KOTOMONO.CO – Sadar atau tidak, lagu tentang bulan Desember itu banyak galaunya
Entah sejak kapan, bulan Desember menjadi bulannya patah hati. Padahal jika dilihat lagi, dalam bulan Desember ada perayaan Hari Raya Natal dan persiapan Tahun Baru. Oh ya, tak lupa dengan hadirnya harbolnas terakhir “12:12” turut memeriahkan bulan ini.
Mestinya, daftar perayaan-perayaan itu menandakan kalau bulan Desember nggak selalu identik dengan bulan kesedihan. Ada pula perayaan yang cenderung ekstrem, yakni perayaan Destroy Dick Desember yaitu suatu perayaan setelah No Nut November untuk “berpuasa” agar tidak masturbasi selama sebulan. Dan bulan ini adalah pelampiasannya (saya tidak akan membahasnya).
Tentu bulan ini bukan bulan untuk terus merasa bersedih atas segala yang pernah terjadi. Sudah sepatutnya untuk merasa bahagia secukupnya. Hal tersebut juga penting untuk dipikirkan, mungkin karena pertimbangan psikologis itu penting untuk menghadapi tahun berikutnya, mempersiapkan diri untuk lebih tangguh di tahun berikutnya.
Sudah saatnya untuk membuka diri terhadap situasi yang ada, mempersiapkan segala sesuatu untuk menyongsong tahun berikutnya. Sudah saatnya untuk membuat kaleidoskop segala perasaan yang pernah terjadi selama sebelas bulan belakangan. Bukan malah berlarut-larut dalam kesedihan tak berkesudahan. Sakit dan perih. Ada banyak rasa bahagia yang tersemat dan terlupakan begitu saja.
“Desember tidak hanya terbuat dari hujan, kopi, air mata, sendu, sunset yang terhalang mendung, ditinggal pacar atau rekapitulasi penderitaan yang terjadi selama hampir setahun” menurut pernyataan teman saya yang lain yang menganggap bahwa musik bertema bulan Desember yang bermakna sedih mulai terasa membosankan.
Saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengejek yang membuat karya, atau jadi bentuk diskriminasi pendengar lagu yang sedang klop dengan perasaannya. Fungsi dari tulisan ini adalah sebuah bentuk evaluasi bahwa sudah banyak tema yang seperti ini dan bagi saya pribadi tidak terlalu bagus untuk progresifitas perkembangan musik kedepannya.
Seakan-akan setiap bulan Desember harus muncul lagi seseorang yang mengunggah lagu sedih yang bertema “desember” menjadi tren. Fenomena ini dapat dikaitkan menurunnya kestabilan kesehatan mental yang belakangan banyak terjadi mungkin diakibatkan pengaruh lingkungan karena tidak mendapat ruang yang cukup untuk bahagia. Jadi perputaran setiap di bulan Desember terasa stagnan “begitu lagi, itu-itu saja”.
BACA JUGA: Anak Muda Ngumpul, Ya Kudu Bisa Bermanfaat Buat Banyak Orang
Sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tren yang berkembang sekarang baik secara morfologis maupun secara sosiologis yang mengubah makna bulan ini menjadi identik dengan patah hati dengan pacar, atau merasa tertindas atas penolakan, dan sebagainya. Misalnya seperti yang kita tahu bahwa setiap akhir bulan September yang menjadi identik dengan bulan yang penuh intrik atas kekelaman sejarah politik suatu negara akibat gejolak yang pernah terjadi di masa silam. Atau bahkan bulan Februari yang telah berubah maknanya dari bulan penuh cinta menjadi bulan yang bernuansa sensual. Dan perayaan halloween serta segala sesuatu yang berbau horor yang kental di bulan Oktober.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tren bulan Desember sangat identik dengan bulan patah hati di samping dengan kegembiraan hari raya Natal dan Tahun Baru, beberapa diantaranya adalah:
Pertama, bagi sebagian orang, suasana Natal dan gegap gempita Tahun Baru sudah terlalu usang. Butuh anti-tesis yang baru untuk memunculkan suatu gerakan agar terdapat kesegaran dan lebih bersifat tahan lama serta tidak temporal pada waktu tertentu saja.
Kedua, kondisi bulan Desember yang sarat dengan musim dingin, hujan, suasana sendu, dan rasa sepi maupun rindu yang dapat mempengaruhi psikologis seseorang untuk mencari media ekspresi dan pilihan objek yang pas agar apa yang dirasakan lebih tersalur melalui berbagai ekspresi seperti misalnya musik. Ditambah warna yang hadir dalam bulan Desember juga sangat simbolis dengan warna biru, warna yang bermakna dalam, sendu, dan berduka.
Ketiga, subjektivitas atas pengalaman yang dialami oleh setiap orang yang mendorong untuk perasaan sedih dan perlahan menjadi larut dalam kesedihannya karena dianggap sebagai jati dirinya atas self-griefing yang terjadi. Dan lambat laun perasaan tersebut akan bermuara pada media yang memiliki ciri yang sama dengan perasaan tersebut. Terlebih, di penghujung akhir kebanyakan orang memerlukan suasana yang baru dan ingin berusaha “terlepas” dari suasana yang sekarang, sehingga bulan Desember bisa menjadi momen yang tepat untuk menciptakan kesedihan yang baru.
Terkait lagu yang bertema Desember, barangkali semuanya dimulai tepatnya di dekade 2000-an pada salah satu single di album Hybrid Theory-nya Linkin Park, My December, yang menceritakan betapa kesepiannya seseorang yang harus ditanggungnya selama bulan desember karena tidak ada orang yang mencintainya meski ia telah berusaha, ditambah dengan kerinduannya pada kisah yang dulu pada bulan Desember yang sebelumnya terasa indah. Meskipun bukan lagu unggulan dalam album tersebut, nyatanya di awal perilisannya lagu ini menjadi identik dengan kesedihan pada bulan ini.
