KOTOMONO.CO – Pernahkah mengamati laju jarum jam dinding di rumah Anda? Kira-kira apakah masih sama dengan yang kemarin-kemarin? Ataukah semakin ke sini semakin melambat? Terus, tanda apa kira-kira kalau detak jarum jam dinding itu melambat? Yup! Biasanya kalau melambat itu tandanya baterainya hampir habis. Lalu, bagaimana jika waktu dalam kehidupan yang kita alami ini melambat?
Ssst! Jangan buru-buru dijawab. Jangan juga mikir yang aneh-aneh. Kalau Anda ngrasa waktu melambat selama masa pandemi itu masih bisa dibilang wajar. Nggak cuman Anda yang ngrasain. Banyak orang di dunia ini merasakannya. Tapi, kenapa ya waktu kok bisa berjalan melambat?
Filsuf asal Perancis yang satu ini mungkin bisa menjelaskan soal perlambatan laju waktu. Namanya Pak Henri-Louis Bergson (1859-1941). Siapa dia? Dia ini filsuf yang berpengaruh di Perancis. Sampai-sampai sejumlah pemikir Perancis lain seperti Merleau-Ponty, Sartre, dan Lévinas juga mengakui pengaruh pemikirannya.
Terus apa kata dia soal pelambatan laju waktu? Begini nih, ceritanya Pak Bergson itu punya pemikiran yang ia sebut sebagai la durée atawa durasi. Apa itu durasi? Durasi menurut kamus Oxford adalah the length of time that something lasts or continues.
Masih menurut Kamus Oxford, kata duration itu dicomot dari bahasa Latin Kuno, durare. Artinya, to last (bertahan) atau durus yang artinya hard (keras). Kata ini kemudian berubah menjadi duratio. Nah, kalau bahasa Perancis mengadopsi kata durare dan mengubahnya menjadi durée, bahasa Inggris memilih kata duratio lantas menambahkan huruf n di belakangnya jadi duration. Sedang bahasa Indonesia, memungutnya dari bahasa Inggris. Lantas, diindonesiakan menjadi durasi.
Balik lagi ke Pak Bergson. Kata Bapak peraih nobel sastra di tahun 1927 ini, waktu itu ternyata berwajah ganda. Kayak Mas Aldebaran di Ikatan Cinta. Kadang ngeselin gara-gara sikap tegaannya sama Andin, kadang romantis sama Andin. Begitu juga dengan wajah waktu. Bedanya, wajah waktu punya nama.
Wajah yang pertama, namanya “Waktu Objektif”. Contohnya, seperti yang ada di arloji, kalender, jadwal kereta api, jam dinding, dll. Itu “Waktu Objektif”. Artinya, itungannya sudah pasti dan selalu sama sepanjang masa. Sementara, wajah keduanya disebut la durée. Apan tuh? Maksudnya “waktu hidup”, waktu pengalaman subjektif batin setiap orang. Atawa waktu yang dirasakan, dijalani, dialami, dan dijalankan oleh setiap kira. Mmm… kira-kira bisa dimengerti nggak ya?
Oke deh, lanjut aja. Menurut Pak filsuf cum selebritis berdarah campuran Polandia-Inggris yang lahir di Perancis pada hari Selasa Pahing (18 Oktober 1859) ini, kebanyakan kita nggak perhatian sama la durée. Kita lebih suka menanyakan jam berapa ini? Atau tanggal berapa sekarang? Dan lain sebagainya. Tapi ketika kedua wajah waktu itu terpisah, kita baru sadar perbedaan keduanya.
Misal nih, rentang waktu objektif antara jam 3 sore dan 4 sore sama dengan antara jam 8 malam sampai jam 9 malam. Sama-sama satu jam. Ya kan? Tapi, makna satu jam di antara kedua waktu itu bisa berbeda. Satu jam pada jam 3 sampai 4 sore bisa saja berasa lambat banget. Karena waktu itu kita buru-buru pulang ke rumah dari tempat kerja. Naik onthel ngebutnya minta ampun tapi berasa nggak nyampe-nyampe rumah juga. Padahal jalan yang kita lalui masih sama. Waktu tempuhnya juga satu jam. Sementara satu jam antara jam 8 sampai 9 malam bisa saja menjadi sangat cepat karena tak ada sesuatu pun yang kita kerjakan selain santai di rumah. Eh, nggak berasa kok sudah malem.
