KOTOMONO.CO – Peristiwa alam, dalam budaya Jawa, selalu dikaitkan dengan kisah-kisah mitos. Kadang relasi keduanya sulit dinalar. Tetapi, saking kuatnya kepercayaan masyarakat, relasi diantara keduanya pun sulit dipisahkan. Bukan soal benar-salah, tetapi di balik mitos selalu ada pesan-pesan tersembunyi yang diselipkan lewat kode-kode tertentu.
Seperti dalam keyakinan sebagian masyarakat Tegal, khususnya di kawasan Bumiayu, Bojong, Balapulang, Lebaksiu, dan sekitarnya. Mereka tidak jarang mengaitkan peristiwa longsor, banjir, jembatan ambrol, dan lain-lain dengan kisah mitos Si Kasur dan Si Gringsing. Sepasang kekasih yang di akhir kisahnya berlangsung tragis.
Seperti dikisahkan turun-temurun, Si Kasur dan Si Gringsing adalah sepasang kekasih yang ditakdirkan hidup dalam ruang rindu. Saling menjaga dengan segenap jiwa, rasa setianya satu sama lain. Sebab, mereka dipisahkan oleh ruang dan waktu. Si Kasur tinggal di Bukit Clirit, sedang Si Gringsing menghuni Kali Gung.
Lantas, apa yang membuat mereka mesti dipisahkan?
Kisah ini dimulai dari sebuah pernikahan sepasang kekasih yang megah. Perayaan cinta yang demikian mendalam pada sepasang kekasih itu. Di antara lorong barisan tetamu mereka berjalan beriringan. Setiap langkah menapak seirama dengan nada gamelan yang mengalun. Anggun.
Di hadapan mereka, sebuah pelaminan bertahta ukiran berwarna keemasan menanti. Sepasang kursi berlapis kain beludru warna merah menyala menyambut kedatangan kekasih yang paling bahagia kala itu. Langit dan bumi seraya memberikan penghormatan teristimewa untuk hari bahagia mereka.
Di atas pelaminan, mereka duduk. Senyum merekah dari bibir sepasang kekasih itu. Dihiasi pula tatapan mata yang memancarkan binar cahaya kasih yang meneduhkan. Benar-benar pasangan yang membuat iri setiap orang yang datang menyaksikan dan memberikan doa restu.
Pesta pernikahan usai. Matahari kembali menapaki langit timur. Tetapi, irama gamelan itu terasa masih menggaung di telinga mereka. Tembang iringan Kebo Giro masih terasa bergema.
Pernikahan, barangkali adalah peristiwa ajaib yang tidak pernah bisa diungkap. Seperti sebuah sihir yang membuat mereka tak mau terpisah, sekalipun dalam sekedip mata. Sampai-sampai memberi kedua pasangan ini semacam daya baru untuk mengarungi samudra kehidupan.
Dan, benar saja. Daya itu mengubah hidup Gringsing. Ia menjadi lelaki yang penuh tanggung jawab. Sebelum langit timur memerah jingga, langkah kakinya dibawa menuju Bukit Clirit yang berhutan itu. Membabat semak-semak, mencangkuli tanah, dan menanaminya dengan aneka macam tanaman kebun.
Semua itu ia lakukan demi menjaga kehormatan istrinya, Kasur. Juga demi membangun masa depannya. Agar istrinya tak menderita karena rasa lapar. Agar kelak, anak-anaknya pun belajar bahwa hidup adalah tentang bagaimana mereka mengolah alam, tetapi bukan untuk keserakahan. Secukupnya saja.
Ia juga berpikir, kebahagiaan bukanlah bagaimana menikmati kesenangan semata. Akan tetapi, juga bagaimana seseorang mengerahkan segala daya yang dimiliki tanpa harus bertanya tentang penderitaan. Sebab, penderitaan yang sesungguhnya adalah ketika seseorang tak sadar bahwa ia teraniaya oleh kesenangan.
“Sebongkah tanah tidak akan ada artinya, jika ia tak ditanami dengan cinta. Dan kau, istriku, adalah air yang dijatuhkan langit untuk menjaga tanaman itu dari rasa haus,” kata Gringsing pada istrinya.
“Air tak akan menemukan jalan menuju samudra agar ia dapat kembali menjadi hujan, jika engkau, suamiku, tak mencangkuli tanah itu menuju sungai,” balas istrinya.
“Baiklah, akan aku cangkuli tanah untukmu juga. Aku pamit, sebelum matahari mencegatku di perjalanan,” ucap Gringsing memotong pembicaraan di pagi buta itu.
Alangkah bahagianya Kasur memiliki suami yang setia. Maka, demi membalas kesetiaan suaminya itu, ia tak pernah melewatkan waktu di dapur. Memasakkan makanan kesukaan suaminya untuk dibawa ke kebun saat matahari tepat di atas kepala.
Melintasi hutan, di atas jalan setapak, Kasur menggendong wakul anyaman bambu buatan tangan suaminya. Ia bawakan serta masakan yang sangat disukai Gringsing. Bersama-sama mereka menikmati makanan itu, di bawah teduh pohon resak brebas yang batangnya menjulang ke langit. Di kaki tebing, tak jauh dari tempat berdiri pohon itu, mengalir sungai yang airnya tampak jernih.
“Kau tahu, apa yang membuat sungai itu indah?” tanya Gringsing.
Kasur menggeleng. Ia diam. Menunggu suaminya mengucapkan kata-kata yang selalu berbeda tiap hari. Ya, ia senang mendengar kata-kata suaminya itu. Setiap diucap, ia merasa tak lagi menginjak bumi. Seperti terbang, melayang di udara.
“Karena aliran air yang gemericik dan segar. Tanpa air, ia hanyalah lekukan tanah kering, seperti jurang berbatu. Dan kau tahu, air itu kamu, istriku,” tutur Gringsing lembut sambil membetulkan sehelai rambut istrinya yang jatuh di dahinya. Menyelipkannya di sela daun telinga perempuan yang wajahnya selalu bercahaya itu.
“Kau tahu, di dalam tubuhku, air itu selalu mengalir. Melahirkan semangat yang selalu baru dengan kesegarannya,” lanjut Gringsing.
Begitulah. Mereka melewati hari-hari mereka. Sampai pada suatu ketika, orang tua Kasur menitip pesan pada menantunya. Agar ia menjaga kasih sayang mereka. Melanggengkan cinta mereka.
Ada rasa cemas yang merayapi benak mereka. Sebab, khawatir jika kebahagiaan anak dan menantunya itu akan melahirkan kecemburuan yang berlebihan. Bukan hanya rasa cemburu di antara pasangan suami-istri itu. Cemburu bisa saja datang dari orang lain. Bisa juga datang dari segala apa yang ada di alam raya ini.
“Nak Gringsing, bapak lega punya mantu sepertimu. Bapak lihat, kamu bisa membuat putri bapak bahagia. Tetapi, kau mesti tahu, kebahagiaan kalian itu bisa saja membuat orang-orang cemburu. Maka, ada yang perlu kau ingat, Nak. Bahwa di atas kebahagiaan yang tengah kau reguk itu, ada satu hal yang perlu kau jaga. Yaitu keselamatan kalian berdua,” ucap ayah Kasur.
Di depan kedua orang tua Kasur, Gringsing hanya bisa mengangguk. Diam menunduk.
“Untuk itulah, diperlukan sikap mawas diri, Nak Gringsing. Tidak semuanya yang di alam semesta ini menyukaimu. Menyukai kebahagiaan kalian. Maka, jagalah tiga hal ini, Nak. Sluman, slumun, slamet,” lanjut ayah Kasur.
“Nggih, Pak.”
“Sluman, artinya mesti mampu mengendalikan diri. Menguasai diri, tidak grusa-grusu agar tidak mudah goyah. Slumun, artinya mesti mampu menempatkan diri dengan tepat di dalam pergaulan. Dan slamet, kalau kedua hal itu kamu lakukan dengan segenap kepasrahan pada Yang Kuasa, maka keselamatan akan menjadi anugerah bagi hidup kalian,” jelas ayah Kasur.
Lantas, dengan terkekeh ayah Kasur menegaskan kembali tiga kata itu kepada Gringsing. “Ingat, sluman slumun slamet. Kau boleh merapalkan itu sebagai mantra. Untuk menghindari setiap godaan yang datang padamu.”
Melewati hari-hari, Gringsing tak pernah melupakan pesan itu. Ia lakukan dengan sepenuh kehati-hatian. Terutama ketika ia hendak berangkat ke kebun. Akan tetapi, ketahanan Gringsing untuk dapat merapalkan mantra itu goyah juga. Suatu pagi yang masih mengantuk, Gringsing kehilangan rapalannya. Ia lupa merapalkannya.
Ia berangkat pagi itu tanpa sekalipun merapal mantra pemberian ayah mertuanya itu. Maklum, hari itu ia akan memanen buah-buahan segar di kebun. Yang ada dalam benaknya adalah keinginannya untuk membawakan buah-buah segar itu segera ke rumah. Berkeranjang-keranjang.
Di kebunnya, ia tampak sibuk memetik buah-buah segar itu. Satu per satu tanaman buah dipanjatnya. Dipetik buah-buah segar itu. Riang hatinya, membayangkan wajah istrinya yang sumringah ketika menyambut kepulangannya, senja nanti.
Tetapi, pada sebatang pohon, tepat di bawah batang sebuah pohon, sesuatu telah menggoda Gringsing. Perhatiannya terusik oleh sesuatu yang janggal. Di sana tergeletak sebutir telur. Bagaimana bisa telur itu ada di sana? Siapa yang meletakkannya? Sebab, tak ada satu pun orang berseliweran di kebun itu. Juga telur apakah itu? Ukurannya tak biasa.
Merasa asing dengan telur itu, Gringsing lantas mengambil telur itu. Ia memeriksa seisi kebunnya. Barangkali ada seseorang atau ada binatang yang meninggalkan telur itu. Tetapi, tak satupun ditemukan.
Lama-lama Gringsing gelisah. Ia tak dapat menemukan apapun di kebunnya, kecuali dirinya sendiri dan pohon-pohon yang ditanamnya. Dan, mana mungkin sebatang pohon bisa bertelur.
Matahari telah lewat di atas kepala. Kasur, istri Gringsing, belum juga nampak. Sedang, perut Gringsing sudah harus diisi. Telur yang digenggamnya itu makin menggoda. Seperti memiliki daya sihir yang makin kuat.
Tak tahan dengan rasa lapar, juga oleh daya magis telur misterius itu, Gringsing kalah juga. Dimakannya telur yang tak jelas asalnya itu. “Buat pengganjal perut saja, sembari menunggu kedatangan Kasur,” bisiknya lirih.
Usai menelan telur itu, Gringsing merasa badannya segar kembali. Seperti mendapatkan asupan daya baru. Tetapi, ada sesuatu yang tak biasa ia rasakan bersamaan itu pula. Dorongan daya yang ada di dalam tubuhnya terus saja membesar. Pelan-pelan tubuhnya merasakan keanehan. Mula-mula menghangat. Lama-lama menjadi panas. Sampai akhirnya, ia merasakan sekujur tubuhnya semakin panas. Kulitnya pun memerah, nyaris melepuh.
Segera ia menuju sungai. Meminum air seteguk demi seteguk. Namun, rupanya panas tubuhnya tak kunjung reda. Ia meminum lagi air sebanyak ia mampu. Tetapi, selalu saja tak cukup. Tubuhnya semakin merasa seperti terbakar. Ia tak kuat lagi. Lantas, ia menceburkan diri ke dalam sungai.
Di dalam sungai, ia merasakan ada sesuatu yang tidak lazim pada tubuhnya. Ia merasa aneh dengan dirinya. Bagaimana bisa ia bernapas di dalam air dalam waktu yang lama? Padahal, ia tak pernah melakukan itu sebelumnya. Lalu, ia merasa ada perubahan-perubahan pada tubuhnya. Mula-mula pada rahangnya, telinganya, dan juga moncong hidungnya. Lalu, tangannya mengecil. Kedua kakinya pun mulai merapat, menyatu seperti membentuk ekor yang panjang.
Ia sebenarnya ingin berontak dengan perubahan itu. Tetapi, setiap kali ia menjumbulkan kepalanya ke permukaan air, napasnya terasa sesak dan tak kuasa untuk menahan sengat matahari. Ia kembali lagi ke dasar sungai. Begitu seterusnya, hingga tubuhnya benar-benar berubah.
Kasur tiba di kebun. Diedarkannya pandang matanya. Tak ia temukan suaminya di sana. Ia mulai merasa cemas dan was-was. Sebab, tak seperti biasa, suaminya menghilang tanpa pamit. Ia merasa aneh saja.
Sambil membawa perasaan anehnya itu, Kasur terus mencari suaminya. Dimana ia berada? Dari kebun itu, ia menuruni bukit kecil dan menuju sungai. Di sana, tak juga ia temukan suaminya.
Pikiran buruk mulai menghantui. Ia membayangkan jika suaminya mati diterkam binatang buas atau mati karena dibunuh seseorang. Bayangan buruk itu seketika membuat tubuhnya kehilangan daya. Sekujur tubuhnya tak bisa lagi ia gerakkan. Hanya bersimpuh yang ia bisa, sambil meratap dan menangis, memanggil nama suaminya.
Dari dasar sungai itu, samar-samar Gringsing mendengar suara itu. Lantas, ia berusaha menuju ke permukaan air sungai. Lincah ia memainkan tubuhnya yang baru.
Tetapi, apa yang dikehendakinya tak berjalan sesuai rencana. Ketika Gringsing muncul ke permukaan, Kasur mendadak kaget dan terkesiap. Ia ketakutan.
Dalam ketakutan itu, Kasur lantas melempari kepala Gringsing dengan batu. Ia mengutuki Gringsing, suaminya. “Oh kau rupanya yang telah membunuh suamiku. Kembalikan! Kembalikan suamiku! He ular!”
Gringsing bergeming. Saat itu ia baru saja tersadar, bahwa dirinya telah berubah menjadi ular. Itu ia tahu dari kata-kata istrinya.
Kasur masih saja mengumpat dan melempari ular itu dengan batu. “Jahanam! Kembalikan suamiku!”
Sebuah batu kecil mengenai pelipis mata Gringsing yang telah berubah menjadi ular itu. Batu kecil itu membuat Gringsing terbangun dari lamunannya. Lantas, ia berkata, “Tunggu! Tahan! Jangan kau lempari aku lagi.”
Kasur kaget setengah mati. Setengah tak percaya pula, jika ular itu bisa bicara. Dan, ia mendengar suara yang tak asing di telinganya. Suara suaminya. Lama ia terdiam. Lama pula Gringsing tanpa kata-kata.
Kasur menatap penuh-penuh wajah ular itu. Sementara, Gringsing tak sanggup membalas tatapan itu. Ia hanya bisa menundukkan kepala.
Kasur mendekati bibir sungai. Dalam benaknya, muncul beribu tanya tentang segala hal yang ia anggap tak mungkin. Ragu-ragu ia ajukan pertanyaan itu, “Kau….”
“Iya, ini aku, istriku,” kata Gringsing.
“Tidak mungkin!” Kasur segera menarik kakinya, menjauh dari bibir sungai. “Kau pasti yang membunuh suamiku. Kau bukan suamiku! Tidak mungkin!”
“Dengarkan aku, istriku! Ini aku!” seru Gringsing meyakinkan.
“Tidak. Bukan! Kau bukan suamiku! Kau siluman!”
“Ini aku, sayangku! Ini aku! Gringsing, kekasihmu!”
Mendadak tubuh Kasur melemah. Sontak, hatinya pun menjadi kian ragu beradu kecemasan yang teramat. Ia masih saja tak percaya keadaan ini. Tetapi, ia terpaksa harus menerima keadaan yang dia alami itu.
