KOTOMONO.CO – Di dunia ini, manusia hanyalah para musafir. Setiap kita adalah pengembara. Nggak heran jika di antara kita ada yang tersesat. Ada juga yang bingung ketika berhadapan dengan persimpangan.
So, mungkin hal yang perlu kita lakukan adalah mengaktifkan selalu GPS kehidupan. Agar, sadar akan keberadaan diri. Kita itu siapa dan ada dimana? Selain itu, perlu juga kita selalu membaca serlok yang dikirim Tuhan. Supaya tahu, sekarang kita ada di jalan yang mana?
Yup! Sebagai musafir, kita memang ditantang oleh bentang alam raya ini agar terus membaca tanda alam. Memikirkan apa-apa yang dihadirkan oleh alam, dan memaknainya sebagai petunjuk. Tentu, untuk mengerti itu semua kita juga perlu bertanya kepada siapa saja yang kita anggap lebih tahu. Jangan sampai kita menjadi tampak bodoh karena kita malu bertanya.
Hidup adalah perjalanan bukanlah sebuah analogi, tapi memang itu yang terjadi. Tuhan telah menakdirkan peta kehidupan, kemudian menciptakan manusia sebagai salah satu pemeran. Entah pemeran utama atau bukan, yang saya tahu setiap cerita memiliki pemeran yang bermacam-macam. Semuanya saling berkolaborasi dan saling melengkapi. Tanpa salah satunya, bukankah malah hilang keseimbangan?
BACA JUGA: Universalisme Islam dan Upaya Memanusiakan Manusia
Seperti perspektif masyarakat belakangan. Hidup seakan-akan dapat disempurnakan dengan segala yang instan. Dianugerahi nikmat sistem pernafasan malah dirusak oleh rasa ingin cepet-cepetan seakan hidup adalah balapan. Ingin cepat kaya, ingin cepat kenyang, ingin cepat pintar, ingin cepat menikah, ingin cepat lulus, ingin cepat sukses, ingin cepat dan lain-lain. Kiranya, dalam hal ritual ibadah juga ingin cepat wassalam atau tidak ya? Hehe.
Mengingat penuturan nenek moyang yang dicontohkan Pak Joko Heru (Ketua Dewan Kesenian Kab. Pekalongan) kemarin malam (Jum’at 2/04/2021), di acara “Sinau Babad Pekalongan”, beliau menuturkan dengan sebuah pertanyaan, “jika tujuan kita menjadi superior, misal sudah superior mau apa?” Singkat namun seharusnya mampu menyadarkan kita sebagai generasi milenial yang merasa mempraktekkan.
Jika dalam perjalanan hidup kita bukan untuk balapan, lalu kita mau apa? Padahal, jika sesuatu bisa kita dapatkan dengan cepat kenapa harus diperlambat kan ya? Bukankah dengan cepat-cepat kita bisa mendapatkan hasil lebih banyak? Ya itu yang masih kita pahami. Tapi, apakah yang banyak selalu baik? Bukankah secukupnya justru lebih membahagiakan?
Okey saya analogikan seperti ketika kamu sedang melakukan perjalanan ke sekolah, tempat kerja atau kampus. Akan berbeda rasanya ketika kamu berangkat dengan tergesa-gesa dan ketika kamu berangkat dengan kecepatan biasa saja. Terkait dengan relativitas waktu, saat tergesa-gesa waktu akan terasa semakin singkat, sedangkan saat kita rileks waktu akan terasa lebih panjang. Bukankah ini salah satu hal yang kita keluhkan sekarang? Dulu waktu kita masih kanak-kanak, belum mengenal dunia digitalisasi, satu hari terasa sangat panjang bukan? Nah, sekarang apa yang kita rasakan?
BACA JUGA: Perempuan itu Nggak Lemah, ini Buktinya!
Jiwa yang ingin serba instan itu ternyata dapat menghilangkan koneksi kita dengan Tuhan sehingga kita lupa mana arah utara, barat, timur, ataupun selatan. Saat jiwa ingin serba instan, ingin serba cepat, bukankah itu bisikan setan? Hal ini sesuai dengan sebuah dalil yang sering kita dengar, bahwa “tergesa-gesa adalah perbuatan setan” karena artinya kita gegabah dalam mengambil keputusan, tidak berhati-hati padahal nasihat nenek moyang kita harus mawas diri.
Semakin sering bisikan setan itu kita dengarkan, gelombang sinyal dari Tuhan akan semakin terkalahkan. Sehingga kita kesulitan untuk menangkap pesan Tuhan melalui simbol-simbol kehidupan. Jika kita kehilangan sinyal, bagaimana bisa kita membaca serlok Tuhan? Kiranya sudah berapa banyak kesalahan memilih tikungan yang membuat kita semakin jauh dari Shiratal Mustaqim?
Sudahlah, lupakan kesesatan yang telah kita lalui. Kita yakin jika Tuhan Maha Luas, kan? Bukankah artinya Ia tidak hanya memiliki satu jalan untuk sampai padanya? Masa lalu bukan kendali kita yang sekarang, kendali kita sekarang adalah masa depan. Jadi, untuk apa membuang-buang waktu dengan meratapi kesesatan, jika berusaha membaca serlok Tuhan kembali bisa menjadi bekal untuk kecerahan masa depan? Tapi, bagaimana cara membaca serlok Tuhan jika sinyal Tuhan saja sudah hilang?
Tidak, Tuhan adalah satu-satunya keabadian. Jadi, mana mungkin koneksinya hilang. Kitanya saja yang belum membuka jalan untuk koneksi itu. Seperti halnya kertas putih, ia tetap ada walaupun sudah diwarnai. Hanya saja jika warna itu kita hilangkan, kertas putih itu akan kelihatan, bukan? Ini seperti metode takhalli dalam perjalanan awal seorang sufi, yaitu menghilangkan sesuatu yang kotor dari dalam diri sehingga yang tersisa adalah jiwa yang fitrah. Lalu, apa yang membuat diri kita kotor? Hawa nafsu.
BACA JUGA: Ketertarikan Gus Dur Terhadap Pemikiran Humanisme
Namun, perlu diingat pula penuturan nenek moyang yang dicontohkan Pak Joko Heru, bahwa mereka menggunakan prinsip ojo dumeh, yang artinya “jangan mentang-mentang”. Implementasinya berupa perilaku yang tidak berlebih-lebihan. Dengan ojo dumeh ini menjadikan kita memiliki rem jika muncul perasaan merasa lebih baik dari yang lainnya. Jadi, dalam proses memperbaiki diri, kita akan selalu merasa belum sampai pada kesempurnaan. Menyadari bahwa kesempurnaan itu bukan sebuah tujuan namun sebuah proses memperbaiki yang terus menerus dilakukan sampai Tuhan berkata “selamat datang”.