KOTOMONO.CO – Kisah hidup Marilyn Monroe, ikon Hollywood era Silver Screen yang bernama asli Norma Jeane Mortenson yang dikenali dan dicintai oleh seluruh generasi, diangkat menjadi biopik fiksi dalam Film Blonde, yang berdasarkan novel karya Joyce Carol Oates dan disutradarai oleh Andrew Dominik.
Pemeran Monroe, Ana de Armas, menerima tepuk tangan selama 14 menit untuk penampilan-nya sebagai Marilyn saat film tersebut diputar di Venice Film Festival tepatnya satu bulan yang lalu. Namun, sejumlah penonton tidak menyetujui respon positif dan pujian yang diterima oleh film tersebut, karena dinilai telah mengeksploitasi trauma yang dialami oleh Monroe.
Blonde dibintangi oleh beberapa artis Hollywood papan atas lain-nya seperti Adrien Brody, Bobby Canavale, dan juga Julianne Nicholson. Film yang membahas isu yang cukup berat dan mengandung beragam konten seksual tersebut telah menerima rating dewasa.
Bagi penggemar yang ingin mengingat hal baik dan sejumlah prestasi serta pencapaian Marilyn Monroe selama masa hidupnya, hal yang harus dilakukan adalah untuk menghindari film ini secara keseluruhan. Sebagian besar film Blonde adalah percampuran antara aspek fiksi dan kenyataan.
BACA JUGA: Film Godse (2022), Potret Orang Baik yang Kadung Kecewa Dengan Pejabat Korup
Kisah hidup Monroe dalam Blonde terlihat traumatis dan dipenuhi oleh berbagai rintangan. Mulai dari masa kecil yang berat, kisah perjuangan dalam proses merintis karirnya di Hollywood, dan juga kisah cinta-nya yang dinilai kontroversial.
Setelah film tersebut resmi tayang di situs streaming Netflix, ulasan negatif oleh penonton mulai terlihat membanjiri berbagai platform media sosial. Blonde dinilai kontroversial karena dianggap tidak etis dan juga merusak nama baik Marilyn Monroe. Maka dari itu, film ini tidak dapat dinikmati oleh semua orang karena isu bahasan yang sangat sensitif, hanya mereka yang siap mental yang disarankan untuk menyaksikan kisah hidup yang begitu eksploitatif, berlebihan, dan juga mengerikan.
Film Blonde dapat dinilai sebagai karya seni yang mengerikan, dimana protagonis utama-nya telah dikonsumsi dan dihantui secara keseluruhan oleh mimpi buruk dan trauma masa lampau. Beragam trauma masa lalu yang kian bertahandan menghantui sang aktris hingga sepanjang masa hidupnya.
BACA JUGA: Film 21 Bridges (2019) ini Semacam Gambaran Ironi di Balik Penegakan Hukum
Blonde juga bukanlah kisah Marilyn Monroe, melainkan kisah seorang wanita yang bersaing dengan identitas Monroe, identitas yang dibentuk oleh persepsi masyarakat dan media. Norma Jeane, karakter utama Blonde, adalah persepsi diri yang asli dan autentik, sementara Marilyn adalah persepsi masyarakat dan media. Banyak yang menganggap bahwa film tersebut bersifat menyinggung, tidak sopan, dan merusak nama baik Monroe di mata masyarakat.
Di satu sisi, film Blonde dieksekusi dengan luar biasa dan memanjakan mata dengan sinematografi yang spektakuler, menggunakan permainan aspek rasio, pewarnaan gambar yang indah, dan juga skor film yang menambah sisi emosional setiap adegan. Ana de Armas menunjukkan bakatnya dalam mentransformasikan diri-nya secara keseluruhan sebagai Marilyn Monroe yang kita kenali, mulai dari senyuman khas hingga gaya bicara sang aktris legendaris.
Blonde dapat dikatakan sebagai karya seni yang cukup berani untuk mencampur fantasi dan kenyataan. Namun, di sisi lain film ini terlalu memberatkan kepada penderitaan emosional yang dialami oleh Monroe. Bahkan, sangat sedikit dari 3 jam tersebut digunakan untuk membahas pencapaian dan juga kebaikan aktris tersebut.
BACA JUGA: 4 Pelajaran yang Bisa Dipetik Dari Film Miracle In Cell No. 7
Film tersebut juga tidak ragu-ragu untuk menunjukkan berbagai adegan tanpa busana yang tidak berguna sama sekali untuk alur cerita dan bersifat sangat eksploitatif. Adegan berisi rumor pelecehan seksual, KDRT, dan juga aborsi kerap dibahas secara berulang kali.
Monroe dipaparkan sebagai wanita tidak berdaya yang tersakiti oleh kejamnya dunia. Banyak yang beranggapan bahwa Blonde merupakan karya seni anti-feminis karena Monroe ditunjukkan sebagai wanita yang tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri, dan selalu membutuhkan panduan semua sosok pria dalam hidup-nya.
Namun, eksploitasi Marilyn di film Blonde hanyalah eksploitasi dengan cara fabrikasi dan melebih-lebihkan realita, dan itu bukan kejahatan dalam fiksi, bahkan itu adalah dasar sebuah karya fiksi. Namun, bisakah karya fiksi dinilai sebagai tidak sopan? Mungkin, jika karya tersebut dikemas agar terlihat seperti menceritakan kisah seseorang seakan-akan yang dilihat adalah kenyataan.
Blonde bukanlah kenyataan dan tidak pernah mengklaim sebagai karya yang menunjukkan sisi asli dan kisah hidup Marilyn Monroe yang akurat dan semestinya. Ini adalah bentuk mosaik kehidupan Monroe yang telah diamati, digali, dan diisi dengan potongan-potongan yang berfungsi untuk menciptakan gambaran Monroe secara keseluruhan, dan mengakhiri kisah hidupnya dengan apa yang bisa dibayangkan oleh orang lain.
BACA JUGA: Mencuri Raden Saleh, Ketika Lukisan Menjadi Inspirasi Perlawanan
Blonde memiliki struktur serampangan dan memantul di sekitar aspek kehidupan Monroe. Blonde merupakan perpaduan sempurna antara visi artistik yang jelas, dan juga permainan emosi yang ditunjukkan oleh para pemain, namun sayangnya terkadang gagal dalam beberapa aspek seperti teknik pengambilan gambar dengan cara mengikat kamera ke aktor dengan cara yang tidak enak dipandang dan juga propaganda anti-aborsi dengan menunjukkan janin CGI secara berulang kali yang mungkin sedikit berlebihan untuk film apa pun.
Namun pendekatan maksimalis Blonde terhadap sinema berarti menghabiskan setiap menit dalam semacam angin puyuh secara emosional. Dapat dikatan bahwa Blonde adalah kisah mengenai seorang wanita yang pada masa hidupnya dipenuhi dengan inkonsistensi berupa mengejar keinginan diri sendiri dan keinginan orang lain.
Secara keseluruhan, meskipun eksekusi yang amat indah telah tercapai dari segi produksi dan teknis, terdapat banyak kekurangan dari segi pengembangan karakter. Blonde tidak menawarkan perspektif baru terhadap Marilyn Monroe, Melainkan hanyalah kisah seorang wanita yang dibungkus dengan hiperseksualitas yang repetitif, rumor dan skandal yang diliput sekian kali oleh media selama masa hidupnya, dan juga karikatur Monroe yang telah dilukis media.