KOTOMONO.CO – Dikotomi antara hal penting dan yang tak penting masih saja mewarnai dunia persilatan lidah negeri ini. Tak hanya di dalam kantor-kantor lembaga formal pemerintah, tetapi juga di dunia persekolahan dan perkampusan. Bahkan, sampai di atas bangku panjang yang mengelilingi gerobak angkringan. Juga ketika kepala bersandar di atas bantal yang kehilangan kelembutannya.
Dan, Minggu sore, di hari kedua awal tahun 2022, lidah saya baru saja merasakan lumernya sebuah pertanyaan yang mungkin saja lumrah disebut tidak penting. Waktu itu, di antara rimbun pepohonan yang menghias halaman taman Sejogatinya Majelis Taklim Al Maliki-Pekalongan, saya bersama Pak Kiai Saifudin masih melakukan proses pengambilan gambar untuk podcast Al Maliki. Sebuah program baru yang dikelola oleh anak-anak muda jemaah Majelis Taklim Al Maliki.
Tugas saya dalam podcast itu adalah sebagai host alias pemandu. Ini kali pertama saya menjadi host program podcast yang bernuansa keagamaan. Sebagai orang yang betul-betul awam masalah agama, jujur saya merasa kikuk. Apalagi lawan bicara saya seorang kiai cum pengasuh majelis taklim yang sudah punya jemaah bejibun. Makin grogilah saya, sampai nyaris mati gaya saat detik-detik awal pengambilan gambar.
BACA JUGA: Ketika Mas Dudung Bertutur tentang Proses Kreatifnya
Biar begitu, karena dituntut tampil seprofesional mungkin, saya harus menjalankan tugas ini sebaik mungkin. Segera saya lepaskan beban itu. Bayangan saya yang mula-mula takut kalau dihujat sana-sini karena dipandang su’ul adab lekas saya remas-remas dan melemparnya ke tong sampah. Jadilah, saya menampilkan diri saya sebagaimana biasanya, seapaadanya saya.
Sudah pasti, saya tak banyak menggunakan istilah-istilah yang membuat lidah saya keseleo mengucapkannya. Maklum, saya tak fasih berbahasa Arab. Kalaupun tahu ya dikit-dikit. Juga, saya tak cukup mampu menghafal hadis dan ayat-ayat Alquran. Saya yakin, Pak Kiai jauh lebih jago soal ini. Jadi, saya pasrahkan saja masalah hafalan itu plus arti dan tafsirnya pada Pak Kiai.
Lha iyalah, wong tugas saya kan cuma ngehost. Mestinya, saya lebih banyak mengorek informasi dari Pak Kiai. Bukan yang sok-sokan lebih tahu. Makanya, pilihan memerankan diri sendiri dengan segala macam keawaman yang ada pada saya, menurut saya menjadi pilihan yang tak meleset.
Kamera mulai merekam. Prolog pun dimulai. Lalu, ketika saya beralih menuju pada pertanyaan-pertanyaan pembuka, eh rupanya yang muncul pertanyaan-pertanyaan yang tak penting. Saya tanyakan kepada Pak Kiai, soal-soal yang remeh-temeh, seperti tentang kenapa sih di Majelis Taklim Al Maliki dan juga yang lainnya ada tradisi salaman wolak-walik, tentang kepiawaian Pak Kiai berbahasa Arab saat ngobrol dengan para masyayikh dari Arab, dan sebagainya.
BACA JUGA: Catatan menyimak pidato Kades Wuled saat syukuran Pendapa Ki Wanenpati
Konyol memang. Tetapi, rupanya kekonyolan itu membuat suasana lumer. Pak Kiai justru senang mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang tak penting itu. Bahkan, beliau mau-maunya lho menjawab pertanyaan itu. Padahal, jelas-jelas nggak penting.
Tetapi, ya begitulah! Obrolan podcast yang kami rekam begitu cair. Tidak bikin spaneng, apalagi sampai bikin kepala puyeng. Yang ada hanya gelak tawa renyah yang bikin hati sumringah.
Usai suting, tim media Al Maliki berembug sebentar. Tentu, ada evaluasi dan juga perencanaan untuk episode-episode berikutnya. Masing-masing kepala mengusulkan topik-topik yang mau dibahas di episode berikut-berikutnya.
Di sela-sela obrolan tim, seketika saya nyelatuk, “Ternyata pertanyaan nggak penting itu lebih menarik untuk ditanyakan ya? Lha wong tadi, Pak Kiai saja sampai kepingkel-pingkel dan merasa pertanyaan itu jauh lebih sulit dijawab kok ketimbang pertanyaan-pertanyaan yang dianggap penting.”
Sejurus kemudian, kami terbahak. Adib Setiawan, pimpinan produksi program podcast Media Al Maliki lalu menimpal, “Iya ya, Kang. Ternyata sesuatu yang selama ini dipandang nggak penting, ketika dibahas jauh lebih menarik. Bahkan, bisa menemukan banyak kemungkinan untuk dikembangkan menjadi topik-topik baru. Wah, makasih Kang sampeyan sudah kasih kita masukan yang tanpa membuat puyeng kepala. Sudah berhari-hari lalu tim ini rapat sampai nguras pikiran, eh ternyata jawabannya malah hal-hal sepele seperti yang sampeyan tanyakan dan dibahas Pak Kiai tadi. Ncen og urip kuwi aneh!”
BACA JUGA: Tahun 2022, Masihkah Masa Kejenuhan Itu Diperpanjang?
Celatukan Adib itu akhirnya bikin saya mikir juga. Sebenarnya mana yang aneh, hidup atau cara manusia memandang kehidupan? Saya curiga, jangan-jangan yang membuat aneh kehidupan itu ya cara berpikirnya manusia yang terlalu dikotomis. Memilah mana-mana yang penting dan tidak penting, kemudian memilih hanya pada yang dianggap penting. Begitu disodorkan sesuatu yang dianggap nggak penting, eh baru sadar bahwa yang nggak penting pun ternyata bisa menjadi lebih penting dari yang penting. Malah, bisa membuat sulit untuk menguraikannya. Lhadhalah!
Jadi, sekarang pertanyaannya adalah hal sepele mana yang akan sampeyan pentingkan? Mari kita ulik lagi hal-hal sepele dalam kehidupan kita agar kita menemukan kesegaran-kesegaran.