Kotomono.co – Namanya hidup bertetangga, memang selalu ada aja yang bikin mangkel. Tapi, di antara banyak hal yang rasanya masih bisa-lah dimaklumi atas nama kemanusiaan, tingkah ajaib tetangga yang satu ini kok rasanya agak sulit untuk tidak diprotes.
Kalau kalian mikir ini adalah tentang tetangga yang suka karaoke dangdutan pake suara fales di siang bolong, kalian salah. Ya itu emang ngeselin. Tapi kita masih punya opsi untuk tutup kuping. Pasang earphone, atau-ya ikutan pasang sound system dengan volume paling nyaring, untuk memutar lagunya Lamb of God. Biar sekalian adu kenceng sound. Pada intinya, itu masih dalam tahap yang bisa saja, dimaklumi. Tapi untuk yang satu ini, agaknya terlampau syulit.
Yak, benar. Ini adalah tentang tetangga yang pelihara kucing. Kucing, adalah hewan yang lazim dipelihara manusia. Tidak ada yang salah, dengan memelihara kucing. Tapi dalam urusan per-tetangga-an, apalagi di perumahan yang jarak antar-rumahnya relatif dekat, urusan ini harus banget disiasati. Sebabnya, mau tidak mau, namanya mahluk hidup pasti melakukan mekanisme pencernaan. Setelah makan, pasti buang air. Baik yang besar, ataupun kecil.
Nah, kucing juga begitu. Dan, kita semua pasti sepakat, bahwa apa yang dihasilkan kucing itu baik berupa air kencing atau feses adalah sesuatu yang punya bau tidak sedap yang pada level tertentu, benar-benar sangat menggangu, sampai menghilangkan napsu makan.
Artinya, jika kamu memelihara kucing dan tinggal di kawasan perumahan yang jarak antar-rumahnya relatif dekat, maka kamu harus(nya) lebih punya perasaan. Paling tidak, jangan sampai membikin tetanggamu itu merasakan bau tidak sedap. Nah, itu adalah pemikiran tetangga yang waras dan mengamalkan Pancasila.
Tapi sayangnya, tidak semua orang seperti itu. Ada saja, jenis manusia yang merasa sangat yakin bahwa aroma tak sedap poop dan pee dari Kucing itu tak akan terbawa angin. Kalaupun tidak, mereka seperti amat sangat percaya bahwa jarak yang hanya kurang dari 10 meter akan menghalangi bau-bauan ‘surga’ itu untuk tidak tercium.
BACA JUGA: Derita Orang Jawa yang Terlahir Introvert
Yang bikin kesel selanjutnya, selain si pemilik bau which is kucingnya sendiri yang tidak akan merasa bersalah, si babu kucing alias yang melihara juga ikut-ikutan buta tuli, alias bodo amat. Mereka seperti santai kek di pantai, hidup bersanding dengan alam (baca: bau). Ya enggak masalah sebenarnya, kalau itu hanya berlaku buat diri mereka sendiri. MASALAHNYA, TETANGGANYA JUGA JADI HARUS IKUTAN.!!!!
Dalam kasus yang lebih ekstrem, bahkan ada yang mengatakan bahwa aroma yang dihasilkan dari berak dan kencing kucing itu adalah sesuatu yang seharusnya bisa dimaklumi.
“Cuma bau pipis kucing, kok,” katanya. Cuma? Cuma, katanya?
Sebenarnya, hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada satupun larangan, dalam aturan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tidak bolehnya seseorang memelihara kucing. Tentu saja. Kucing bukan termasuk satwa yang dilindungi. Tapi ya, bukan berarti itu jadi alasan untuk membiarkan orang lain merasakan getah dari Nangka yang dia makan sendiri, dong?
BACA JUGA: Polusi Jakarta dan Harapan Segar yang Mulai Menumpul
Saat sudah begini, kita cuma bisa berdoa agar itu kucing mengurangi intensitas buang airnya. Benar, bahwa sudah disiapkan pasir khusus sebagai toilet buat si anak bulu. Tapi, kalau cuma disiapkan dan tidak dibersihkan secara rutin, belum lagi posisinya yang diletakkan tepat di dekat batas rumah, ya yang pusing tetap tetangganya.
Sesederhana pengen membuka pintu di pagi hari, lalu menghirup aroma hujan saja kini menjadi hal yang teramat sulit. Tetapi setiap kali buka pintu, aroma pertama yang terasa adalah berak dan kencing kucing.
Lupakan itu duduk santai, sembari nge-teh atau ngopi di teras rumah. Bukannya heal, yang ada malah emosi, harus menghirup bau berak kucing. Belum lagi, ada kalanya entah kenapa, aroma perpaduan antara kencing dan berak kucing ini seperti semakin menusuk masuk ke hidung, tatkala musim hujan. Seperti ada sesuatu aksi reaksi kimiawi yang terjadi di dalam pasir itu, kemudian menguap menghasilkan bebauan yang teramat mematikan.
BACA JUGA: Tampang Santri Belum Tentu Suci
Ada yang bilang, seiring waktu, kita akan terbiasa. Ya mungkin saja. Tapi, siapa orang waras yang akan benar-benar merasa terbiasa dengan aroma berak kucing?
Masa iya, kita harus jadi relawan dengan berinisiatif membersihkan toilet kucing tetangga setiap hari?
Ini juga bukan berarti bahwa saya adalah orang yang benci hewan imut ini ya. Tidak sama sekali. Yang layak dan patut dibenci adalah orang yang memelihara, tapi males-malesan merawat, dan membiarkan orang lain ikut menerima akibatnya.
Terserahlah, kalaupun si empunya percaya bahwa dengan memelihara kucing, bakal membawa pemiliknya masuk ke surga, tapi ya enggak dengan membiarkan tetangga merasakan bau eek-nya juga dong.
Kalau begini ceritanya, situ masuk surga, tetangga bisa masuk neraka karena tiap hari maki-maki. Astaga.