Lama, mereka terdiam. Gringsing menghimpun keberaniannya untuk mengungkap apa yang terjadi padanya. Butuh waktu untuk meyakinkan istrinya itu. Ia mesti menata kata dengan tepat agar setia perkataannya tidak membuat istrinya kecewa.
“Ini aku, sayangku. Maafkan atas keadaan ini. Semua di luar dugaan. Di luar kehendakku sendiri. Aku juga tidak tahu, bagaimana aku bisa menjadi begini. Andai saja, telur itu kubiarkan saja, mungkin keadaannya akan lain, istriku. Sekali lagi, aku mohon padamu, maafkan aku,” jelas Gringising.
“Telur? Kau memakan telur itu?”
“Ya, sayangku.”
“Bukankah sudah menjadi perjanjian kita, apapun yang terjadi ka akan menunggu kedatanganku?”
“Itulah, makanya aku meminta maaf padamu, sayangku. Aku tak sabar dan bodoh,” sesal Gringsing.
“Tidak, suamiku. Kau tidak salah. Andai aku datang tepat sebelum matahari benar-benar di atas kepala, kau tak akan seperti ini keadaannya. Aku salah, suamiku. Maafkan aku,” pinta Kasur.
“Tidak, sayang. Kau tidak salah. Aku yang salah.”
“Tidak, sayangku, kau tidak salah. Sebab, kau telah menjalankan tugasmu sebagai seorang suami yang baik, sementara aku lalai. Mestinya, aku yang kena kutukan itu. Bukan kamu, suamiku,” ucap Kasur dengan diiringi isak tangisnya yang dalam.
Perlahan kaki Kasur ia bawa ke bibir sungai. Di tangannya, separuh telur sisa dari yang dimakan suaminya itu dimakannya. Telur itu ia temukan di dekat sungai, di bawah pohon tempat mereka biasa menyantap makan siang. Sambil memakan sisa telur itu, pelan-pelan ia memasuki air. Sambil terus mengucapkan kata, “Akulah yang mestinya terkutuk. Akulah yang mestinya menerima hukuman itu, Kangmas.”
“Tidak! Jangan istriku! Jangan lakukan itu!” seru Gringsing mencegah Kasur agar tidak memakan buah kutukan itu. Tetapi, Kasur mengabaikan seruan itu. Kasur terus melangkahkan kakinya hingga ke dalam sungai.
Tiba-tiba, ia merasakan keanehan pada tubuhnya. Ia merasakan ada yang berubah. Antara cemas dan senang, ia memanjatkan harapan. Agar kutukan itu membawanya dekat pada suami yang ia cintai. Secara pelan tapi pasti, rupa dan wujud Kasur pun berubah menjadi seutuh-utuhnya sebagai seekor ular.
Ada sesal. Tetapi, ada juga rasa senang pada diri Gringsing menyaksikan perubahan itu. Sesal, karena ia tak ingin membuat istrinya menerima kutukan itu. Senang, karena ia sebenarnya enggan hidup sendiri. Ia masih membutuhkan kehadiran istrinya, wanita yang paling ia cintai.
Setelah perubahan itu sempurna, keduanya lantas masuk ke dasar sungai. Bersembunyi dari orang-orang. Mereka tahu, selama tubuh mereka menjadi ular, orang-orang akan memburu. Mengira mereka adalah inatang yang layak dibunuh.
Pemandangan langit di atas Bukit Clirit sudah menampakkan warna biru tua. Gelap. Serangga-serangga malam mulai bernyanyi. Di depan rumah, orang tua Kasur menanti dengan cemas. Tak biasanya kedua anaknya itu pulang malam-malam.
Resah dengan keadaan, sang ayah lantas menyusul kedua anak itu. Tak peduli harus menerobos hutan yang gelap. Tak peduli dengan jalan mana yang ia pilih. Ia hanya punya satu misi, menemukan kembali kedua anaknya tu.
Sampai di kebun, ia memanggili nama anak-anaknya. Suara itu mengusik Gringsing dan Kasur. Mula-mula Kasur ingin segera menemui ayahnya, naik kepermukaan sungai. Tetapi, Gringsing mencegahnya. Ia tahu, kalau itu dilakukan, ayahnya belum tentu akan menerima keadaan mereka yang sekarang.
Tetapi, Kasur tetap berkeras hati untuk menemui ayahnya. Ia ingin sekali menjelaskan pada sang ayah tentang kejadian yang sebenarnya.
“Jangan, istriku!”
“Tidak, suamiku. Aku harus melakukan itu. Aku tak mau ayahku merasa kehilangan. Kau tahu kan bagaimana rasanya kehilangan orang yang kau cintai?”
Gringsing terdiam. Tetapi, ia masih belum merelakan Kasur menemui ayahnya.
“Kok cemberut?” tanya Kasur.
“Tidak. Aku cuma belum yakin saja. Apa yang kau lakukan akan membuat semua jadi baik.”
“Aku adalah darah daging ayahku. Aku tahu, bagaimana ayahku. Yakinlah, ayahku akan menerima keadaan ini, suamiku,” bujuk Kasur.
Dengan berat hati, Gringsing akhirnya membiarkan Kasur ke permukaan sungai. Ia mengikutinya. Sesampai di permukaan, Kasur menyeru ayahnya, “Ayah! Aku di sini!”
Dari atas bukit, tampak oleh ayah Kasur riak air bergelombang. Ia dengar pula, suara teriakan itu dari arah sungai itu. Seketika, ia menuruni bukit. Mendekati sungai. Dan, ketika ia menyaksikan sungai itu, ia melihat dua ekor ular besar berkubang di sana.
Sontak, ia kaget. Meski begitu, ia tak merasa aneh dengan apa yang ia lihat. Hanya, ada secuil rasa sesal bercokol dalam hatinya. Bagaimana mungkin mereka menjadi ular? Padahal, sebelumnya, ia telah mewanti-wanti menantu kesayangannya itu agar menjaga diri dengan benar-benar. Tetapi,….
“Iya, ayah. Semua ini salahku. Saya mohon ampun yang tak bisa menjaga amanat ayah,” kata Gringsing ketika itu dengan nada sesal.
Sebagai orang tua yang kaya akan pengalaman hidup, ia mengerti kesusahan yang didera anak-anaknya itu. Ia tak bisa menyalahkan. Tetapi, ia kecewa.
“Maafkan saya, ayah.”
Ayah Kasur menghela napas sejenak. Kemudian berkata, “Tak akan habis kata maafku untukmu, anak-anakku. Sebab, aku tahu, semua di luar dugaanmu. Semua di luar batas kemampuanmu. Aku tahu. Aku paham. Hanya saja, ada yang membuatku khawatir.”
“Khawatir? Tidak ada yang mesti dikhawatirkan, ayah. Kami di sini bahagia kok!” timpal Kasur.
“Ya, aku tahu. Kalian masih bisa berbahagia untuk saat ini. Tetapi, seiring jalannya waktu, yang aku kawatirkan justru kebahagiaan kalian sendiri. tidak perlu orang lain mengusiknya. Tetapi, barangkali saja, keadaanmu yang begini justru akan menghadapkan kalian menjadi orang yang merasa teraiaya. Hanya karena kalian tidak bisa saling menerima keadaan di kemudian hari, lantas dengan mudah kalian saling menyalahkan, anakku,” jelas ayah Kasur.
“Tidak mungkin, Ayah. Kami akan selalu menjaga rasa bahagia itu bersama-sama di sini. Tenang, Ayah,” kilah Kasur.
“Hm… kamu yakin?”
Kasur terdiam. Lalu menatap Gringsing. Grigsing pun kehabisan kata-kata untuk diucapkan.
“Betul kan apa kataku? Kamu sendiri tidak yakin. Makanya, satu hal yang harus kalian lakukan untuk mejaga rasa bahagia kalian.”
“Apa itu, Ayah?”
“Begini. Anggap saja ini adalah tugas. Setiap kalian memiliki tanggung jawab masing-masing. Berat memang. Tetapi, apabila kalian lakukan dengan baik, ayah rasa hubungan kalian akan tetap langgeng dan baik-baik saja. Tapi, ayah masih ragu-ragu, mungkinkah kalian siap menerima tugas ini?”
“Selagi itu baik, kami siap, Ayah,” jawab Gringsing.
“Baiklah,” kata ayah Kasur. “Begini. Cinta itu perlu diuji. Ia tidak selamanya harus diwujudkan dalam kebersamaan. Kadang, cinta itu justru tumbuh dan semakin subur saat sepasang kekasih saling jauh. Sebab, dengan begitu akan semakin dalam cinta yang mereka rasakan. Ya, rindu adalah wujud cinta yang paling dalam. Dan di dalam kerinduan itu, setiap kekasih akan selalu mengingat dan mengenang kekasih tambatan hatinya. Jika ia benar-benar cinta. Tetapi, jika tidak, maka kebersamaan yang mereka lalui boleh jadi hanyalah kesenagan semu. Bukan cinta. Untuk itu, aku beri tugas pada kalian. Mulai malam ini, anakku Kasur, kau tinggallah di sini. Di bukit Clirit ini. Sementara kau, Gringsing, kau pergilah ke Kali Gung. Tinggallah kau di sana.”
“Baik, Ayah.” Tak ada yang menyanggah. Juga tak ada pertanyaan. Keduanya, hanya manut pada tugas itu. Hidup terpisah dalam balutan cinta kasih sayang yang mendalam.
Tahun berganti tahun, mereka lalui kehidupan yang demikian berat. Rasa rindu kian menebal. Cinta mereka tak goyah. Malah semakin tumbuh subur. Mereka berjumpa hanya sesekali saja dalam beberapa tahun lamanya. Pada setiap perjumpaan itu, Gringsing merenangi sungai. Berusaha mencapai tempat Kasur tinggal. Tetapi rupanya, gerak tubuhnya membuat gerak air menjadi deras dan bergelombang. Akibatnya, longsor, jalan patah, dan batu-batu berserakan di sepanjang Kali Gung hingga Bukit Clirit.
Kerusakan itu membuat langit mengirimkan petir pada Gringsing. Di saat kepalanya mendongak ke permukaan, petir menyambarnya. Petir itu pula yang membutakan sebelah matanya, hingga bercucuran darah. Sungai pun memerah seketika.
Demikian pula Kasur. Ketika rasa kangennya memuncak, ia tak jarang menyembulkan kepala dari atas bukit. Tetapi, lagi-lagi langit memerintahkan petir untuk menyambar kepalanya. Kasur takut dan menenggelamkan kepalanya lagi.
Begitulah kisah mereka. Sampai pada akhirnya, oleh sebagian besar masyarakat sekitar menjadi kisah yang dikaitkan dengan fenomena petir dan beragam kejadian alam. Tetapi, jika diamati secara saksama, ada pesan-pesan menarik yang patut dipetik dari kisah itu. Bahwa di dalam menjalankan tugasnya sebagai pengolah dan pengelola kekayaan alam, ia tak boleh bersikap tamak. Sebab, yang membuat lingkungan rusak adalah keserakahan.
Sikap serakah akan membuat orang mudah tergoda dengan hal-hal yang mestinya tidak boleh ia sentuh. Apalagi jika sesuatu itu bukan haknya. Dan dampak dari keserakahan, tidak hanya dirasakan oleh yang melakukannya. Akan tetapi, akan berdampak pula pada orang-orang di sekitarnya. Juga pada banyak orang.
Dengan kata lain, kisah itu ingin menyampaikan kepada siapa saja, agar di dalam pengelolaan dan pengolahan kekayaan alam, mesti dilakukan dengan sikap penuh tanggung jawab dan tahu batas yang tidak boleh diterabas. Pengelolaan dan pengolahan lingkungan mesti menjaga kelestarian alam, bukan mengeruk seluruh kekayaan alam itu hanya untuk urusan perutnya sendiri.