Sekadar contoh, untuk mendemonstrasikan gagasan Pak filsuf berkumis ini kita perlu mengingat-ingat lagi sebuah film animasi produksi DreamWorks tahun 1998, judulnya AntZ. Di salah satu adegannya muncul dua ekor semut yang terjebak di sol sepatu anak laki-laki. Selama dua menit, dua ekor semut itu asyik ngobrol. Di waktu yang sama, anak laki-laki si empunya sepatu itu sudah melangkah empat atau lima langkah. Tampak pula dalam adegan itu obrolan dua ekor semut itu berjalan normal. Ya, seperti kita lagi ngobrol gitu. Sedangkan gambar langkah anak laki-laki itu tampak melambat.
Dari situ, boleh dibilang si animator alias pembuat film itu berhasil memasukkan dua durasi dengan kecepatan yang berbeda dalam satu urutan. Anak laki-laki berjalan dalam gerakan lambat dan semut berbicara dalam waktu nyata. Semua ini tidak dapat ditangkap jika kita mengambil stopwatch dan mencatat posisi persis sepatu dan konten percakapan mereka. “Waktu obyektif” nggak relevan dengan deskripsi adegan. Sebab, fokusnya memang pada semutnya. Jadi, durasi semut menjadi penting buat penonton.
Lalu, apa hubungannya pelambatan waktu itu dengan masa pandemi yang kita alami sekarang ini? Penjelasan Pak Bergson berikut ini mungkin bisa sedikit memberi titik terang walau nggak bawa lampu LED yang bikin mata silau. Mantan Bapak Kepsek di beberapa sekolah ini mencontohkan waktu kedatangan kereta api.
Menurutnya, waktu tempuh sebuah kereta api dari satu stasiun ke stasiun lainnya itu selalu sama. Misal, ketika kita nungguin kereta Kaligung di Stasiun Pekalongan. Petugas stasiun biasanya akan mengumumkan kalau Kereta Kaligung baru akan sampai di Stasiun Pekalongan beberapa menit lagi. Katakanlah, 30 menit lagi. Sudah tentu, 30 menit kemudian kereta Kaligung akan tiba. Artinya, secara hitungan waktu objektif (dari ukuran menit) ya segitu itu. Kecuali, kalau di jalan bannya mendadak kempes atau bocor kena paku. Mungkin Pak Masinis perlu ke bengkel tambal ban dulu. Nambal ban atau ganti ban dalemnya. Atau ada orang yang mau melahirkan dalam kereta, sehingga Pak Masinis perlu membelokkan arah keretanya, mampir di Rumah Bersalin atau Rumah Sakit terdekat.
Tetapi, di dalam waktu setengah jam itu setiap calon penumpang kereta memiliki respon yang bera-beda terhadap lamanya waktu setengah jam itu tadi. Ada yang bolak-balik menonton arloji, karena merasa terlalu lambat. Ada juga yang santai-santai saja di kursi tunggu sambil makan Roti O’ sampai-sampai nggak sadar kalau keretanya sudah tiba. Lantas, ia kaget karena merasa kok cepet banget keretanya datang. Why? Mengapa? Dōshite? Kepriye kuwi?
Semua itu bergantung amal ibadahnya. Ups! Maksude semua itu dipengaruhi oleh perasaan dan ingatan masa lalu kita. Oh! Kalau kita terjebak oleh perasaan kita yang sedang buruk-buruknya, bisa saja kita bilang, “Kok lama banget sih!?” Sementara kalau kita sedang dihantui oleh perasaan yang gembira, tanpa dibebani pengalaman masa lalu yang buruk, mungkin aja kita akan mengatakan, “Wah, tumben cepet banget datengnya!”
Persis ketika kita menjalani masa pandemi. Orang yang cukup beruntung, yang nggak kudu mengatasi efek negatif pandemi, mungkin bisa menikmati hal-hal baru dalam hidupnya. Nggak merasa tertekan dengan PSBB, PKMM, Jam Malam, WFH, dan sebagainya. Malah bisa membuat kebiasaan-kebiasaan baru selama mengurung di rumah. Misal, belajar bahasa Latin, bereksperimen dengan resep menu masakan baru ala Chef Juna, main monopoli bareng keluarga, dan seabrek kegiatan lainnya yang bisa bikin enjoy.
