Kotomono.co – “Menjadi seorang introvert itu nasib, tetapi lahir sebagai orang Jawa adalah takdir. Keduanya begitu kontradiktif, tapi keduanya ada dalam diri saya”
Sudah barang tentu, setiap daerah ataupun kesukuan memiliki identitas sosial tertentu. Di dalamnya mengandung pula kebiasaan, kultur, adat dan tradisi yang memperkuat keidentitasan tersebut. Tak terkecuali bagi masyarakat Jawa.
Bahkan untuk mentradisikan hubungan interpersonal, ada banyak rupa dan bentuknya. Seperti kerja bakti, rewang, tilik, gugur gunung atau gotong royong, dll. Jawa juga identik dengan istilah tepo seliro: yang berarti ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, sekaligus menegaskan bahwa orang jawa tidaklah hidup hanya untuk dirinya sendiri.
Lalu, bagaimana dengan orang yang sumber energi terbesarnya adalah kesindirian dan ketenangan? Bagaimana orang yang cenderung introvert seperti saya ini menghadapi tantangan sosial kejawaan dan menjadi orang jawa itu sendiri? Rasanya sulit untuk dijelaskan. Namun akan tetap saya coba beberkan apa saja yang saya alami dan rasakan.
#1 Tidak ada istilah introvert di Jawa
Mbah Jung sang penemu tipologi introvert itu bukanlah orang kelahiran Solo ataupun Surabaya. Tokoh psikologi bernama lengkap Carl Gustav Jung ini kebetulan lahirnya di Swiss. Jadi ya wajar bila istilah ini kurang atau tidak familiar di Jawa.
Sulit bagi saya untuk menjelaskannya, terutama kepada para pakde-bude dan simbah di desa. Bagi mereka, orang-orang yang tidak begitu mencolok secara sosial lebih lekat dengan sebutan kurang srawung. Srawung adalah kata lain dari pergaulan atau hubungan antarsesama warga. Baik dalam pertemuan formal maupun non-formal.
BACA JUGA: Cita Rasa Komika Lokal yang Tak Kalah dari Komika Nasional
Di Jawa, level atau tingkatan srawung seseorang itu sangat menentukan posisinya dalam tatanan sosial. Semakin baik srawungnya, semakin diakui dan dihormati pula ia. Berlaku juga sebaliknya, semakin tidak srawung, semakin suwung (sepi) hidupnya.
Maka dari itu, probabilitas orang-orang introvert dicap sebagai arek kurang srawung jadi sangat tinggi. Karena justru kesuwungan itu dibutuhkan orang-orang introvert untuk charge energi. Demi menjaga kewarasan.
#2 Usaha ekstra menjadi ‘umumnya’ orang Jawa
Meskipun introvert, saya juga berusaha membaurkan diri dan mengikuti segala standar sosial yang ada. Emang bisa? Ya bisa aja. Meskipun lebih banyak bagian yang terasa seperti memaksakan diri.
Misal, ketika saya keluar dari rumah untuk pergi bersekolah atau bekerja, mau tidak mau saya harus melewati para tetangga. “Nuwun sewu Mbah, monggo Mas, nderek langkung Pak, amit nggih Bude.. “ adalah beberapa kalimat yang harus muncul dari mulut saya, jika lewat di depan mereka. Membungkukkan badan sedikit ditambah dengan melempar senyuman juga bisa jadi pilihan.
BACA JUGA: Sudah Saatnya Pelaku Korupsi Sumber Daya Alam Kita Sikat Juga, Tuman!
Sebenarnya hal yang mendasar tersebut mudah dilakukan dan templatif. Tapi entah kenapa, sepersekian energi saya berkurang setelah melakukannya. Kadang heran dengan diri sendiri. Masa untuk beramah-tamah pun saya butuh perbekalan? Huh!, kok ya rasanya sulit untuk berada di level grapyak secara konsisten itu.
Belum lagi, ada tipe-tipe tetangga (terutama ibu-ibu) yang bisa seharian nongkrong dan bercengkerama di titik itu terus. Bahkan sepulang saya dari bersekolah atau bekerja. Dalam hati “Kok yo isih pancet nang kono ae se, gak adhang-adhang sego tah? Opo ngadusi bocah-bocah ngono lho”
Melewati mereka ini ibarat berada di halaman log-in pada sebuah situs, sedangkan kata sapaan atau ngluruh-luruhi mereka adalah sebagai passwordnya…
#3 Diremehkan karena wawasannya sempit
Ngobrolin filsafat? Ayo! Ngomongin sejarah dan geopolitik? Okee! Bincang-bincang soal perkembangan teknologi global? Gass kan!
Tapi jelas waduh, kalau ditanya-tanya soal: anaknya Pak Lurah sekarang pacaran sama siapa? Burung cucak milik Mas Darsono juara berapa di kontes kicau mania kemarin? Mbak Tarini pedagang pecel yang sudah nikah tiga tahun itu, sudah hamil belum ya?
BACA JUGA: Privasi Selebritas dan Konsumsi Publik yang Menggila
Seketika, saya menjadi orang bodoh karena tidak bisa menjawab. Iya, iya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah benar dan sesuai dengan standar kok. Saya-nya aja yang salah, karena tidak pernah berusaha mengumpulkan data-data. Gara-gara nggak pernah ikut rasan-rasan, wawasan saya jadi begitu sempit!
Setengah sadar. Ternyata, buku-buku yang saya baca, ilmu-ilmu yang saya pelajari, informasi-informasi global yang saya ikuti. Memang tidaklah begitu berarti. Yowis lah.
Mulai dari sini, paham lah ya. Kenapa orang-orang introvert seperti saya jadi lebih banyak diamnya.
#4 Sering diam dan menyendiri, dikira banyak masalah dan penuh kesedihan
Selain diam karena alasan-alasan di poin ketiga tadi, saya memang lebih suka menjadi seorang pendengar dan pengamat. Saya bisa berkumpul dengan orang banyak dan berada dalam keramaian (meskipun pada akhirnya habis energi juga), tapi tidak untuk menjadi pusat perhatian, dan saya jauh lebih tertarik dengan apa isi dari perkumpulan atau keramaian itu sendiri.
Biasanya, keadaan akan sedikit berubah, ketika salah satu orang dalam perkumpulan berceletuk mengarah kepada saya “Heh, meneng ae lhoh” atau sekadar menyenggolkan bahu ke badan saya. Kadang hanya untuk bercanda, kadang hanya untuk memastikan jiwa saya berada di situ karena dikira sedang ngalamun. Bagi yang sudah kenal dan hafal, balasan senyum dariku pun sudah cukup menjawabnya.
BACA JUGA: Jangan Mau Jadi Buruh Batik!
Sedangkan bagi orang yang belum tau, biasanya akan memberi pancingan yang lebih mengintimidasi dan menuntut saya bicara banyak. Padahal, semakin dipaksa ngomong, saya semakin nggak tau mau ngomong apa. Apalagi, memang tidak ada yang begitu penting atau urgent untuk saya sampaikan dan saya tanggapi. Vibes diam yang mendominasi dalam diri saya ini ujung-ujungnya disalahpahami, dikira saya sedang banyak masalah dan dianggap sebagai pribadi yang melankoli. Sakno rek.
#5 Faktor internal, memperparah keadaan
Seseorang akan lebih mudah membaurkan diri dan diterima oleh kelompok, atas dasar kesamaan. Memiliki kebiasaan atau selera yang sama, bisa menjadi modal besar memperlancar hubungan sosial.
Sayangnya, modal dan amunisi saya kecil. Jika bergaul diibaratkan sebagai perang, saya bahkan sering tidak lolos seleksi menjadi prajurit. Contoh umum yang pertama; nom-noman di desa itu minimal seorang perokok, saya malah sebaliknya.
Kedua; saya tidak cukup nakal atau bahkan setidaknya pernah nakal. Seperti minum miras, berkelahi saat nonton dangdutan yang biduannya pakai rok di atas lutut, bermain judi kartu, dan lain sebagainya. Ketiga; adalah kombinasi poin pertama dan kedua. Dalam sebuah perkumpulan di tongkrongan atau di acara hajatan misalnya, ketika para pemuda merokok sambil ngobrolin kenakalan, suasananya begitu hidup. Bisa ditebak, setiap saya berada di tengah-tengahnya, saya merasa anyep sendiri.
BACA JUGA: Viral Bocah Nangis Sebab 2 Pacarnya Hamil Bersamaan, Tidak Semua Orang Layak Jadi Orang Tua
Sehingga, seringkali saya merasa terjebak. Di antara harus berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat (yang berasa formalitas) atau berada dalam situasi yang tidak ideal bagi seorang introvert plus ‘nggak nakal’ ini.
Ya begitulah penderitaan yang dialami seorang introvert yang kebetulan juga jadi orang Jawa. Meskipun berada di pinggir jurang anti sosial , tidak lantas membuat saya kehilangan total subasita atau unggah-ungguh. Memang, ada sebagian budaya atau tradisi Jawa yang dalam sudut pandang saya, semakin kurang efektif dan tidak relevan lagi di masa mendatang.
Namun, kesadaran kolektif harus selalu ditumbuhkan, karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Harapannya, semoga saya bisa menjadi manusia Jawa yang lebih baik lagi, tanpa terkesan terpaksa lalu kehilangan diri saya sendiri.