KOTOMONO.CO – Sebuah penelitian terbaru di University of Bath, Inggris, menemukan hal yang keren. Bahwa, perempuan itu kemampuan baca pikirannya lebih baik dari Laki-laki. Nggak percaya? Baca aja!
Mungkin, Anda adalah salah satu di antara sekian milyar warga dunia yang menggemari membaca. Dan Anda layak bersyukur, karena Anda digolongkan sebagai salah satu warga dunia yang maju. Sebab membaca merupakan salah satu ciri-ciri manusia yang dikategorikan maju. Lho kok salah satu doang? Emangnya ada ya ciri-ciri lainnya? Oh ya jelas ada! Cuman, ada yang perlu Anda tahu dulu soal kebiasaan membaca. Apa itu? Yuk dilanjut aja dulu bacanya sampai rampung.
Anda biasa membaca? Kalau iya, sudah berapa banyak judul tulisan atau buku yang pernah Anda baca? Hmm… mungkin saking banyaknya Anda bisa jadi lupa. Ya kan? Oke deh, kita lupain soal berapa banyaknya. Sekarang kita beralih ke pertanyaan berikutnya. Kira-kira seberapa paham sih Anda terhadap apa yang sudah Anda baca? Sepertinya, pertanyaan ini nggak perlu dijawab deh. Soalnya, susah juga ngebuktiiinnya. Ya nggak sih?
Oke deh, kita tinggalkan pertanyaan itu. Sekarang kita ke soal lain. Masih soal kebiasaan membaca sih. Baru-baru ini, psikolog di University of Bath, Cardiff dan London, Inggris Raya, menemukan sesuatu yang cukup mencengangkan. Terutama seputar seberapa baik kita memahami apa yang dipikirkan orang lain. Dan ternyata?! Eng ing eeeng!
Membaca pikiran, kadang masih dianggap oleh sebagian orang sebagai kemampuan “istimewa”. Padahal, nggak juga ah. Yang jelas pasti, membaca pikiran orang lain itu sesuatu yang penting dimiliki oleh setiap orang. Kemampuan ini memungkinkan kita dapat menangkap maksud isyarat melalui perilaku halusnya. Kali aja ia sedang ingin menunjukkan sesuatu tanpa kata-kata. Misalnya, sikap sarkastik atau bahkan berbohong.
Membaca pikiran, kata para peneliti, merupakan kemampuan yang dimiliki setiap orang. Cuma kadarnya beda-beda. Perbedaan ini merupakan fakta yang dapat menimbulkan tantangan, terutama bagi penyandang autisme. Perlu usaha keras agar mereka dapat diterima dalam kehidupan sosial. Perlu usaha keras juga agar hubungan sosial mereka terpelihara dengan baik. Lebih-lebih ketika mereka hidup di tengah-tengah masyarakat yang sulit menerima dan mengerti keadaan mereka.
Kecenderungan paling umum pada masyarakat kita saat ini, mereka kerap dikucilkan dan dianggap tidak wajar. Sebab, masyarakat tidak mampu membaca apa yang mereka pikirkan. Masyarakat kesulitan memahami kemauan mereka.
Nah, tim peneliti dari University of Bath baru-baru ini merancang tes membaca pikiran baru. Sejumlah 4.000 orang penyandang autis dan non-autis direktrut sebagai relawan. Keempat ribu orang itu tersebar di Amerika dan Inggris.
Melalui sebuah kuesioner sederhana, tim memberikan skor antara 4 sampai 16. Skor 4 menunjukkan kemampuan membaca pikiran yang buruk. Sedang skor 16, memperlihatkan kemampuan yang sangat baik. Dari kuesioner itu, diperoleh skor rata-rata mereka adalah antara 12 dan 13.
Kuesioner itu dilakukan pada laki-laki dan perempuan, dengan tes yang sama. Artinya, tidak ada perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam kuesioner itu. Dan ternyata eh ternyata, dari dua jenis kelamin itu, terkonfirmasi kalau perempuan memiliki kemampuan membaca pikiran yang lebih baik daripada laki-laki.
Metode mereka sederhana. Hanya menggunakan empat pertanyaan untuk menilai tiap-tiap responden. Hm… kok bisa ya? Ya bisalah! Kita aja yang kadang repot. Bikin kuesioner kudu sampai ratusan pertanyaan. Walhasil, analisisnya jadi ruwet! Yang jelas, hasil penelitian ini bisa Anda baca lengkap di jurnal Psychological Assessment. Bahkan, sudah diunggah juga beritanya di bath.uk.ac.
Dr. Punit Shah, penulis senior cum pakar kognitif sosial di Departemen Psikologi Universitas Bath menjelaskan, “Niscaya kita akan mengalami ketidaknyambungan dalam berkomunikasi. Orang yang kita ajak bicara nggak nyambung. Saat itu, kita merasa mereka gagal memahami kita, atau hal-hal yang kita katakan telah dianggap salah. Sebagian besar cara kita berkomunikasi, bergantung pada pemahaman kita tentang apa yang dipikirkan orang lain, namun ini adalah proses yang sangat rumit yang tidak semua orang bisa lakukan.”
Dari sinilah kemudian, tim peneliti University of Bath melakukan serangkaian penelitian dengan memisahkan kemampuan membaca pikiran dari rasa empati. Pemisahan itu dilakukan, mengingat kerap kali masyarakat awam mengaitkan keduanya. Padahal, keduanya memiliki kedudukan yang sama sekali berbeda.
“Untuk memahami proses psikologis ini, kami perlu memisahkan membaca pikiran dari empati. Membaca pikiran mengacu pada memahami apa yang dipikirkan orang lain, sedangkan empati adalah tentang memahami apa yang orang lain rasakan. Perbedaannya mungkin tampak halus tetapi sangat penting dan melibatkan jaringan otak yang sangat berbeda. Dengan memfokuskan hati-hati pada pengukuran membaca pikiran, tanpa mengacaukannya dengan empati, kami yakin bahwa kami baru saja mengukur membaca pikiran. Dan, saat melakukan ini, kami secara konsisten menemukan bahwa wanita melaporkan kemampuan membaca pikiran yang lebih besar dibandingkan rekan pria mereka,” demikian yang disampaikan Dr. Punit Shah.
Rachel Clutterbuck, peneliti utama dalam penelitian itu mengaku perlunya penekanan pada kuesioner yang bersifat klinis. Dia bilang, “Tes baru ini, yang membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk diselesaikan, memiliki kegunaan penting dalam pengaturan klinis. Tidak selalu jelas jika seseorang mengalami kesulitan memahami dan menanggapi orang lain — dan banyak orang telah mempelajari teknik yang dapat mengurangi penampilan kesulitan sosial, meskipun ini tetap ada.”
Ia juga meyakini, jika karya penelitian ini akan berpotensi besar bagi warga dunia untuk mau memahami pengalaman hidup orang-orang yang memiliki kesulitan membaca pikiran. Harapannya, dengan hasil riset yang dilakukan timnya itu, warga dunia akan lebih bijak dalam memahami orang-orang macam itu. “Karya ini memiliki potensi besar untuk lebih memahami pengalaman hidup orang-orang dengan kesulitan membaca pikiran, seperti mereka dengan autisme, sambil menghasilkan skor kuantitatif yang tepat yang dapat digunakan oleh dokter untuk mengidentifikasi individu yang mungkin mendapat manfaat dari intervensi.”
Dr. Shah menambahkan, “Penelitian ini tentang memahami lebih banyak tentang kemampuan membaca pikiran kita dan memberikan solusi bagi mereka yang mungkin kesulitan, terutama komunitas autis. Kami telah membuat kuesioner yang tersedia secara gratis yang kami harap dapat membantu mengidentifikasi orang-orang yang mengalami kesulitan mental yang relevan dengan situasi sosial.”
Nah, jelaskan sekarang. Betapa membaca itu penting. Dan lebih penting lagi adalah memahami apa yang kita baca. Termasuk membaca pikiran orang lain. Tetapi, bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan, membaca pikiran bisa jadi tantangan besar yang sulit mereka hadapi. Maka, tidak ada jalan terbaik bagi kita, kecuali berusaha menempatkan diri secara tepat ketika kita berhadapan dengan orang lain. Tak perlu juga memaksakan diri agar orang punya pikiran yang sama dengan kita. Toh, setiap orang juga punya pengalaman hidup masing-masing.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya