KOTOMONO.CO – Seekor kutu berdoa pada Tuhan, “Ya Tuhan, bila diperkenankan, izinkan hamba tinggal di antara sela rambut nabi-Mu, seorang hamba yang Paduka muliakan itu. Hamba berjanji tak akan membuat kulit kepala beliau gatal-gatal, Tuhan.”
Setelah berdoa, si kutu ini pun kaget bukan kepalang. Ketika ia membalikkan badan, rupanya ada ratusan bahkan ribuan kutu telah berdiri di belakangnya. Mereka menatap seekor kutu itu dengan tatapan yang penuh tanda tanya.
“Ada apa?” tanya kutu itu polos. Seolah tak terjadi sesuatu.
Semua yang menatapnya diam. Makin tajam tatapan mereka tertuju padanya. Barulah ketika ia hendak menggerakkan kakinya, seekor kutu senior menegurnya.
“Kami dengar tadi.”
“Oh, syukurlah kalau kalian mendengar,” balasnya dengan tersenyum. “Aku kira, siapa pun berhak untuk memohon kebaikan pada-Nya. Iya kan?”
“Betul. Semua berhak untuk mendapatkan kebaikan. Bahkan, siapa pun. Termasuk kita, kutu-kutu yang kadung dikutuk sebagai biang penyakit,” ucap seekor kutu senior itu dengan nada yang datar. Wajahnya juga tak menampakkan sorot cahaya yang memancar.
“Tenanglah, Bang. Tak perlu sewot begitu,” kutu pendoa itu berusaha menenangkan seniornya. “Kita memang diciptakan sebagai bagian dari keseimbangan ini. Dunia perlu ada yang baik, perlu juga ada yang jahat, Bang.”
“Dan kau?”
“Maksudnya?”
“Apakah dengan doamu itu kau akan meninggalkan dunia para kutu, dunia yang dikata manusia jahat ini? Apakah kau juga akan ikut mengutuk kami yang tak seberuntung nasibmu, jika doamu terkabul? Apakah kau akan memerangi kami dan mencibir kami di balik rambut manusia teristimewa itu? Katakanlah!”
Kutu pendoa itu tertunduk. Diam.
“Kalau memang itu yang kamu kehendaki, lihatlah mereka! Lihatlah kami! Setiap hari banyak dari kami yang mati sia-sia. Dibunuh manusia karena dianggap pengganggu. Padahal, kau tahu, yang kita lakukan hanyalah bertahan hidup. Menjalani kodrat alamiah kita sebagai makhluk. Menjaga keseimbangan dunia, seperti yang kau bilang tadi.”
Makin tenggelam kutu pendoa itu dalam diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Sama sekali, tak terbesit pikiran buruk itu.
“Mimpimu itu baik, saudaraku. Sangat baik. Siapa pun yang mendengar doamu, tentu akan merasa terharu dan merasa terpanggil. Begitu juga kami. Doamu membuat kami merasa ingin melakukan hal yang sama. Memiliki mimpi terindah dalam sekali hidup. Menghuni rambut sang nabi. Tetapi, kau mesti ingat, dunia, seperti katamu, perlu penyeimbang.”
“Kau betul, Bang. Tetapi, asumsimu tak benar,” seloroh kutu pendoa itu.
“Asumsi? Apakah aku sedang bermain asumsi? Tidak saudaraku. Aku hanya mengkhawatirkanmu, saudaraku. Tidak lebih.”
Kutu pendoa itu tersenyum, “Jangan khawatir, Bang. Aku tidak akan pernah lupa. Bahwa dunia kutu adalah dunia asalku, suatu ketika aku juga akan pulang kembali pada dunia asalku, Bang.”
Tatapan sinis kutu senior tampak jelas. Sementara, kutu pendoa berusaha tetap tenang. Ia tak ingin menunjukkan sikap yang tak disenangi kerabat kutunya.
“Percayalah, Bang,” lanjut si kutu pendoa.
“Baiklah. Aku percaya. Tapi, boleh aku minta jaminan darimu?” bujuk kutu senior.
“Mm… Boleh. Katakan, apa itu?”
“Sepanjang kau berdoa itu, diam-diam kami mendengar seluruh doa indahmu itu. Kami membayangkan surga! Kami lantas menciumi aromanya. Ya, kami semua benar-benar terhipnotis oleh doa indahmu itu.”
Kutu senior sejenak terhenti. Ia sengaja menjeda pembicaraannya. Memancing si kutu pendoa itu.
“Lantas?”
“Seperti kata-katamu tadi, siapa pun ingin bernasib baik. Biarpun ditakdirkan buruk, siapa pun ingin mendapatkan kebaikan. Sekalipun kelakuan tak menjamin, siapa pun memimpikan segala macam kebaikan. Makanya, kami semua sepakat, mengangkatmu sebagai pimpinan kami. Bagaimana?”
“Apa?!”
“Kau keberatan?”
Si kutu pendoa tampak kebingungan. Tatapannya tak terarah. Lalu, menunduk.
“Kalau kau keberatan, tak apa. Tapi, lagi-lagi, seperti kata-katamu tadi, saudaraku. Kebaikan adalah hak semua makhluk. Ingat itu.”
“Maaf, Bang. Apa sebaiknya soal ini kita dibicarakan nanti saja?”
“Nanti atau sekarang sama saja, saudaraku. Tak ada bedanya,” seloroh kutu senior itu.
“Aku perlu waktu, Bang. Menjadi pemimpin itu tak gampang. Apalagi menjadi pemimpin para kutu.”
“Hei! Kau aneh. Belum apa-apa kau sudah merendahkan bangsamu sendiri?” si kutu senior itu menatap curiga pada kutu pendoa. “Lalu, bagaimana jika doamu benar-benar terkabul dan kau akan meninggalkan kami?”
“Kau boleh pegang kata-kataku, Bang. Aku pasti akan kembali ke dunia asalku,” jawab si kutu pendoa.
“Dengan kata-katamu itu, apakah itu artinya kau sedang merendahkan bangsamu sendiri, para kutu? Seolah-olah tak ada tempat bagi kami untuk ikut merasakan kemuliaan yang kau impikan itu? Sekarang, kau putuskan saja, maukah kau kami jadikan sebagai pemimpin kami?”
Suasana tiba-tiba hening. Si kutu pendoa itu berpikir keras. Ia bimbang. Pilihan yang dihadapinya pilihan yang sulit. Kalau ia terima tawaran itu, ia tak bisa memastikan jika ia bisa memimpin bangsa kutu. Ia takut kalau kemudian ia tak bisa mengubah citra bangsa kutu di hadapan dunia. Ia khawatir kalau ia tak mampu membawakan kebaikan pada bangsanya. Kalau ia tolak tawaran itu, maka tuduhan si kutu senior itu bisa jadi benar.
Lalu, dengan suara yang berat, ia berkata, “Baiklah, Bang. Aku terima tawaranmu.”
“Nah! Ini baru saudaraku!”
“Tapi, aku minta jaminan.”
“Apa? Apa? Sebutkan?!”
“Semua harus tunduk pada aturanku. Sebab, aku hanya ingin dunia kutu berubah. Citra bangsa kutu harus lebih baik dan didudukkan secara mulia di mata dunia ini, Bang.”
“Oke! Kami taati aturanmu. Tapi kami punya satu syarat lagi.”
“Apa itu?”
“Karena kau adalah pemimpin kami, maka kami akan mengikutimu kemanapun kau pergi. Termasuk, ketika kau hidup di sela rambut sang nabi. Bagaimana?”
Sontak, si kutu pendoa itu terkejut. Ia tak sanggup membayangkan, bagaimana jadinya jika seluruh kutu di muka bumi ini ikut dengannya. Apa yang akan terjadi kelak? Bagaimana mungkin rambut sang nabi dipenuhi kutu? Ah, ini sudah keterlaluan, pikirnya.
“Bagaimana, saudaraku?” kutu senior itu mendesak.
“Maaf, Bang. Mungkin Abang perlu berpikir, bagaimana jadinya jika rambut sang nabi penuh kutu? Apa kata dunia nanti? Aku kira, tak harus semuanya ikut denganku. Mungkin, sebagian. Mungkin….”
Belum selesai si kutu pendoa itu dengan kata-katanya, kutu senior menyerobot. “Ah, rupanya kau pandai betul berkelit. Bukankah sudah jadi aturan, seorang pemimpin akan dituruti oleh anak buahnya? Lalu, mengapa kami tak boleh mengikutimu kemanapun kau pergi? Apa kami hina? Apa kami dekil? Dan kau menganggap dirimu paling baik dan suci di antara kami? Begitu? Lalu, kau merasa paling berhak atas doamu sendiri? Kau egois, saudaraku. Kau hanya mau surga bagi dirimu sendiri.”
“Tidak, Bang. Kau salah paham. Aku… aku….”
“Ah! Omong kosong! Sekarang, katakan pada kami, mau apa tidak?!”
Suasana kembali hening. Tak ada kata. Si kutu pendoa itu tertunduk. Harapannya beradu dengan kenyataan yang tak sanggup ia bayangkan. Lalu, ia tatap wajah-wajah para kutu di hadapannya. Dalam hati, ia ingin membawa mereka besertanya. Tetapi, rasanya itu tak mungkin.
“Saudara-saudaraku,” serunya dengan lantang, “Aku ucapkan terima kasih atas kepercayaan kalian padaku. Tetapi, ada hal yang tak bisa aku jelaskan di sini. Tentang mengapa aku tak bisa melakukan apa kemauan kalian itu. Dan, dengan sangat menyesal aku harus sampaikan pada kalian, bahwa telah aku putuskan saat ini, doa yang kupanjatkan tadi telah aku cabut. Artinya, aku tak akan kemana-mana. Aku akan tetap bersama kalian.”
Seketika semua wajah itu tertunduk. Satu per satu mereka meninggalkannya. Dan kembali ia pada sepinya. Ia sendiri. Tak satu pun sudi menyapa dan menemaninya. Malah, semua mencibirnya.
Baca juga tulisan-tulisan Cerpen menarik lainnya