KOTOMONO.CO – Akankah pengrajin canting terhapus dari kamus pekerjaan orang Pekalongan? Kalau iya, kata atau istilah apa yang akan menggantikannya?
Saya kira, tak perlu terburu-buru menjawab pertanyaan itu. Tersebab, kamus pekerjaan khas warga Pekalongan belum juga disusun. Maklum, Pekalongan belakangan ini sibuk benar menata dan memoles kotanya supaya terlihat cantik. Ibarat seorang gadis perawan yang baru tumbuh dewasa, ia mulai memperhatikan penampilannya. Sampai-sampai dibuat terlena oleh pantulan bayangannya pada cermin.
Jadi, tak ada gunanya juga mengkhawatirkan hal-hal yang dianggap tidak lebih penting dari sekadar mermak wajah. Anda—dan mungkin juga saya—disarankan untuk tenang-tenang saja. Tak perlu cemas apalagi sampai takut jika ada beberapa nama pekerjaan khas warga Pekalongan tiba-tiba hilang dari perbincangan sehari-hari.
Sebagaimana tak perlu mendadak prihatin jika seorang tukang sungging namanya tak lebih tenar dari para pedagang batik maupun para juragan. Mereka bekerja di balik layar dari sebuah produk batik. Mereka inilah yang menjadi pangkal dari proses panjang dari sebuah produk batik.
Di atas lembar-lembar kertas sungging, mereka menggoreskan garis dan titik hingga menjadi pola dan motif tertentu. Tentu, pekerjaan ini memerlukan ketenangan, kekayaan ide, dan daya imajinasi. Syukur, jika seorang penyungging alias tukang sungging memiliki cukup pengetahuan tentang hal-hal lain di luar batik itu sendiri. Sehingga, motif batik yang digambarnya akan menjadi lebih kaya. Bahkan, akan sangat mungkin pula dapat bercerita.
Kalau disamakan dalam sebuah produksi film, para penyungging itu setara dengan penulis skenario. Keduanya bekerja dengan mendayakan ide dan imajinasi. Penulis skenario meramu bahan-bahan yang diambil dari kisah-kisah keseharian ataupun kisah fantasi untuk dijadikan sebagai cerita dalam skenario yang ia bikin. Pun demikian pada penyungging. Mereka meramu bahan-bahan dari apa saja yang tergelar di sekitar menjadi susunan gambar motif batik.
BACA JUGA: Ketika Mas Dudung Bertutur tentang Proses Kreatifnya
Yang membedakan keduanya adalah nasib. Seorang penulis skenario film sangat mungkin dibayar mahal. Bahkan, bisa dipakai oleh sutradara manapun. Malah, ada juga yang namanya tenar dan sejajar dengan para pesohor negeri ini. Nama Joko Anwar, Ernest Prakasa, Raditya Dika, dan Riri Riza untuk menyebut beberapa penulis skenario negeri ini. Bisa dikatakan nama mereka tak asing di telinga para penikmat film dalam negeri. Malah, tak jarang pula mereka nampang bersama artis-artis film, baik di acara-acara peluncuran film maupun festival film.
Lalu, bagaimana penyungging? Sepertinya masih sangat jarang saya temukan seorang penyungging yang tenar. Kalau ada, mungkin karena pengetahuan saya yang terbatas. Mungkin juga saya mesti memperluas jejaring pertemanan saya.
Sesempit yang saya tahu, beberapa tukang sungging malah akhirnya menyerah. Mereka tak lagi mau menjalani pekerjaannya sebagai penyungging. Bukan karena malas, melainkan mereka merasa putus asa. Apa yang dikerjakannya selama menjadi penyungging hanya berbuah rasa kecewa yang tak hanya sekali. Malah, ada sebagian dari mereka yang beralih profesi menjadi tukang parkir, kuli bongkok, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang menurut pandangan umum lebih menjanjikan.
Belum lagi dengan semakin banyaknya cara pembuatan gambar motif batik yang lebih praktis berbasis teknologi komputer. Para penyungging tradisional ini pun harus menerima kenyataan. Tersingkir perlahan-lahan dari kancah perbatikan. Nama-nama mereka makin jauh dari gema batik yang kini mendaki ke puncak mercusuar, dibangga-banggakan sebagai produk khas Pekalongan yang katanya sudah mendunia itu.
BACA JUGA: Baru Kali Ini Saya Dibikin Kagum oleh Pidato Seorang Kades
Memang, ada juga penyungging yang masih bertahan. Tetapi, rata-rata mereka bekerja pada juragan-juragan yang sudah punya nama besar. Mereka bahkan rela nama mereka tak lebih tenar dari juragan-juragan mereka. Malah, ada yang menganggap pekerjaan mereka sebagai “jalan sunyi” menuju pada keilahian. Meski begitu, ia masih cukup beruntung. Sekurang-kurangnya, ia masih memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Ada juga yang bertahan dengan cara menjajakan gambar-gambar motif bikinan mereka dari satu juragan ke juragan lainnya. Harganya tak seberapa. Kalau laku, lumayanlah untuk sekadar membeli ganjal perut.
Begitu rupa-rupa nasib mereka. Tetapi, siapa peduli? Toh, hidup memang keras. Keringat diperas, tulang dibanting-banting. Dalam dompet mungkin tak banyak warna merah uang kertas, sampai hidup mereka boleh jadi terpontang-panting.
Maka, tak begitu mengherankan jika pada akhirnya pekerjaan sebagai tukang sungging dipandang sebelah mata. Anak-anak muda mungkin jarang yang meminatinya. Terlebih dengan gambaran nasib yang jauh dari angan-angan mereka.
Hal serupa juga terjadi pada pengrajin canting. Salah seorang juragan canting malah pernah berkeluh kesah, kalau ia kesulitan mencari tenaga tukang canting untuk mempertahankan usahanya. Katanya, tukang canting itu sudah hampir punah. Padahal, canting merupakan elemen penting dari sebuah produksi batik.
Diakuinya juga bahwa selama ini tidak ada anak muda yang meminati pekerjaan itu, sekalipun ia adalah anak seorang tukang canting. Selain karena pekerjaannya kurang keren, juga karena penghasilan yang didapatnya tak seberapa. Belum lagi tukang ceceg, salah satu elemen penting dalam produksi canting, khususnya canting cap. Pekerjaan mereka lebih tidak diminati lagi.
Lebih ngenesnya lagi, upaya untuk melestarikan jenis pekerjaan ini juga sepertinya belum ada. Sampai saat ini belum ada lembaga-lembaga pelatihan kerja atau balai latihan kerja yang menjadikan kerajinan canting sebagai salah satu jenis keterampilan hidup yang ditawarkan kepada masyarakat. Paling umum, jenis pelatihan yang ditawarkan ya nyetir, njahit, atau komputer. Malah, yang sekarang marak adalah pelatihan menjadi digital marketing.
Memang, kalaupun dipaksa ada pelatihan menjadi tukang canting tidak akan menjamin banyaknya peminat. Itu wajar, karena sampai detik ini prospek sebagai tukang canting belum bisa dipandang menjanjikan pula. Berbeda dengan pedagang batik, lebih-lebih yang bisa jualan secara daring.
Tetapi, alangkah baiknya jika masalah semacam ini diseriusi Pemerintah Kota Pekalongan. Dinas-dinas terkait perlu duduk bersama untuk merumuskan apa yang terbaik bagi nasib tukang canting. Bila perlu—atau memang seharusnya—hal semacam ini mendapat kawalan dari DPRD Kota Pekalongan. Sekurang-kurangnya menjadi wujud dari peran mereka sebagai wakilnya rakyat.
BACA JUGA: Batik itu Bukan Ilmu Sembarangan Lho, Tenan!
Usul saya, perlu kiranya bidang-bidang pekerjaan yang berkaitan dengan batik ini mendapatkan tempat khusus di Kota Pekalongan. Bahkan, jika memungkinkan dorong lembaga-lembaga pelatihan kerja untuk memberikan pelatihan bersertifikat. Tentu, kalau sudah ada sertifikatnya, ada pula konsekuensi lain yang menyertainya.
Tetapi, kembali lagi. Itu semua memerlukan keseriusan semua pihak untuk melibatkan diri. Kalau tidak, akankah kita menunggu waktu kapan jenis-jenis pekerjaan itu hilang dari kamus sehari-hari? Akankah kita sama-sama menyongsong kepunahan jenis-jenis pekerjaan itu? Sebab, saat saya sempat menyinggung istilah tukang sungging saja, salah seorang anak muda generasi masa kini asal Pesindon yang notabene kampung batik pun tidak tahu istilah itu. Malah, ia sempat bertanya pada saya, apa itu tukang sungging. Oh! Betapa dunia sudah sangat jauh bergeser rupanya.