Atau lagu Desember milik oleh Efek Rumah Kaca yang saya tangkap maknanya kental akan suasana duka yang terangkum pada penggalan lirik selalu ada yang bernyanyi dan berelegi/di balik awan hitam, tetapi dalam lagu tersebut menyimpan satu harapan yang menjadi pegangan untuk terus melangkah maju, semoga ada yang menerangi sisi gelap ini/menanti seperti pelangi setia/menunggu hujan reda. Dan lagu ini tidak bernuansa sedih-sedih amat dalam menceritakan kesedihan, tanpa hiperbola berlebih agar kisah yang terkandung menjadi dramatis. Walaupun sajian dalam lagu ini tidak lepas dari embel-embel edgy yang sering dibilang sebagai indie, yang identik dengan kopi, senja, dan selera musik folk yang aneh.
BACA JUGA: Kerja Koloran Tapi Gaji Jutaan, Siapa mau ??
Kemudian yang paling ikonik dan masih banyak diputar hingga sekarang adalah milik Taylor Swift pada single Back To December yang menjadi tren sebagai lagu patah hati karena ditolak oleh gebetan maupun orang yang disukai. Mungkin saya tidak perlu bercerita lagi tentang cerita bagaimana perasaan Taylor Lautner yang ditolak Taylor Swift karena semua orang sudah tahu akan fakta dibalik lagu tersebut. Saya yakin dalam kurun waktu sekitar tahun 2010-2014 atau bahkan sampai sekarang, dalam playlist lagu sedih setiap orang pasti terdapat lagu ini dan itu terjadi karena pengaruh yang sebarkan oleh Taylor Swift sangat mendunia pada awal 2010-an. Sebelum Billie Eilish menyerang.
Pada tahun 2013, grup idol K-Pop EXO mengeluarkan album sekaligus single yang terdapat di dalamnya yang berjudul Miracle in December, yang saya rasa sudah seperti klise pada lagu-lagu sedih kebanyakan. Hanya saja karena penekanannya ada pada bulan Desember, jadi lagu ini terasa simbolis. Lagu ini bercerita tentang kesalahan seseorang di masa lalu yang menyebabkan orang tersebut harus berpisah dengan yang dicintainya. Jadi, meski banyak dianggap fans dan kritikus sebagai patok identitas bermusik bagi EXO, tetapi aura kesedihan yang dibawakan masih itu-itu saja tanpa ada sisi pembaharuan dalam proses eksplorasi terhadap lagunya, mungkin di tahun 2013 masih belum terlalu klise untuk membuat lagu seperti demikian.
Setelah itu di tahun 2015, jagat Pop-Punk dihebohkan oleh lagu yang berjudul December oleh Neck Deep lewat album Life’s Not Out To Get You. Lagu tersebut tak lama menjadi semakin mendunia karena dibuat ulang menjadi single album dengan menggandeng musisi Mark Hoppus dari Blink-182 dan Chris Carreba dari Dashboard Confessional untuk mengisi vokal pada versi full-band dan akustiknya. Lagu tersebut bagi saya pribadi ketika di tahun 2016 sangat relateable pada situasi di mana seseorang harus merasakan patah hati setelah lama pacaran, apalagi sedang di masa SMA yang masih mabuk asmara.
Ada beberapa faktor lain yang menjadikan naiknya lagu ini dan begitu memorial bagi pecinta pop-punk maupun musik kebanyakan. Salah satunya adalah komposisi lagu dan penulisan lirik yang baik, Ben Barlow selaku vokalis dan penulis lirik berhasil menggubah perasaan orang kebanyakan menjadi lirik naratif sekaligus puitis dan gampang dicerna. Sehingga terkesan easy-listening dan menjadi ikon bagi kultur pop yang mendengarkan musik yang lebih tidak mainstream pada tahun-tahun awal lagu tersebut dirilis. Sebelum sekarang menjadi lagu kebangsaan kaum patah hati yang dapat bersanding dengan Back To December-nya Taylor Swift.
Masih banyak lagi lagu-lagu tentang bulan Desember, misalnya Cold December Night-nya Michael Buble yang lagunya sangat hangat sekali didengarkan dan jauh dari kesan sedih, atau December’s Here dari New Found Glory yang terasa childish tanpa ada kegalauan yang biasanya menjadi tema sandingan hari raya Natal. Serta masih banyak lagi yang lainnya.
BACA JUGA: Dongeng Timun Mas dan Ramalan Masa Depan
Dari bulan ini kita harus belajar untuk bisa keluar dari zona nyaman atas labelling dari kesan tertentu yang sudah stagnan, harus terdapat hal-hal baru yang terus diperdalam oleh para musisi agar dapat mengembangkan dan tidak terperangkap pada tema yang klise. Pengembangan tetap dilakukan berdasar pada observasi maupun evaluasi yang diolah menjadi karya yang bisa dinikmati masyarakat luas.
Semoga kedepannya bulan Desember di tahun mendatang akan melahirkan banyak perspektif baru yang menarik untuk dijadikan inspirasi dan refrensi dalam melahirkan karya baru. Kita tahu bahwa Desember ini pun menjadi bulan yang lebih sendu karena pandemi yang belum berakhir, semoga kedepannya pandemi mereda dan karya yang akan lahir lebih eksploratif dapat menjadi varietas yang beragam.