KOTOMONO.CO – Beberapa waktu lalu kita mendengar headline berita tentang bullying atau perundungan yang terjadi dalam dunia Pendidikan Kedokteran, suatu pendidikan yang bergengsi yang tak semua orang dengan mudah untuk memasukinya, yang notabene diisi oleh orang-orang cukup baik kualitas akal dan mentalnya.
Ya, dokter adalah profesi mulia penyelamat jiwa, profesi prestise dan prestasi yang dapat dibanggakan dihadapan para manusia, dengan penghasilan yang tentunya tak boleh dianggap sebelah mata, bahkan para calon mahasiswa rela berdesak-desakan untuk masuk Fakultas Kedokteran yang banyak menguras biaya.
Anggota DPR-RI Komisi IX M. Nabiel Harun dalam suatu Forum Diskusi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta membeberkan masifnya bullying yang terjadi di Pendidikan Kedokteran kita. Anggota DPR yang biasa disapa Gus Nabil ini mengungkap bahwa perundungan di dunia Kedokteran sudah berlangsung sejak lama dan bahkan dianggap sebagai tradisi. Awal dari semua itu adalah sistem yang ada didalam internal.
Lalu bagaimana pendapat para dokter tentang bullying di dunia Kedokteran? Dilansir alomedika.com, dr. Nindy Adhilah menegaskan bahwa perundungan dalam dunia Kedokteran telah terjadi secara turun temurun bahkan sudah menjadi rahasia umum. Wow…, penyebabnya adalah budaya Kedokteran yang menjunjung tinggi hirarki keprofesian dan terbiasa untuk bersikap segan terhadap dokter senior.
BACA JUGA: Bu Astutik, Peran Besar Seorang Guru SD dalam Pendidikan
Hasil Penelitian mengungkap fakta mengejutkan bahwa 50 persen lebih terjadi bullying di institusi Pendidikan Kedokteran, sebagai contoh di Cina 51 persen mahasiswa PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) atau residen mengalami perundungan secara verbal, di Mesir sebanyak 71 persen mahasiswa Kedokteran juga mengalami perundungan, dan di Amerika sebanyak 66,9 persen residen bedah juga mengalami hal serupa. Hanya saja dari sekian banyak kasus hanya sedikit sekali yang mau melapor, jika mereka melapor maka akan mempengaruhi pendidikan bahkan karir mereka sebagai seorang dokter kedepannya.
Kalaulah di negara maju saja seperti itu keadaannya apalagi di Indonesia, saya hanya bisa mengelus dada.
Tidak sepantasnya bullying terjadi hanya karena status junior atau sedang dalam masa pendidikan, kalau begitu apa bedanya pendidikan Kedokteran dengan pelonco anak sekolahan? Dokter yang sudah menyelesaikan Koas-nya maka akan dilantik menjadi profesi dokter, sebelum bertugas resmi sebagai seorang dokter sumpah dokter pun harus diikrarkan.
Seorang dokter yang secara sadar mem-bully adik kelasnya maka ia telah melanggar sumpah dokter butir nomor 2, 3, 6, 7, 10 dan 11. Paling utama nomor 10 yang bunyinya yaitu “Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung”. Apalagi sumpah dokter diawali dengan kalimat “Demi Allah saya bersumpah”, terkhusus untuk para pembully teman sejawat atau dokter residen maka anda sudah melanggar sumpah, melanggar sumpah berarti khianat, dan khianat adalah dosa besar.
Intelektulitas penting, tapi spiritualitas jauh lebih penting
Pendidikan bukan hanya sekedar mengedepankan intelektualitas, tapi juga spritualitas dan emosionalitas. Mantan Ketua Umum PBNU Alm. KH. Hasyim Muzadi pernah mengatakan “Kecerdasan dan kepandaian itu bukanlah segalanya, ia masih bergantung pada kejiwaan. Ketika kejiwaan itu tergoncang, maka kecerdasan pun akan goncang, intelektualitas bisa goncang karena instabilitas rohani”.
Satu quotes yang sangat tepat dan bijak dimana kunci dari intelektulitas itu sendiri adalah spiritualitas. Berapa banyak di negeri ini orang yang memiliki intelektualitas tapi malah tak memiliki spiritualitas, sebagai contoh para koruptor, mereka adalah orang yang cerdas, berwawasan luas, tapi tak menggunakan spritualitas, semua aturan dan norma diterobos demi nafsu duniawi yang tidak pantas.
BACA JUGA: Gaji Berlipat di Akhirat tapi di Dunia “Melarat” Si Guru Honorer
Untuk itu agama hadir dalam bentuk aplikasi ‘akhlak’ sebagai perwujudan spiritualitas manusia yang ber-Tuhan dan beradab. Agama menjadi benteng terakhir yang menjadi dinding bagi setiap manusia yang berniat membuat kejahatan dan kerusakan dimuka bumi. Sekolah dan kampus sebagai pusat peradaban intelektualitas harus menanamkan nilai-nilai spritualitas kepada peserta didiknya, bagaimana caranya? Mulailah dari sistem pendidikan yang manggabungkan nilai-nilai intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas. Sehingga akan lahir alumni-alumni termasuk dokter yang memiliki rasa empati, manusiawi, peduli dan memahami.
Pemerintah juga wajib berperan aktif untuk memutus ‘rantai hitam’ tradisi bullying para junior kalau perlu membuat aturan yang mengikat dan memaksa universitas untuk menghentikan segala bentuk bullying di dunia Kedokteran, seandainya mereka tetap melanggar maka berikan sanksi tegas. Pendidikan harusnya diisi dengan suasana yang hangat dan bersahabat, bukannya suasana yang seram dan mencekam.