KOTOMONO.CO – Lagi-lagi kabar miris datang dari salah satu pondok pesantren di Batang. Salah satu pengasuh ponpes, Wildan Mansyuri (57) melakukan tindak pemerkosaan dan pencabulan kepada belasan santriwati. Hingga saat ini tercatat ada 15 korban, namun ada kemungkinan jumlahnya bertambah karena masih dalam proses pengembangan.
Dalam jumpa pers yang digelar Polda Jateng, tersangka bahkan mengaku ada alumni yang juga turut menjadi korban pencabulan yang sudah dilancarkan sejak 2019 tersebut.
Dengan iming-iming mendapat karomah, Wildan mengajak santriwati berhubungan badan. Modus ini dilengkapi dengan proses layaknya ijab qabul untuk meyakinkan korban bahwa mereka sudah sah sebagai suami istri. Setelahnya, korban diberikan uang jajan dan diancam untuk tidak melaporkan kejadian tersebut kepada orang lain.
Saat ini Wildan sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Undang-Undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Tapi apakah kita sudah sepatutnya berlapang dada?
Tindak Kekerasan Seksual Berulang di Sektor Pendidikan
Kasus ini mengingatkan saya pada banyak kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan yang sudah terjadi sebelumnya. Anda tentu masih ingat dengan pencabulan belasan santri di Bandung yang terjadi akhir 2021 silam. Beberapa korban Harry Wirawan bahkan sampai hamil dan melahirkan. Total ada 9 bayi dari 7 korban. Kasus ini sangat viral hingga berujung pada penutupan pondok pesantren.
Selanjutnya pada pertengahan 2022, kasus pencabulan pengurus pondok pesantren Shiddqiyyah Jombang juga menyerap atensi masyarakat. Penjemputan tersangka sulit dilakukan karena banyak simpatisan pelaku yang menghalangi proses. Pelaku —Mochamad Subchi Azal Tsani— juga mangkir pada beberapa panggilan kepolisian sebelumnya hingga terpaksa dilakukan aksi kepung.
BACA JUGA: Beban Psikologis Tiap Nonton Hafiz Indonesia Bareng Ortu
Pencabulan belasan santri di Ponpes Al Djalil 2 Jember juga tidak kalah mirisnya. Pelaporan yang dilakukan oleh istri pelaku ini berdampak pada intimidasi yang datang silih berganti untuk mencabut laporannya. Kasus lain juga sempat terjadi di pondok pesantren Lampung. Korban memgadu kepada orang tua hingga berlanjut ke kepolisian dan terungkap ada tindak pancabulan dan pemerkosaan terhadap beberapa santri dengan modus mendapat barokah Tuhan.
Beberapa kasus tersebut hanya sedikit contoh yang sudah diungakap oleh pihak berwajib saja. Kebanyakan aksi tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun dan terlambat diungkap. Tidak hanya pada sektor pendidikan berbasis agama, di sekolah umum juga terdapat praktik demikian.
Dalam hemat saya, kasus kekerasan seksual lebih marak terjadi di lingkup pondok pesantren karena mereka memiliki intensitas pertemuan yang lebih lama. Sosok guru yang dianggap sebagai “pihak mulia” juga disalah gunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk melancarkan aksi bejatnya. Dalil agama yang bersifat mutlak dalam lingkungan tersebut justru dijadikan senjata tindak kekerasan.
Apakah yang demikian akan terus dibiarkan?
Memperketat Sektor Pendidikan
Berdasarkan data statistik Kementrian Agama April 2022 lalu, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 26.975 unit. Seluruh pesantren tersebut mendidik hingga 2,65 juta santri. Penyebarannya paling banyak yaitu di Jawa Barat, disusul Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Aceh.
Itu baru pesantren yang terdaftar di Kemenag saja. Masih terdapat pondok pesantren kecil di kampung-kampung yang belum memiliki ijin legalitas. Hal ini memungkinkan “kiai dadakan” yang dengan mudahnya mendirikan pondok dan membuka akses untuk masyarakat agar belajar di sana. Terlebih, pondok pesantren sudah memiliki image yang bagus di kalangan masyarakat.
BACA JUGA: Memahami Aksi Mendadak Klaim Pejabat: Jangan Mikir Pendek!
Tumbuh dengan pendidikan agama ekstra menjadi nilai tambah bagi sebagian orang tua. Tapi, siapa yang bisa menjamin kualitas tempat tersebut?
Melihat kemungkinan dan kasus berulang, baiknya pemerintah memperketat sistem pemberian ijin yang berlaku. Entah dengan menerapkan instrumen-instrumen anyar, atau sistem yang ditata ulang untuk meminimalisir kasus serupa. Pun dengan yayasan atau penyelenggara pendidikan, perlu seleksi ketat untuk memberikan kepercayaan kepada orang lain menjadi pendidik atau pengurus instansi.
Pemberian sanksi juga bisa dilakukan tanpa pandang bulu. Jika memungkinkan, cabut izin yang berlaku saat salah satu oknumnya melakukan tindak kekerasan seksual.
Sudahkah cukup?
Menetapkan Self Boundaries Terlebih Dahulu
Peran orang tua juga perlu dalam menghindari kasus demikian. Yaitu dengan membuat tempat aman berupa boundaries untuk melindungi diri sendiri. Sekalipun pesantren menjanjikan pendidikan yang mungkin tarafnya akan berbeda dari manusia biasa, santri atau murid pada umumnya perlu dibekali pengetahuan dalam rangka perlindungan.
Sebelum melepas anak dan memasrahkan mereka ke pesantren, usahakan mereka mengetahui red flag yang patut diawasi. Mungkin pengurus yang bertemu selama proses visit orang tua ke pondok adalah orang yang baik, tapi ke depannya kita tidak bisa memprediksi mereka akan bertemu dengan siapa saja. Tidak hanya dengan pengurus, pengajar, atau teman sekalipun, boundaries ini berlaku untuk semua orang tak terkecuali.
BACA JUGA: Viral Bocah Nangis Sebab 2 Pacarnya Hamil Bersamaan, Tidak Semua Orang Layak Jadi Orang Tua
Apalagi saat melepas anak pada usia di bawah umur. Berikan pemahaman umum tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan ke orang lain, juga yang orang lain lakukan kepada mereka. Lagi-lagi, edukasi seksual wajib diberikan sedini mungkin. Pada kasus-kasus yang sudah terjadi, relasi kuasa menjadi salah satu faktor korban menuruti kemauan pelaku. Hal ini diperparah dengan doktrin “sendiko dawuh guru”.
Tidak ada yang bisa kita harapkan dengan citra pendidikan yang kadung rusak karena oknum bejat tersebut. Masyarakat akan kian merasa resah jika hal demikian tidak diselesaikan secara serius. Pendidikan tidak akan membawa anak menjadi lebih baik. Sebaliknya, justru menanamkan doktrin palsu, kesalahan berpikir, trauma, dan banyak kerugian lain baik secara fisik mapun mental.
Banyak PR besar yang bisa secara bersama-sama diselesaikan. Tapi tentu saja, perlu keseriusan stakeholder untuk mewujudkannya.