Kotomono.co – Linggo Asri, saya meyakini jika desa ini merupakan salah satu desa paling toleran di Jawa Tengah bagian utara. Disana terdapat lima dukuh yang memiliki keragaman kepercayaan dalam masyarakatnya. Kelima dukuh ini adalah Dukuh Bojong Larang dengan total populasi sebanyak 213 orang, dimana mayoritas dari mereka menganut agama Islam.
Dukuh kedua adalah Dukuh Sadang, dengan jumlah populasi sebanyak 597 orang, dimana mayoritas adalah muslim, sementara hanya dua orang yang memeluk agama Hindu. Dukuh Linggo memiliki total populasi sebanyak 507 orang, dengan 223 orang yang beragama Hindu, 281 orang yang menganut agama Islam, 2 orang yang beragama Budha, dan 1 orang yang beragama Katolik.
Dukuh Yosorejo memiliki populasi sebanyak 402 orang, dengan 20 orang beragama Hindu dan 382 orang beragama Islam. Dukuh terakhir ada lah Dukuh Rejosari, dengan total populasi sebanyak 296 orang, dimana hanya ada 5 orang yang menganut agama Hindu.
Linggo Asri, bak sehelai kain batik yang menggambarkan kekayaan dan keindahan melalui paduan beragam warna, motif, dan corak yang saling melengkapi. Dalam analogi ini dapat menarik bahwa desa Linggoasri dapat membuktikan dengan gemilang bagaimana identitas kultural yang kuat dapat menjadi perekat utama dalam menjaga harmoni beragama.

Dalam era yang seringkali dipenuhi oleh konflik dan perpecahan akibat perbedaan keyakinan, Desa Linggoasri adalah oase kedamaian dan saling pengertian, di mana warga dengan bangga menjaga akar budaya mereka sambil menghormati perbedaan dalam keyakinan agama.
Dalam pandangan ini, mari kita telusuri bagaimana kekayaan identitas kultural di Desa Linggoasri menjadi pondasi kuat bagi moderasi beragama, yang selanjutnya bisa menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain untuk mengejar perdamaian dan kebersamaan yang sama.
BACA JUGA: Punden Makam Sampel Desa Lolong Kabupaten Pekalongan, Kuno kah?
Dalam mengeksplorasi gambaran harmoni beragama yang sangat mencolok di Desa Linggoasri, sangatlah penting untuk melihat bagaimana identitas kultural menjadi perekat moderasi yang kuat. Identitas kultural di sini tidak hanya terbatas pada aspek kebudayaan yang terlihat, seperti tarian tradisional atau kuliner khas, tetapi juga mencakup nilai-nilai, keyakinan, dan cara hidup yang dianut secara bersama-sama oleh masyarakat desa ini.
Menurut cerita dari Bapak Taswono –yang merupakan tokoh adat setempat– nama Linggoasri berasal dari kejadian ketika dua tokoh agama, yakni Singomenggolo dan Cokromenggolo, secara tak sengaja menemukan sebuah batu berwarna hitam saat mereka sedang membuka hutan. Karena penemuan ini, mereka memberi nama batu tersebut sebagai Batu Linggo. Saat ini, Batu Linggo ini terletak di pusat Dukuh Linggoasri”.
Disana juga ada salah satu aspek yang mencolok dari nilai toleransi umat beragama, yakni perayaan hari raya keagamaan. Di Linggoasri, perayaan ini bukan hanya milik satu kelompok, melainkan dirayakan bersama-sama oleh seluruh masyarakat, seperti halnya saat adanya perayaan umat Hindu yang biasa disebut “Ogoh – ogoh” dalam perayaan ini bukan hanya yang beragama Hindu saja yang mengikuti tetapi semua umat yang berada di Linggoasri itu juga ikut meraimakan perayaan tersebut, bahkan karena menariknya sampai menarik Masyarakat luar dari Linggoasri tersebut.
BACA JUGA: Pangeran Lancur dan Kisah Munculnya Desa Tengeng Wetan
Hal yang sama terjadi dalam aktivitas sosial. Warga Desa Linggoasri memiliki kerja sama yang erat dalam berbagai proyek sosial, termasuk pembangunan fasilitas umum, program pendidikan, dan bantuan sosial bagi mereka yang membutuhkan. Kerukunan mereka sangat terlihat dalam sikap saling mendukung dan gotong royong, yang menjadi perekat dalam mewujudkan moderasi beragama yang dijunjung tinggi.
Namun, penting untuk diingat bahwa harmoni beragama yang ada di Desa Linggoasri bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Menurut Suproto salah satu warga setempat, “Desa Linggoasri ini sangat mengedepankan saling menghormati antar sesama dan saling membantu apabila perlu bantuan”. Maka dari itu ini adalah hasil dari komitmen bersama untuk memahami dan menghormati perbedaan, serta keteladanan dari pemimpin masyarakat yang mempromosikan nilai-nilai moderasi beragama. Ini adalah investasi yang berharga dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di tingkat desa yang pada akhirnya memberikan kontribusi positif pada Lingkuan sekitarnya hingga Nasional.
Ini mengingatkan kita bahwa meskipun ada keragaman agama dan budaya, kita dapat menciptakan lingkungan yang harmonis jika kita bersedia untuk saling menghormati, saling mendukung, dan menghargai satu sama lain. Nilai-nilai moderasi dan kerukunan dengan adanya identitas kultural yang diterapkan di Desa Linggoasri adalah investasi berharga dalam menjaga perdamaian dan stabilitas tidak hanya di tingkat desa, tetapi juga memberikan kontribusi positif yang lebih luas pada lingkungan sekitarnya dan bahkan secara nasional.
Dengan terus menerapkan nilai-nilai ini, kita dapat melangkah menuju masa depan yang lebih damai, penuh toleransi, dan inklusif untuk semua lapisan masyarakat. Desa Linggoasri adalah bukti nyata bahwa harmoni beragama bukanlah hal yang mustahil, asalkan ada keseriusan dan komitmen bersama untuk menjaga kerukunan antarumat beragama.