KOTOMONO.CO – Fresh from the oven, Shinzo Abe sang mantan Perdana Menteri negeri matahari terbit tewas. Beliau harus mengakhiri hidupnya dengan cara tragis, yakni ditembak oleh seseorang yang notabene rakyatnya sendiri.
Melihat fenomena ini, tentu wajar saja jika kita mengernyitkan dahi. Seorang pemimpin negara maju di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi itu harus lengser keprabon dengan cara dibunuh. Apakah liberalisme sudah mati di Jepang ?
Sek sek sebentar, kita bicarain dulu transformasi Jepang dari negara militer menuju negara liberal.
Baiklah, negeri ini memang unik dan mengesankan. Di masa Perang Dunia II bergejolak, negara beribukota di Tokyo ini ambil peranan strategis, sebagai tokoh utama di balik aliansi bernama Blok Poros bersama Italia, Rumania dan Jerman.
Di awal periode perang, negeri ini tampak perkasa dengan menumbangkan banyak negara kolonialis Eropa, salah satunya Kerajaan Belanda yang menancapkan kuku penjajahannya di Hindia Barat selama ratusan tahun.
Kedatangan Jepang direspon oleh Belanda dengan kabur ke Australia. Tidak hanya kepulauan di Nusantara, Filipina dan semenanjung Indocina juga sukses direbut tentara Jepang.
Namun masa keperkasaan itu tak berlangsung lama. Blunder parah Jepang dengan menyerbu Pearl Harbour menyeret Amerika Serikat turun tangan ke medan perang pasifik. Puncaknya paska Iwo Jima direbut, Jepang berada diujung tanduk. Enola Gay akhirnya mengakhiri perjuangan Jepang yang mencoba merecoki barat dalam hal kolonialisasi Asia belahan timur dan tenggara. Negeri itu akhirnya menyerah.
BACA JUGA: Mengkaji Makna dan Tujuan Pendidikan Lewat Pemikiran Ibnu Khaldun
Setelah sempat mengancam para tetangganya dengan garang, Jepang yang memegang teguh prinsip militer nan agresif berubah seratus delapan puluh derajat. Demokrasi disemaikan oleh Paman Sam dan akhirnya Tokyo mulai belajar menjadi sosok yang liberal.
Dalam negara liberal, kritik dan debat merupakan hal biasa. Pertikaian partai politik biasanya diwujudkan adu argumen terbuka yang ditayangkan di televisi atapun debat di parlemen. Paling banter mengerahkan massa untuk menekan pihak lawan menggunakan strategi yang tetap mengedepankan prinsip demokratik.
Tetapi apa yang terjadi di Jepang sekarang ini sungguh mencengangkan kalau tidak bisa dibilang berbahaya. Bagaimana tidak, seorang politisi tewas ditembak dari jarak dekat. Ngerinya lagi, sang politisi adalah tokoh nasional yakni Shinzo Abe, sang pemimpin negera.
Memang masih misterius apa yang menjadi motif utama dari sang pembunuh yang kemudian diketahui bernama Yamagami Tetsuya. Si pelaku juga telah diidentifikasi sebagai seorang mantan anggota Komando Pasukan Bela Diri Laut Jepang, semacam TNI AL di Indonesia.
Fakta tewasnya mantan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe bukanlah sebuah alur kisah anime. Ini beneran sebuah kenyataan. Boleh saya katakan bukan hanya tragis tetapi juga ironis. Bagaimana tidak, Jepang bukan negara kemarin sore dalam hal tingkat kemajuan negara dan rakyat. Jepang salah satu negara maju di dunia yang tentu saja berkiblat pada demokrasi ala barat.
BACA JUGA: Gus Dur, Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21
Abe bukanlah sosok yang biasa-biasa saja. Dia bahkan disebut sebagai salah satu pemimpin visioner. Ada beberapa kebijakannya yang membuat Jepang menjadi sorotan dunia.
Pertama, bersama barisan pendukung Amerika Serikat, Jepang juga mengutuk apa yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina. Sikap tegas ini tentu saja bisa membuat Tokyo dicibir negara tetangganya, Cina dan Korea Selatan. Namun Jepang terus menekan Moskow dan memposisikan diri sebagai negara demokrasi yang menolak invasi berdarah tersebut apapun alasannya.
Kedua, Abe juga menerbitkan Abenomics sebagai sebuah paket kebijakan ekonomi yang brilian. Di sini Abe ingin agar Jepang bisa lebih kompetitif dengan meningkatkan anggaran belanja pemerintah.
Ketiga, Jepang makin harmonis dengan negara-negara lain, khususnya India dan Amerika Serikat.
Keempat, Abe berhenti meminta maaf kepada negara-negara bekas jajahan Jepang. Menurut Shinzo Abe, generasi masa depan Jepang harus berhenti meminta maaf secara terus menerus atas kesalahan dari nenek moyang mereka.
BACA JUGA: M16 vs AK-47 : Simbol Rivalitas Dua Ideologi (Blok Barat vs Blok Timur)
Melihat bagaimana Abe ditembak saat berpidato menyiratkan satu hal tragis: ternyata negeri liberal semacam Jepang juga perlu terus belajar apa itu demokrasi.
Tentu kita bersama berharap agar tindakan ini berhenti sampai di sini dan kebiasaan untuk membiarkan senjata berbicara harus dihentikan. Jangan sampai menjalar ke negara-negara lain, termasuk negeri kita tercinta Indonesia.
Selian itu, peristiwa ini juga menyingkap fakta bahwa tindakan teror bisa terjadi di mana saja, termasuk negara yang aman seperti Jepang. Pujian bahwa Jepang termasuk salah satu negara paling aman di dunia bukan jaminan bahwa hal ini tidak akan kembali terulang.
Terlepas dari semuanya itu, adalah tindakan bijak jika siapapun mengutuk keras aksi Yamagami Tetsuya, meski mungkin yang bersangkutan punya dendam kesumat apapun bentuknya. Mari berbela sungkawa atas kepergian Shinzo Abe dan terlukanya demokrasi.