KOTOMONO.CO – Namanya medsos, orang bisa bebas aja bikin postingan. Seperti yang terjadi pada Ahmad Anwar Syam di Grup Facebook Gosip Mbatang. Ia memosting sebuah narasi pendek tentang hari kelahiran Pancasila;
“Tangal lahir pancasila (dalam rumusan yang kita kenal semua) itu tanggal 18 Agustus 1945.. Lha trus tgl 1 Juni 1945 itu apa? Itu tanggal crot nya… Nah dari crot sampai lair ceprot butuh waktu 2,5 bulan..
NG: kebetulan yg crot pd tanggal tsb adalah bung karno… Sampai proses lahir kemudian meibatkan beberapa cowo yg lain..”
Kontan, postingan itu disambut meriah para netizen. Lewat komen-komennya, para netizen menggeruduk postingan Ahmad Anwar Syam. Rata-rata mereka nggak terima dengan postingan Ahmad Anwar Syam. Sampai-sampai ada juga yang menyerang pribadi si pemilik akun. Profil serta foto Ahmad Anwar Syam disebar di berbagai grup facebook, sampai ada juga yang memolisikannya.
Terlepas dari polemik itu, kalau mau diakui, sebenarnya postingan sodara Ahmad Anwar Syam itu nunjukin kalau dia orang yang punya daya ingat yang bagus, juga visioner. Ya, sekadar berpositive thinking aja, lewat postingan itu mungkin ia sedang ingin ngajak orang mendiskusikan tentang sejarah lahirnya Pancasila. Cuma memang, ujaran yang dipostingnya itu berkesan “ekstrem”. Kali aja supaya mendapat perhatian dari warganet.
Sayang, bukannya diskusi yang didapat eh ia malah ketiban makian. Apes? Mungkin begitu. Mungkin juga dia sedang ngetes kebesaran hatinya. So, yang sabar ya bro.
Postingan Ahmad Anwar Syam pada akhirnya menuai pro-kontra di kalangan warganet. Pihak yang dikesankan pro dengan postingan Ahmad Anwar Syam dianggap punya sekongkol. Padahal, komentar mereka yang dianggap pro itu berusaha menjelaskan kronologi sejarah lahirnya Pancasila. Sementara, mereka yang kontra terus saja mencecar dan mencari dukungan agar sodara Ahmad Anwar segera dijebloskan ke penjara.
Kalau kita mau jujur, banyak hikmah yang bisa diambil dari peristiwa ini. Pertama, sedikit demi sedikit kita jadi tahu sejarah. Terutama tentang bagaimana pancasila dirumuskan dan ditetapkan kemudian sebagai dasar negara. Kedua, kita juga tahu karakter orang-orang Pekalongan-Batang yang mungkin cenderung suka berdebat kusir. Asal beda langsung sikat! Padahal, kalau mau banyak membaca buku atau mencari sumber-sumber bacaan lain, perdebatannya bisa jadi seru dan lebih menarik, karena ada dasar keilmuannya. Dan ketiga, Ahmad Anwar Syam sukses membuka kesempatan emas bagi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila aka BPIP unjuk gigi ke masyarakat dengan memperlihatkan eksistensi dan kerja mereka.
Banyak yang gregetan, mereka menilai Ahmad Anwar telah menghina Lambang Negara (Pancasila) dan ingin melaporkannya ke Polisi. Banyak yang mengira kalau Ahmad Anwar kebal hukum, sebab beliau sudah sering kali membuat “kontroversi” yang memancing emosi warga Batang. Masak sih bisa lolos tidak bisa dijebloskan ke Penjara? Baiklah, mari kita sedikit pelajari kasus Ahmad Anwar Syam kali ini.
Terlebih dahulu kita pahami apa itu simbol negara atawa lambang negara. Kalau merujuk UUD 1945, yang masuk kategori lambang negara itu Bendera Negara Indonesia (pasal 35); Bahasa Negara (pasal 36); Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (pasal 36A); dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (pasal 36B).