Tetapi, lain ceritanya bagi mereka yang merasa tertekan. Waktu menjadi berjalan seperti melambat. Kemudian stress. Sebab, ada beban masa lalu yang berat. Ia takut nggak sukses tahun ini. Ia takut kehilangan pekerjaan yang dulu ia peroleh dengan susah payah. Atau ketakutan-ketakutan kalau tahun ini gagal menikah padahal dulu ia sudah dapetin pacarnya, dan lain-lainnya.
Alhasil, mereka lari ke pusat-pusat pelatihan yoga. Ikut meditasi, yoga, reiki, dan macam-macam pelatihan untuk menenangkan diri. Menjauhkan diri dari kecemasan. Hasilnya, bisa saja nggak bikin jauh dari cemas, eh malah jadi parno. Ya, bisa saja sih hasilnya baik. Ia jadi lepas dari tekanan. Tetapi, awal kejadiannya kan tetep aja karena stress. Kan?
Selain perasaan dan ingatan masa lalu, “kecepatan” la durée juga terkait ingatan subjektif masa lalu yang spesifik. Ingatan ini dibentuk oleh antisipasi masa depan. So, nggak cuman waktu yang sedang berjalan yang jadi kacau balau. Pandemi juga telah mendistorsi gagasan kita tentang masa lalu dan masa depan dengan cara yang tidak dapat ditangkap oleh “waktu objektif”.
Kalau sekarang ini kita kembali pada masa lalu, rasanya sulit untuk mengingat kembali secara tepat tanggal berapa kita nambal ban di bengkel tambal bannya Pak Kasduki di depan SD Landungsari 4. Begitu juga ketika kita menunggui lilin—eh maaf—menantikan masa depan. Perasaan kita tentang rentang waktu antara sekarang dan masa depan akan terdistorsi. Kita nggak bisa nentuin kapan ya kita ke Bali? Berapa lama lagi kita akan kumpul bareng teman-teman sekelas di kampus?
Tanpa rambu-rambu pada waktu objektif, kita merasa waktu berlalu begitu saja. Tetapi, karena tidak ada yang terjadi, waktu berlalu jauh lebih lambat. Dan kami terjebak di masa sekarang. Jika kita tahu pasti tentang sekarang, bahwa dunia akan kembali normal dalam tiga bulan, la durée akan berlalu lebih cepat. Tapi karena kita tidak tahu, kita hanya bisa berharap agar keadaan berubah menjadi normal kembali dalam rentang waktu objektif yang sama.
Pemikiran Pak Bergson ini rupanya membawa pengaruh pada novelis Marcel Proust (1871-1922). Novel In Search of Lost Time Proust—novel terpanjang yang pernah ditulisnya—itu menggambarkan kemampuan la durée berkontraksi dan berkembang, terlepas dari waktu obyektifnya. Dalam perkara ini, perkembangan waktu hidup Proust seperti yang dikisahkan novel itu terasa alami. Namun setiap volume melewati waktu “objektif” yang berbeda: beberapa volume berlangsung bertahun-tahun, yang lain hanya beberapa hari, terlepas dari kenyataan bahwa semuanya kira-kira memiliki panjang yang sama.
Begitulah yang dialami dunia selama satu tahun terakhir. Terasa kalau ukuran waktu dalam kalender (hari, minggu, dan bulan) menjadi tidak tidak relevan lagi. Tetapi, la durée telah mengambil alih seluruh waktu kita. Dalam ketidakpastian yang juga tak ada kejelasan itu mendadak sebagian besar warga dunia merasa bahwa satu hari itu terasa lebih lama dari waktu-waktu yang dilalui sebelum Pandemi menjangkiti dunia. Lalu, pertanyaannya kini, manakah waktu yang benar-benar nyata? Waktu objektif atau la durée?
Andai kita menerima klaimnya Bapak filsuf yang perlente ini, maka kita akan mengatakan bahwa la durée itu lebih “nyata” dibandingkan waktu obyektif. Sebab, waktu objektif hanyalah konstruksi eksternal yang dikenakan pada kehidupan kita. Dan sejak saat itu pula, mungkin saja kita akan menyatakan jika pandemi telah memberi setiap orang wawasan tentang sifat dasar waktu.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya