KOTOMONO.CO – Semasa masih berseragam putih biru, saya memang mulai gandrung membaca novel. Biasanya, saya sempatkan diri untuk memanfaatkan waktu istirahat ke perpustakaan sekolah. Tujuan awalnya sih agar uang saku yang tak seberapa nggak ludes di kantin. Jadi, saya larikan saja ke perpustakaan.
Kali pertama saya masuk ke ruangan perpustakaan sekolah, saya sempat bingung juga. Saya tak menemukan sesuatu yang membuat rasa ingin tahu saya terpancing. Yang saya lihat hanya rak-rak buku dengan buku-bukunya yang ditata lumayan rapi. Tetapi, tak satu pun buku yang membuat saya ingin menyentuhnya.
Ya sudah, saya pun memutuskan duduk-duduk saya di dalam perpustakaan. Tetapi, lama-lama bosan juga. Masa di perpustakaan cuma bengong? So, saya pura-pura saja menelusuri lorong-lorong di antara rak-rak buku itu. Saya pura-pura mencari buku yang ingin saya baca.
Tanpa ada maksud untuk benar-benar membaca, saya ambil saja satu buah buku. Asal saja sih. Kemudian, saya kembali ke tempat duduk dan pura-pura membaca buku itu.
Tanpa sadar, meskipun pura-pura membaca, rupanya saya mulai jatuh hati pada kalimat-kalimat dalam buku itu. Saya tekuni halaman per halaman, hingga bel waktu masuk kelas berbunyi. Tentu, dalam durasi yang relatif pendek, buku yang saya baca itu tak sanggup saya tuntaskan. Terpaksa saya kembalikan buku itu ke tempatnya semula.
Di hari berikutnya, saya kembali ke perpustakaan. Dan entah mengapa saat kali kedua ini saya seperti berjalan otomatis menuju tempat buku yang kemarin saya baca itu. Seketika pula saya mengambilnya dan kembali melanjutkan bacaan saya.
Kendati begitu, saya belum memiliki pertimbangan untuk tertarik pada buku itu. Hanya ingin membacanya. Tidak lebih dari itu. Tetapi, semakin saya baca semakin saya merasa perlu membaca buku itu hingga beberapa hari.
Karena tak juga rampung saya baca, akhirnya saya putuskan meminjam buku itu agar bisa saya baca di rumah. Seperti aturan yang berlaku, peminjaman hanya berlaku satu minggu penuh. Setelah itu, buku mesti dikembalikan. Kalaupun dirasa masih perlu memperpanjang waktu peminjaman, ya harus mengajukan perpanjangan waktu pinjam ke petugas perpustakaan.
BACA JUGA: Pertanyaan yang Sulit Saya Jawab adalah Apa Manfaat Menulis?
Rupanya benar, sekalipun saya sempat membacanya di rumah, eh masih juga nggak selesai. Lantas, di minggu kedua saya mengajukan perpanjangan waktu pinjam. Saya pun senang karena saya masih bisa membaca buku itu di rumah.
Singkat cerita, lama-lama saya merasa jatuh hati pada buku yang saya pinjam itu. Semakin saya baca, saya mulai tertarik pada isi dan cerita dalam buku itu. Tapi, sampai di situ saya belum tahu kalau buku yang saya baca itu ternyata sebuah novel. Malah saya baru mengetahui jika buku yang saya baca itu adalah sebuah novel justru ketika guru Bahasa Indonesia saya, waktu itu Pak Hari Widagdo, menjelaskan tentang novel.
Sampai di sini pun respon saya datar-datar saja. Saya tak terlalu menggubris penjelasan Pak Hari. Saya tetap saja membaca buku itu dan mulai bisa menikmatinya.
Hingga pada suatu hari, ketika saya duduk di kelas mendengarkan ceramah guru saya tentang novel yang saya baca itu, rasa ingin tahu saya semerta muncul. Sampai-sampai saya makin tekun membaca novel itu. Berusaha menemukan hal-hal menarik seperti yang diterangkan Pak Hari Widagdo.