Nah, jelaslah sekarang kalau Pancasila itu bukan lambang negara. Kedudukan Pancasila itu lebih tinggi dari simbol negara, yaitu Dasar Negara. Artinya, segala yang dilakukan negara harus merujuk dan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Terus, apa bedanya dengan Garuda Pancasila yang dijadikan Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia? Garuda adalah nama burung dalam kisah epos Ramayana. Burung inilah yang berusaha menolong Dewi Shinta dari cengkeraman Rahwana. Tetapi, ia kalah dalam peperangan melawan Rahwana dan gugur sebagai pahlawan pembela kebenaran dan keadilan
Dari kisah itu, burung ini kemudian menginspirasi para founding father republik ini dan menjadikannya sebagai Lambang Negara. Tujuannya, agar setiap warga negara Indonesia menjadi orang yang berani mengambil risiko di dalam membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Akan tetapi, di dalam usaha setiap orang untuk melakukan perbuatan itu, mesti didasari nilai-nilai Pancasila.
BACA JUGA: Bagaimana Media Lokal Berbasis Akun Alter Menulis Berita Kekerasan Seksual dengan Buruk?
Makanya, patung burung Garuda itu menghadap ke kanan dan berkalung perisai dengan gambar lambang sila-sila dari Pancasila. Pada kakinya, sebuah pita bertulis semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam cengkeraman. Semboyan itu menjadi sesanti bangsa Indonesia. Yang maknanya, bahwa bangsa Indonesia itu terdiri atas banyak suku, ras, dan agama yang berbeda-beda. Namun, dari berbagai macam perbedaan itu setiap orang memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu mewujudkan kehidupan berbangsa yang damai.
Dengan begitu, pelambangan Garuda Pancasila itu sebagai pengingat bahwa negara kita punya Dasar Negara dan punya semboyan hidup kebangsaan. Jadi, antara simbol/lambang negara dengan dasar negara tentu kedudukannya berbeda.
Setelah kita pahami, jika pengaduan pidana terhadap pelaku dengan tuduhan menghina Lambang Negara adalah keliru. Karena Pancasila bukan Lambang Negara, melainkan Dasar Negara atawa Ideolgi Negara. Mungkin agar lebih jelasnya, bisa buka link Hukum Online. Kalau enggan buka, ya saya cantumkan deh kutipannya.
Penghinaan terhadap lambang Negara diatur dalam Pasal 154a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
“Barang siapa menodai Bendera Kebangsaan Republik Indonesia dan Lambang Negara Republik Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.”
BACA JUGA: Menulis Itu Boleh Menggiring Opini kok!
R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Beserta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menodai adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghina.
Pasal 57 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”) juga mengatur larangan bagi setiap orang untuk mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara.
Sanksi pidana bagi yang melanggar ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 68 UU 24/2009:
“Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pancasila Sebagai Dasar Negara
Dalam Pasal 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara (“TAP MPR 1998”) ditetapkan bahwa pancasila sebagai dasar Negara, pasal tersebut berbunyi:
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.”
Bahwa Pancasila bukanlah lambang Negara, melainkan merupakan dasar Negara. Lalu adakah ancaman pidana bagi penghina Pancasila sebagai dasar Negara?
Berdasarkan wawancara kami via telepon pada 1 Februari 2017 dengan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, Pancasila merupakan dasar Negara bukan lambang Negara. Ini karena yang disebut dengan lambang Negara dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebagaimana juga telah dijelaskan di atas berdasarkan UU 24/2009.
Pidana Bagi Orang Yang Menghina Pancasila
Sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, Pancasila merupakan dasar Negara. Lantas apa pidana bagi orang yang menghina Pancasila sebagai dasar Negara?
Berdasarkan hasil wawancara kami pada 2 Februari 2017 dengan Arsil Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Pancasila bukan lambang Negara, melainkan dasar Negara. Tidak ada ketentuan yang dapat mempidana penghinaan terhadap dasar Negara. Jadi mengusut atau mempidana penghina Pancasila sebagai dasar Negara dengan pasal penghinaan terhadap lambang Negara adalah salah.
Jadi bisa disimpulkan, Pancasila adalah dasar Negara, bukan lambang Negara. Oleh karena itu tidak ada pengaturan pidana bagi pelaku penghinaan terhadap Pancasila sebagai dasar Negara.
Meski begitu, apakah dengan ini semua orang bisa bebas menghina/merendahkan Pancasila? Tunggu dulu, itu tergantung konteks dan etika masing-masing, apakah pantas berbuat seperti itu yang notabene makan, minum, buang hajat di atas tanah air Indonesia? Monggolah yang jelek jangan ditiru nggih!