Pekalongan – Ada cerita yang mengharukan pada saat peluncuran buku “Garang Asem H. Masduki: Cita Rasa Kuliner Pekalongan” di Garang Asem H. Masduki tadi pagi (Minggu, 10/11/2019). Dituturkan oleh pengarang buku itu, Mas Taufiq Emich, jika penerbitan buku yang ditulisnya itu tidak lain sebagai wujud baktinya kepada gurunya, almarhum Eha Kartanegara. Mas Emich merasa punya hutang jasa kepada Eha Kartanegara.
Dahulu, kisah Mas Emich, sekitar tahun 1991, ketika perang Irak-Iran berkecamuk, Mas Eha Kartanegara sempat memberi pelajaran berharga pada Mas Emich. Ketika itu, Mas Karta secara tak sengaja membuka sebuah file yang berisi tulisan cerita pendek karya Mas Emich. Saat membaca bagian awal dari cerpen itu, Mas Karta langsung mencabut disket milik Mas Emich dan membuangnya.

Ada rasa kecewa tentu. Tetapi, dari situ Mas Emich akhirnya mengambil sebuah pelajaran penting. Bahwa untuk menjadi seorang penulis itu tidak mudah. Kritik, sepedas dan setajam apapun mesti dihadapi. Selain itu, seseorang yang hendak maju mesti sanggup mengambil pelajaran berharga dari kritik.
Sekian lamanya waktu bergulir, Mas Emich akhirnya dipertemukan dengan Pak H. Slamet Sudiyono, pemilik Garang Asem H. Masduki. Pak Slamet adalah putra tunggal dari H. Masduki. Melalui pertemuan itu, Pak Slamet menyampaikan sebuah maksud. Ia ingin menuliskan rekam jejak ayahnya dan usaha rumah makan yang dirintis ayahnya itu. Tetapi, ia sangat berharap bahwa buku itu ditulis oleh almarhum Eha Kartanegara.
Sontak, Mas Emich terkejut. Ia merasa ada sesuatu yang sengaja membuat pertemuan itu terjadi. Ada sesuatu yang mengantarkannya pada sebuah pengalaman masa lalu. Peristiwa itu menjadi sebuah pesan, bahwa ia harus menuliskannya. Menggantikan peran gurunya, Mas Karta.
Mulailah ia menulis. Tetapi, soal apakah dalam proses penulisan buku itu ia merasakan energi kehadiran sang guru, tidak ia ceritakan. Ya, mungkin saja ada. Setidaknya melalui ingatannya atas peristiwa masa lalunya bersama Mas Karta. Begitulah guru. Ia tak akan pernah terhapus dari ingatan para muridnya. Begitu pula pada diri Mas Emich, tak bisa melupakan gurunya. Baginya, Mas Karta adalah sosok yang penuh kasih sayang.
“Mas Karta itu lembut dan penuh kasih sayang. Marahnya Mas Karta adalah wujud dari cintanya kepada murid-muridnya,” pungkas mas Emich.