KOTOMONO.CO – Tahun 2012 silam, akhir bulan September, saya diundang oleh kawan-kawan penyair muda Pontianak untuk menghadiri acara peluncuran buku antologi puisi “Sandal Kumal”. Saya diundang, karena saya menjadi bagian dari antologi puisi itu. Beberapa puisi saya lolos kurasi dan diterbitkan. Selain itu, dalam undangan itu disebutkan, saya diharapkan menjadi pembicara dalam acara itu.
Wah, membaca undangan itu serasa melambung hati ini. Terbang. Dan memang, untuk sampai ke Kota Pontianak saya harus bisa terbang atau menyeberangi lautan. Hanya dua itu pilihannya. Tidak ada pilihan lain.
Akhirnya, saya beranikan diri terbang ke Pontianak. Walau, saat itu, saya terpaksa harus “ngutang” kantor untuk ongkos tiket pesawat. Bayarnya, ya otomatis lewat potong gaji selama sepuluh bulan berikutnya. Tak masalah. Yang penting saya bisa sampai ke Pontianak.
Singkat cerita, karena beberapa peristiwa sengaja saya skip dan memang lebih baik saya skip saja, akhirnya saya terbang dengan pesawat Sriwijaya Air. Ini kali keduanya saya naik pesawat. Masih agak canggung juga sih, terutama saat di bandara Ahmad Yani Semarang. Kalau diingat-ingat lagi, saya merasa betapa udiknya saya.
Selama di atas pesawat, saya duduk bersebelahan dengan seorang penumpang laki-laki. Ia mengenakan kemeja biasa. Tidak dirangkap dengan jas dan dasi. Alas kakinya pun sandal jepit. Penampilan laki-laki itu membuat saya tak sungkan-sungkan untuk berkenalan.
Obrolan pun berlangsung. Kami saling mengenalkan diri. Dan rupanya, lelaki muda yang duduk di samping saya ini adalah Orang Pekalongan juga. Ia sudah lama menetap di Pontianak. Hanya sesekali pulang kampung, tepatnya di Wonopringgo. Ketika saya tanyakan soal pekerjaan, ia menjawab kalau pekerjaannya jadi tukang jahit di Pontianak. Ia membuka bisnis konfeksi di tanah perantauannya. Katanya, hasilnya lumayan.
BACA JUGA: Gagalnya Pemberitaan Razia Pengamen dan PGOT
Wah, seketika itu pula saya merasa terkagum-kagum dengan keberanian laki-laki muda asal Wonopringgo ini. Ia berani mengambil risiko besar dalam hidupnya. Pergi merantau, mengundi nasib, sampai akhirnya ia sesukses ini. Sementara saya, masih saja menjadi manusia yang hidup dari uang bulanan. Yang belum tentu juga dalam waktu setahun bisa jalan-jalan dengan pesawat seperti laki-laki muda ini.
Perjalanan dari bandara Ahmad Yani menuju bandara Supadio tak menempuh waktu lama. Lebih kurang satu setengah jam. Obrolan kami pun tak tuntas. Menyisakan banyak pertanyaan yang belum tersampaikan. Ya sudah, mungkin memang harus direlakan. Pesawat sudah mendarat.
Setelah menuruni pesawat, saya ikuti saja petunjuk arah yang disediakan di bandara Supadio, Pontianak. Begitu tiba di halaman depan, saya langsung nyamperin taksi. Saya mengikuti petunjuk panitia, menuju Gedung Kesenian Pontianak. Tak jauh jaraknya dari Bandara. Tetapi, saya merasa beruntung saat itu. Sopir taksi yang saya tumpangi ternyata lihai berbahasa Jawa. Maklum, ia orang Malang yang lama tinggal di Pontianak. Ya sudah, akhirnya saya pun tak repot memakai bahasa Indonesia. Cukup dengan bahasa Jawa, dan keakraban di antara saya dengan Pak Sopir pun terjalin seketika.
Pak Sopir menceritakan tentang pengalaman hidupnya di sini. Ia merasa betah di sini. Bahkan, ia telah berkeluarga di kota Khatulistiwa ini. Bahagia, walau hidup sederhana.
Ah! Makin merasa bodohlah saya. Orang-orang yang saya temui dalam perjalanan saya kali ini benar-benar menjadi tamparan buat saya. Mengapa saya merasa bisa hidup nyaman di kota sendiri tanpa bisa melakukan apa-apa? Sedang mereka, hidup di rantauan tetapi bisa melakukan hal-hal yang tidak saya pikirkan sebelumnya. Nyali mereka besar. Saya akui itu.
BACA JUGA: Batik itu Bukan Ilmu Sembarangan Lho, Tenan!
Tiba di Gedung Kesenian, di kompleks Taman Budaya Kalimantan Barat, saya disambut kawan-kawan yang rupanya sudah menanti. Kehadiran saya termasuk terlambat, sebab sedianya saya tiba di Pontianak tanggal 25 September. Namun, ada saja kendala. Maka, saya pun tunda dan baru bisa hadir pada tanggal 27, saat rangkaian acara mulai digelar.
Tentu, sebelum acara mulai kawan-kawan dan saya pun mesti melakukan gladi. Mempersiapkan berbagai tampilan dan hal-hal teknis lainnya. Selama persiapan itu, Bang Pradono Singkawang, Jimmy S. Mudya, Fendi Kaconk dan lain-lain sibuk mengurus ini-itu. Lalu, begitu malam tiba segera acara pun digelar.
Banyak seniman hadir. Satu per satu mereka memberikan apresiasinya. Sementara kami yang waktu itu masih sangat yunior, merasa mendapatkan pengetahuan baru dari para senior. Saya suka dengan kehangatan malam itu. Sekalipun baru berjumpa, kami begitu akrab. Seolah lama mengenal satu sama lain. Saya merasa Pontianak seperti rumah sendiri, sampai-sampai saya pun betah tinggal untuk beberapa hari.
Selama tinggal sebentar di sana, saya diantar oleh salah seorang mahasiswa Universitas Tanjungpura. Kemana-mana selalu diantar. Dan asyiknya lagi, ternyata ia juga bisa bahasa Jawa. Maklum, emak-bapaknya orang Comal. Kakek-neneknya juga orang Comal. Mereka sudah menetap di sini lama sekali. Tetapi, bahasa Jawa masih mereka gunakan untuk obrolan di dalam keluarga atau sesama orang Jawa.
BACA JUGA: Kebosanan Dikhawatirkan Akan Memicu Penyebaran Covid-19 Lebih Parah
Ah! Lagi-lagi saya merasa tertampar. Ya, memang mereka keluarga transmigran. Tetapi, bukan itu masalahnya. Bagi saya, yang menjadi soal adalah saya kerap dihantui ketakutan. Takut tak menjumpai orang-orang sehangat mereka saat merantau. Takut tak punya harapan saat di rantauan. Ah, bodohnya! Padahal, ketika kaki melangkah dan jauh pergi ke perantauan, saya justru menemukan bahwa dunia ini semakin hari semakin mengecil. Semakin sempit, lebih sempit dari selembar daun kelor. Tetapi, pengertian itu tidak akan saya dapat jika saya tak melakukan pengembaraan. Tak pergi jauh dari kota lahir, dari kota ibu.
Orang mungkin memilih hidup nyaman di kota sendiri. Tetapi, kenyamanan yang demikian, menurut saya adalah semu belaka. Sebab, kemampuan seseorang untuk menajamkan intuisinya menjadi terbatasi. Tumpul bersamaan dengan kenyamanan itu. Di sisi lain, hidup terlalu nyaman di kota lahir hanya akan membuat seseorang tidak mampu melihat kotanya sendiri dengan objektif.
Ya! Saat saya sempat mampir di kedai kopi, bersama teman-teman seniman Pontianak, keesokan malamnya, saya mendapatkan obrolan yang menarik tentang Jawa dan orang-orang Jawa yang tinggal di Jawa. Tak jarang saya mendengar celatukan yang bernada sinis atau sentimen. Tetapi, saya tak bisa membalas apa-apa. Sebab, pandangan itu bisa jadi lahir karena ada pengalaman hidup yang tidak mengenakkan. Meski begitu, rasa hormat mereka kepada para tamu juga tinggi. Selama tinggal sebentar di sana, saya merasakan betul menjadi orang yang dihormati. Saya merasa sangat terharu. Apalagi ketika itu saya mengingat saat-saat hendak berangkat ke Pontianak. Selembar kertas itu masih saya ingat.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya