KOTOMONO.CO – Nggak mau kalah kreatif, wong Kalongan selalu saja punya gagasan yang di luar kebiasaan. Kalau nggak percaya, boleh deh mampir ke Gang Haji Palal, Podosugih. Di rumah peninggalan H. Palal, ada peninggalan sejarah penting bagi Indonesia. Apa itu? Yaitu, bendera pusakanya Pekalongan. Benderanya unik dan punya cerita menarik. Mau tahu kayak apa ceritanya? Yuk baca sampai kelar ya….
Ceritanya gini nih…. Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, 75 tahun silam, sekelompok pemuda yang sempat menguping informasi itu lewat corong radio, seketika menyambut gembira kabar itu. Secara spontan, mereka pun berinisiatif untuk mengibarkan bendera Merah-Putih tinggi-tinggi.
Sayang, di zaman itu nggak kayak sekarang, setiap jelang Agustusan selalu ada penjual bendera bertebaran di mana-mana. Dulu, nggak ada orang jualan bendera. Jangankan jualan, bawa bendera saja sudah pasti kena dor! Walhasil, mereka pun sepakat untuk bikin bendera sendiri.
Mula-mula mereka bekumpul di kediaman H. Palal, merencanakan pembuatan dan pengibaran bendera itu. Kondisinya kala itu memang nggak aman. Apalagi Jepang harus pegang kendali keamanan sebelum akhirnya kekuasaan kembali ke tangan Belanda. Tentu, tentara Nippon galaknya nggak ketulungan saat itu. Setiap ada pergerakan pasti akan disatroni, dan orang-orangnya akan ditangkap.
Situasi genting ini membuat para pemuda kala itu mesti hati-hati. Mereka pun tak segan-segan untuk selalu berkoordinasi dan minta pertimbangan dari para sesepuh. Tokoh-tokoh pemuka agama pun turut dimintai pertimbangan sekaligus sebagai benteng pertahanan mereka. Salah satunya, tokoh Kiai kharismatik, Kiai Syafi’i.
Mereka juga kudu atur strategi guna mengambil langkah cepat. Nggak mau kehilangan momentum.
Tak mungkin berlama-lama, dua tokoh inisiator, yaitu Haji Palal dan Haji Sultan Makruf, segera memutuskan dan mengambil langkah untuk membuat bendera Merah-Putih. Cara pembuatannya unik. Bendera itu tidak dijahit. Itu dilakukan agar langkah mereka tak dicurigai. Kalau dijahit, akan melibatkan banyak orang dan suara mesin jahitnya juga akan dapat dengan mudah diketahui. Apalagi tentara Jepang sedang rajin-rajinnya beroperasi.
Selain itu, bukan kebetulan juga, dua tokoh inisiator ini adalah pengusaha batik. Maka, jadilah bendera itu dibikin dengan teknik batik. Itu jelas akan lebih aman karena tidak akan dicurigai oleh tentara Nippon.
Singkat cerita, kain mori yang biasa digunakan sebagai bahan pembuatan batik diambil. Ukurannya 2,4 x 1,2 meter. Segera saja separoh bagian kain itu dicelupkan ke dalam cairan pewarna untuk mendapatkan warna merah. Jadilah saat itu warna merah putih itu berpadu dalam selembar kain.
Setelah jadi, kain dengan dwi warna itu dibungkus rapi. Lantas, dibawalah kain itu ke hadapan Kiai Syafi’i untuk didoakan, sekaligus mendapatkan restu untuk dikibarkan. Tak lama adegan itu berlangsung, para pemuda segera bergerak kembali ke Dukuh Sengon, tempat rumah H. Palal berada.
Dengan sigap, mereka kemudian mengibarkan bendera itu di kompleks pemakaman Sikembang. Tetapi, pengibaran bendera itu tak berlangsung lama. Lantas, pindah ke lokasi lain. Dan terus berpindah-pindah. Bahkan, pemegangnya pun bergantian. Tentu, strategi ini dilakukan untuk menghindari tentara Nippon.
BACA JUGA : Sejarah Monumen Juang Kota Pekalongan
Baru pada saat gempar gerakan perlawanan rakyat Pekalongan, 3 Oktober 1945, bendera ini diarak ramai-ramai oleh pemuda Pekalongan yang menggruduk markas Kempetai (sekarang masjid Syuhada). Bendera pusaka bikinan wong Kalongan ini menjadi pelecut semangat juang para pemuda dan rakyat Pekalongan. Mereka mengangkat tinggi-tinggi bendera itu dari kediaman Kiai Syafi’i sampai Monumen 3 Oktober 1945.
Ya, kisah ini tentu patut menjadi pelajaran buat kita semua. Bahwa di dalam perjuangan merebut kemerdekaan, semua orang kala itu punya peran. Tidak ada peran yang tidak penting. Semua sama penting dan sangat dibutuhkan. Semua menyedekahkan pikiran, tenaga, harta, bahkan nyawa pun dipertaruhkan. Sebab, ketika Agresi Militer II dilancarkan, tentara Belanda tak jera-jeranya mengejar mereka yang membawa bendera pusakanya wong Kalongan. Mereka diburu. Jika tertangkap, penjara atau didor!
Sampai sekarang, bendera pusaka ala wong Kalongan itu masih tersimpan rapi di kediaman H. Palal. Dipampang di dinding beralas tripleks dan dilapisi plastik agar terlindung dari debu dan ngengat.
Ya, bendera pusaka ala wong Kalongan ini memberi bukti pada sejarah, bahwa para pembatik Pekalongan pun punya andil dalam memerjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dirgahayu Indonesiaku! Jayalah negeriku! Majulah bangsaku!
Terima kasih, pahlawan-pahlawanku.