Betul saja, saya menemukan itu. Wah, saya makin tertarik dan makin berusaha mendalami novel itu. Semakin tenggelam pula saya ke dalam keasyikan membaca novel yang kemudian hari saya tahu kalau novel itu ditulis oleh Armijn Pane. Judulnya, Belenggu.
Yap! Itulah novel pertama yang pernah saya baca. Dari novel itu pula saya mulai berkenalan dengan dunia sastra, meski waktu itu belum saya pahami betul apa itu sastra. Yang saya tahu, hal-hal yang berkenaan dengan novel itu merupakan bagian kecil dari pelajaran Bahasa Indonesia.
BACA JUGA: Menulis itu Lebih Banyak Dipengaruhi Faktor Non-Teknis
Tetapi, apa yang membuat saya tertarik pada novel Belenggu? Justru karena saya merasakan suatu kisahan yang sangat berbeda dari kisah-kisah yang pernah saya dapatkan di SD. Bagi saya, kala itu, membaca novel memberi kesan yang sangat berbeda. Benar-benar sesuatu yang baru. Benar-benar sesuatu yang asing dan aneh.
Jika sebelumnya, ketika masih berseragam putih merah, saya mendapatkan kisah-kisah yang sederhana, seperti Malin Kundang, Sangkuriyang, atau Lutung Kasarung, lewat novel, saya seperti sedang diperlihatkan pada dunia baru. Seolah-olah kisah yang diceritakan dalam novel itu benar-benar terjadi. Sebab, gambaran kehidupan yang ditampilkan sangat dekat dengan masa kini. Kehidupan yang modern.
Saya tak cukup kesulitan membayangkan kehidupan yang diceritakan. Berbeda dengan kisah-kisah masa lalu yang terkesan fantastis. Juga terkesan “mengada-ada”.
Sekelumit pengalaman itu pada akhirnya membawa saya pada sebuah pemahaman subjektif. Bahwa ternyata, seiring pertumbuhan kedewasaan, seseorang akan dihadapkan pada cara pandang yang semakin kompleks. Di dalam kompleksitas itu seseorang juga akan berhadapan dengan pilihan-pilihan sikap dan kecenderungan-kecenderungan. Ada yang memilih untuk menanggalkan sesuatu yang menurutnya tak masuk akal alias khayalan belaka. Kemudian memilih sesuatu yang dianggapnya rasional dan realistis. Tetapi ada pula yang sebaliknya. Pun ada yang memilih untuk merangkum kedua hal itu dan menerimanya sebagai kekayaan. Tetapi, juga ada yang menolak keduanya karena menganggap sastra bukan sesuatu yang esensial.
BACA JUGA: Persiapan Menulis dan Membangun Konsistensi
Saya, memilih pada sikap menerima keduanya. Bahwa sesuatu yang khayali dan sesuatu yang kita anggap realistis dan rasional, semuanya bisa diterima. Dan memang ada dalam kehidupan kita. Menjadi warna bagi kehidupan. Seperti kisah-kisah tentang hantu atau arwah gentayangan. Tidak peduli apakah itu nyata atau khayal, nyaris kebanyakan orang tertarik untuk mendengarkannya atau menuturkannya.
Ini juga berlaku pada kisah-kisah bombastis. Lebih-lebih ketika kisah itu dituturkan secara baik dengan menautkannya pada cara pandang yang saintifik. Kebanyakan orang, terutama generasi masa kini yang gandrung dengan sains, akan tertarik dan semakin sering membicarakannya. Bahkan, bisa jadi mereka tak sadar jika yang didengung-dengungkan itu hanyalah sebuah kisah.
Tak heran jika kemudian muncul julukan Homo Fabula (makhluk pengisah) bagi manusia. Sebab, manusia memang gandrung dengan kisah-kisah. Entah itu awalnya ditulis dalam bentuk berita atau yang lainnya. Tetapi, pada tahap berikutnya, berita-berita itu pun menjadi kisah. Bahkan, pada tahap paling akhir, berita pun bisa menjadi gosip dalam obrolan-obrolan ringan ala warung kopi. Tak pelak, saat itu, antara fakta, fiksi, dan sesuatu yang fiktif pun sulit dibedakan. Semuanya berkelindan, saling tumpang tindih.