehidupan masyarakat. Aktivitas warga menjadi terhambat, perputaran roda ekonomi warga pun terhenti sementara waktu. Menyelamatkan diri dan menyelamatkan harta benda milik mereka, hanya itu yang bisa dilakukan. Setidaknya, itu sebagai cara warga mempertahankan hidup mereka.
Di pengungsian-pengungsian, ratusan warga terpaksa menghadapi ketidaknyamanan. Ada yang mengungsi di musala, masjid, ataupun aula-aula dan gedung-gedung yang ada. Dapur-dapur umum pun disiagakan penuh, membantu pemenuhan kebutuhan logistik warga yang membutuhkan.
BPBD Kota Pekalongan, sebagai sektor yang menangani masalah penyelamatan warga, mengerahkan seluruh tenaga yang ada. Bahkan, mereka juga mengajak serta seluruh elemen masyarakat untuk ikut terlibat di dalam upaya evakuasi warga.
Berbagai pihak pun ikut terlibat. Mereka mulai membuka donasi dan menyalurkan bantuan. Bentuk bantuannya pun beragam. Setidaknya, bantuan-bantuan itu akan sedikit memberi keringanan bagi warga yang terdampak.
BACA JUGA : Silverman, PGOT Jadi Aset Wisata, Boleh Nggak?
Memang, sebelumnya, limpasan air ini sudah beberapa kali meluber ke jalanan dan kawasan permukiman warga. Pada hari Selasa (19 Januari 2021), luberan air sempat menggenang rumah-rumah warga di tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Pekalongan Barat, Pekalongan Timur, dan Pekalongan Utara. Peristiwa ini sempat membuat DPRD Kota Pekalongan geram karena Pemerintah Kota Pekalongan dinilai lamban dalam menangani masalah drainase.
Meski begitu, permasalahan tersebut, sejatinya merupakan masalah klasik yang sudah berlangsung lama. Setahun lalu, tepatnya pada hari Kamis (27 Februari 2020) seperti diberitakan radarpekalongan.com, Komisi B DPRD Kota Pekalongan sempat menyidak Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Pekalongan lantaran masalah drainase belum juga tuntas. Padahal, soal perbaikan sistem drainase sudah mendesak. Bahkan, tahun 2019, masalah tersebut juga sudah dibahas.
Lepas dari masalah saluran drainase, luberan air kembali menggenang sejumlah kawasan permukiman warga pada Kamis (4 Februari 2021). Jalan-jalan dan rumah-rumah warga di 16 Kelurahan tergenang air. Bahkan, sebelum sepenuhnya surut, hujan terus saja mengguyur Kota Pekalongan. Sampai Senin (8 Februari 2021) sekitar pukul 01.50, hujan baru reda. Namun, luberan air meluas ke hampir seluruh wilayah kota Pekalongan.
BACA JUGA : Banjir Berwarna Merah di Kota Pekalongan Itu Biasa Saja, Nggak Usah Lebay!
Tetapi, ada juga yang entah sengaja atau tidak, membikin pemandangan lain. Tanggal 6 Februari 2021, di kawasan Kelurahan Jenggot, genangan air itu berwarna merah. Kontan, peristiwa itu merebut perhatian media massa setelah sebelumnya beredar foto dan video genangan air memerah itu viral di jagad medsos.
Beredar pula informasi, bahwa warna merah itu berasal dari obat pewarna batik kimia yang sengaja dibuang oleh seseorang. Ada pula yang mengatakan jika itu tak disengaja, mungkin karena tak mau gegabah menyimpulkan. Yang jelas, sebagaimana disampaikan Saminta, Kepala BPBD Kota Pekalongan di media-media mainstream, warna merah itu bukan berasal dari limbah batik, melainkan pewarna batik yang dibuang sembarang tempat.

Alasan yang cukup menguatkan pernyataan Kepala BPBD Kota Pekalongan, selama musim hujan, biasanya pranggok-pranggok batik tidak berproduksi. Termasuk, pranggok-pranggok yang ada di kawasan Kelurahan Jenggot. Mereka libur.
Tetapi, apakah liburnya usaha produksi batik itu cukup mendapatkan sorotan dari media nasional maupun media luar negeri? Belum tentu. Di sinilah bahayanya. Ketika sorotan informasi mengenai warna merah pada genangan air itu tak dilengkapi informasi liburnya produksi batik, tak pelak pula menimbulkan asumsi yang berbeda dari masyarakat di belahan lain dari dunia ini. Boleh jadi, warna merah itu dipersepsikan sebagai limbah.
BACA JUGA : Belajar Berempati kepada Para Relawan
Jika persepsi itu yang dimafhumi, maka patutlah menjadi kekhawatiran. Sebab, persepsi itu akan menggiring opini warga dunia tentang eksistensi batik yang merupakan produk unggulan Kota Pekalongan. Mereka bisa saja beranggapan miring terhadap batik. Walhasil, aksi boikot batik pun bisa saja muncul kemudian.
Tentu, harapannya tidak demikian. Tetapi, sekali lagi, jika kejadian itu berangkat dari keisengan, perlu dipertimbangkan pula dampaknya bagi roda perekonomian warga Kota Pekalongan. Jangan sampai gara-gara ulah iseng itu membuat batik diboikot warga dunia yang artinya ancaman pula bagi predikat Kota Kreatif Dunia yang disandang Kota Pekalongan.
Meski diakui atau tidak, masalah limbah memang masih menjadi masalah yang juga belum tuntas. Masih harus menempuh jalan panjang yang entah akan selesai sampai kapan. Tetapi, aksi iseng itu mungkin saja melukai upaya berbagai pihak yang sedang serius-seriusnya menangani limbah.
BACA JUGA : Cerpen tentang Banjir, “Kehilangan”
Kalau sekadar ingin viral, saya pikir ada banyak cara. Lebih elegan dan bermartabat. Seperti yang dilakukan para relawan yang berjibaku membantu warga yang terdampak. Saya yakin, mereka tak punya niat iseng-iseng untuk membuat momentum peristiwa alam ini sekadar ikut nampang. Tetapi, apa yang mereka lakukan adalah pilihan sadar atas dasar rasa kemanusiaan. Salut! Untuk mereka.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya