KOTOMONO.CO – Sekalipun buku antologi puisi yang ditulis seorang mantan penyiar radio asal Pekalongan ini tipis, tetapi di dalam puisi-puisinya saya menangkap sesuatu yang meledak-ledak. Terutama tentang kota kelahirannya, Pekalongan.
Ketika memulai tulisan ini, ingatan saya terbawa ke dalam waktu. Ketika saya berbincang-bincang dengan bintang tamu saya di Program Siaran Kojah Sastra di Radio Kota Batik, edisi 28 Januari 2021 lalu. Adalah mas Rizki Nuansa Hadyan, seorang psikolog, penikmat seni, sekaligus seorang yang merasakan kegelisahan di kota rantaunya ini, Pekalongan. Lantas, ia mengajukan pertanyaan, “Akan kemanakah kota ini?”.
Pernyataan itu muncul dari rasa sepi dan keringnya kota yang konon dikenal sebagai salah satu kota dagang dunia di abad keenam Masehi. Menurut catatan mendiang Gus Dur, di abad itu kota ini sudah memiliki pelabuhan besar. Perdagangannya pun maju dan menjadi salah satu kota dagang kelas internasional. Tentu, sebagai kota dagang, budaya yang berlaku di kota ini pun sifatnya lebih dinamis. Apalagi kota ini merupakan titik pertemuan antarbudaya bangsa-bangsa, sebagaimana dikesankan Denys Lombard. Bahkan, seorang konsultan bisnis asal Tiongkok abad kedelapan belas Masehi, Wang Dahai, dalam catatan Claudine Salmon, betah tinggal di kota ini karena merasa menemukan kekayaan budaya.
Kini, kota tua yang tanggal 1 April lalu berusia 115 tahun itu seperti kehilangan gemanya. Masa gemilang kota ini seolah sekadar menjadi catatan yang cukup sesekali dikenang. Kemudian, kembali dilepaskan dan dibiarkan terbawa angin. Berlalu dan lenyap terbang.
BACA JUGA: Menemukan Kembali Puisi yang Terselip dalam Jeda Panjang Ruang Pendidikan
Tak heran jika kemudian seorang Ibnu Novel Hafidz yang kini mendulang sukses di kota rantau menuliskan puisi-puisi pendek tentang Pekalongan dengan nada yang demikian sepi. Rasa getirnya teramat. Begitu pula rasa nyerinya, tergambarkan bagai luka sayatan yang tak kunjung sembuh.
Kotaku 1
kawan
beri aku alasan
agar aku selalu rindu
Pekalongan
Puisi pendek itu ditulis di Yogyakarta, bulan Januari 2008. Artinya, usia puisi itu masih tergolong sangat muda. Yaitu 13 tahun. Tetapi, untuk sebuah masa penantian, 13 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dan pertanyaan itu, seolah-olah tak pernah mendapatkan jawaban. Terbiarkan begitu saja.
Padahal, puisi itu diawali dengan sapaan “kawan”. Sebuah sapaan yang hendak menciptakan ruang keakraban yang hangat. Ditujukan kepada siapapun. Terutama kepada pembacanya.
Puisi empat baris dengan 22 suku kata itu semacam sebuah pembuka percakapan antara sang “aku” dengan pembaca. Melalui pernyataan itu, sang “aku” tidak hanya menanyakan alasan, melainkan pula mengajukan sebuah gugatan kepada sang “kawan” tentang kerinduan. Dengan pernyataan yang berbeda, puisi itu seolah sedang menyatakan, jika memang pantas Pekalongan untuk dirindukan, lalu hal apa yang layak dijadikan tujuan dari rindu itu? Dan, bagaimana caranya merawat kerinduannya pada Pekalongan?
Gugatan sang “aku” dalam puisi itu boleh jadi memperlihatkan perasaan gamang sang “aku”. Bahwa “aku” sesungguhnya di dalam batinnya, sudah tidak lagi menyisakan ruang untuk Pekalongan agar tetap menjadi tujuan rindunya. Pekalongan baginya adalah sesuatu yang asing dan dicampakkan. Lantas, mengapa sang “aku” bisa demikian? Jawaban itu ada pada puisi berikut,
Kotaku 2
di Pekalongan
selain aku menemukan harum
surga telapak kaki ibu
selebihnya
kenangan kenangan berdebu
di lorong lorong bisu
Agaknya, puisi ini ingin memberi gambaran tentang rasa getir yang teramat atas kota ini. “Aku” ingin mengatakan bahwa kota ini hanyalah serpihan masa lalunya. Kota asalnya. Tetapi, hidup di kota ini tidaklah cukup membuat “aku” merasakan menjadi “ada”. Segala sesuatu yang lalu-lalang dalam kehidupan kota ini tidak lebih sekadar “kenangan kenangan berdebu/di lorong lorong bisu”. Sesuatu yang tidak ada artinya sama sekali.
Kehidupan yang berlaku di kota ini, oleh “aku”, tidak dinamis. Tidak pula memberinya kesempatan untuk mendayakan hidup. Segala bentuk “kehadiran” yang ada di dalam kehidupan tak lebih hanya luapan-luapan euforia dalam pesta pora. Bersamaan dengan itu pula, lahir kecongkakan-kecongkakan yang bercokol dalam kebisuan.
Dalam keadaan ini, “aku” lantas meluapkan kejengkelan,
Kotaku 3
sumpah serapah syahdu
kuhayati
pada ruas jalan berlubang yang dulu
kutelusuri bersama cinta
kotaku kini
hadirkan lara
Kejengkelan “aku” tampak terlukiskan dalam puisi ini. “Aku” merasakan betul bagaiama “aku” terhina di tengah “aku” menjalani kehidupan kota yang menyusahkan. “Aku” memaksakan dirinya untuk setia dalam mencintai denyut kehidupan di kota ini. Tetapi, yang “aku” temui tak lebih sekadar “lara”. Perasaan luka teramat yang membawakan “aku” duka.
BACA JUGA: Sastra Poshumanistik, Sastra Futuristik
Ini menjelaskan, bahwa pandangan “aku” terhadap kota tempat asalnya itu adalah kota yang menorehkan demikian banyak luka. Tampak pula sisi skeptisisme sang “aku” terhadap kota kelahirannya itu. Skeptisisme ini memperlihatkan dua sisi sekaligus. Pertama, harapan “aku” kepada kota kelahirannya agar menjadi kota yang layak ia setiai, layak untuk dicintai. Tetapi, rupanya harapan itu menjadi pupus. Sebab, “aku” justru terluka oleh harapannya sendiri.
Kedua, kehidupan yang tercipta di kota kelahiran “aku” dibangun dari kepongahan-kepongahan. Sumpah serapah yang dihayati oleh sang “aku” adalah wujud gambaran kepongahan itu. Dan dari kepongahan itu lahirlah kehidupan yang dirupakan sebagai “jalan berlubang” yang menghadirkan perasaan tersiksa bagi “aku”. Sebagaimana yang ditulis dalam puisi berikutnya,
Kotaku 4
Pekalongan adalah indah
tapi karena cintamu
Pekalongan jadi
menyusahkan
Pada puisi ini, agaknya terselip sesuatu yang ‘ganjil’. Yaitu, “mu” dalam kata “cintamu”. Siapa “mu” yang dimaksud? Dan pada siapa cinta “mu” itu ditujukan?
“Mu” tentu dimaksudkan untuk merujuk sesuatu atau seseorang. Jelas, dalam kata “cintamu” merujuk pada makna kepunyaan, perasaan cinta yang dimiliki oleh “mu”. Tetapi, siapa “mu”? Dan kepada siapa “mu” mencintai?
Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, perasaan cinta “mu” tertuju kepada Pekalongan. Jika makna ini yang dimaksudkan, maka sosok “mu” dalam puisi ini diimajikan sebagai sosok yang posesif. Perasaan cinta “mu” pada Pekalongan membuat jadi kehidupan yang berlaku di Pekalongan serba menyusahkan. Artinya, hanya “mu” yang merasa berhak mencintai, sehingga ia punya kuasa atas kehidupan yang berlaku pada Pekalongan.
Dalam pengertian lain, perasaan cinta “mu” ini pada gilirannya melahirkan sikap yang sok kuasa atas segala yang terjadi di kota Pekalongan. Sosok “mu” tidak menghendaki orang lain mencintai kota Pekalongan. Siapapun, selain “mu”, dipandang tidak punya hak untuk menentukan nasib kota Pekalongan.
Akibat dari sikap posesif “mu”, membuat orang lain (termasuk di dalamnya sang “aku”) merasa hidup dalam kesusahan. Sang “aku” merasa tidak punya kesempatan yang sama untuk memperlihatkan rasa cintanya pada kota asalnya. Sang “aku” memandang dirinya sendiri sebagai sosok yang kehilangan hak atas cintanya pada kota kelahirannya.
Kemungkinan lain, “mu” adalah sosok yang mencintai sang “aku”. Jika makna ini yang dimaksudkan, maka perasaan cinta “mu” kepada “aku” adalah penyebab dari rasa tersiksanya sang “aku”. Dari gejala ini tampak pula jika antara “aku” dan sang kekasih (“mu”) itu telah melahirkan sebuah konflik. Terjadi semacam perbedaan prinsip hidup di antara keduanya.
Tetapi, konflik ini rupanya disembunyikan dalam puisi ini. Sang “aku” lebih mengungkapkan perasaan pribadinya terhadap Pekalongan dan ‘kenangannya bersama sang kekasih’. Dengan demikian, lewat puisi ini, sang “aku” sesungguhnya hendak mengisahkan tentang derita konflik batinnya pada Pekalongan dan kenangan masa lalunya. Pekalongan yang sebenarnya indah, tiba-tiba menjadi serba menyusahkan lantaran mengenang kisah cintanya pada sang kekasih.
Jika ditarik dari puisi pertama hingga puisi terakhir, agaknya sang “aku” sebenarnya ingin mengisahkan kenangan pribadinya. Sekeping kisah cintanya di masa lalu yang menorehkan luka. Dan sang “aku” ingin sekali melupakannya dan membuang semua kenangan itu jauh-jauh dari ingatannya. Akan tetapi, kenangan itu teramat indah dan sayang untuk dilupakan.
Meski begitu, catatan kisah cinta ini memberikan pemahaman yang unik tentang kota Pekalongan. Terutama, ketika sudut pandangnya diperluas dan spektrum makna puisi ini dipanjangkan jangkauannya. Maka, akan didapat pula pemaknaan yang dapat ‘mengusik’ kebekuan pikiran tentang kehidupan kota Pekalongan.
Seperti yang ditulis di awal, bahwa dulu Pekalongan adalah kota dengan pelabuhan besar. Menjadi salah satu kota dagang dunia. Menjadi salah satu ruang pergaulan dunia. Tetapi, di masa kini cahaya terang kota ini terasa meredup. Geliat hidup yang mestinya mendayakan hidup seolah-olah stagnan, karena bentuk-bentuk kehidupan yang ditawarkan hanyalah bangunan menara-menara gading yang angkuh dan dingin. Orang-orang berlomba-lomba untuk mendirikan monumen-monumen pribadinya. Akan tetapi, mereka lupa bahwa ada monumen yang juga mesti dibangun, yaitu monumen kehidupan yang dapat dirasakan bersama oleh seluruh masyarakat kota, juga warga dunia. Orang-orang ramai berebut panggung untuk dirinya sendiri. Sampai-sampai mereka lupa bahwa ada panggung luas yang bernama panggung kehidupan, dunia. Maka, tak heran dalam arena perlombaan itu, sikap yang dibangun adalah superioritas.
Ya, empat puisi ini seolah ingin mengatakan sebuah kritik melalui kisah cinta sang “aku” dengan kekasihnya yang kandas di tengah jalan. Entahlah. Tetapi, begitulah puisi. Ia multi tafsir.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya