KOTOMONO.CO – Sejak pandai berdandan, wajah Kota Pekalongan mulai berubah. Ada banyak hal baru yang ia tunjukkan. Semuanya tampak gemerlap dan terkesan mewah. Tetapi, di balik kemewahan itu rupanya ada pula hal-hal yang ditinggalkan bahkan hilang.
Dulu, sewaktu masih kanak-kanak, setiap jelang bulan Puasa, di atas meja makan yang besar selalu tersaji beberapa bungkus makanan. Ada yang ditangkir, ada pula yang dipincuk, ada juga yang ditum. Saya memang tak pernah bertanya tentang asal makanan itu. Tetapi, saya tahu persis, itu pasti pemberian dari para tetangga.
Maklum, kondisi ekonomi keluarga saat itu memang jauh dari kata cukup. Mak saya hanya seorang buruh batik yang harus ngopeni adik-adiknya dan tentu saya, anaknya. Upah mingguan yang diterima hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta nyicil bayar utang. Jadi, tidak cukup uang untuk bikin bancakan.
Maka, hari-hari menjelang bulan puasa bagi saya adalah hari-hari yang menyenangkan. Selain Mak saya nggak perlu repot-repot memasak, selalu saja ada makanan yang datang dan memenuhi meja makan warisan Mbah saya. Mungkin, itu satu-satunya barang mewah di rumah Mak saya, waktu itu. Meja itu terbuat dari kayu jati. Ukurannya kira-kira 2 x 2,5 meter. Di bagian bawah atau longan, cukup ruang untuk berjongkok.
BACA JUGA: Tradisi Nyerep Para Juragan Batik Mencari Pekerja Pengganti
Biasanya, meja besar itu berpasangan dengan rusban. Semacam kursi kayu panjang yang di bagian punggung kursi ada sandarannya. Di kanan-kirinya juga terdapat pegangan tangannya. Bentuknya sih sederhana. Bahkan nggak ada ukirannya.
Nah, untuk mendapatkan makanan itu, saya perlu mengatur strategi. Saya harus lebih dahulu mengambilnya dari atas meja. Kenapa? Karena kalau Om saya tahu, ia akan cepat-cepat pula meraih makanan itu. Ya, kami biasa berebut makanan bancakan. Kata Om saya, menyantap makanan bancakan itu baik untuk tubuh, karena sebelum dibagikan biasanya makanan itu didoai. Jadi, soal rasa makanan tidak lagi dipentingkan. Yang dipentingkan adalah doa pada makanan itu. Kami yakin dengan doa itu ada banyak berkah yang menempel pada makanan itu.
Saya, tentu, percaya saja. Apalagi di masa itu saya belum mengenal buku-buku yang mengajarkan cara berpikir logis dan rasional ala Descrates, atau buku-buku aneh tulisan Bertrand Russel. Bisa dibilang, saya waktu itu masih belum tahu apa-apa kecuali bercita-cita ingin jadi pilot, dokter, dan lain-lain.
Lalu, apa saja yang tersaji dalam bungkusan-bungkusan makanan itu? Ada beberapa menu yang berbeda-beda di antara bungkusan-bungkusan itu. Ada yang isinya nasi megono dicampur uraban kacang panjang, plus telor dadar. Ada juga yang isinya nasi rames plus telur dadar. Juga ada yang isinya ketan srundeng, atau ketan item. Tetapi, ada satu jenis makanan yang sama dan selalu ada di dalam bungkusan itu. Yaitu, apem.
BACA JUGA: Tradisi Pasar Malam dan Kliwonan Masyarakat Batang
Bentuknya tidak sama dengan apem Kesesi. Apem ini seukuran koin uang bergambar gunungan wayang. Kalaupun lebih besar, selisihnya tak jauh. Warnanya putih karena bahan utamanya adalah tepung beras. Rasanya agak-agak ada asamnya. Biasanya, di tiap bungkusan makanan itu ada dua buah.
Waktu itu saya nggak terlalu memperhatikan. Apa sih maksud dari itu semua? Yang saya tahu, itu sudah kebiasaan orang-orang kampung. Tradisi kalau istilah orang-orang sekolahan.
Baru setelah agak bisa diajak mikir, saya mulai penasaran. Saya mulai menanyakan kepada orang-orang tua di kampung. Jawab mereka, tradisi itu dulunya jadi salah satu cara para wali berdakwah. Misi utamanya, mengajarkan orang-orang untuk mau berbagi dengan tetangga. Ya, sedekahlah.
Dengan sedekah, diharapkan pula agar warga bisa saling menjaga kerukunan dan guyub. Tidak mudah tercerai berai hanya oleh hal-hal yang tidak prinsip. Maka, boleh dibilang sega berkat atawa bancakan itu tadi sebagai tanda syukur si pemberi kepada Gusti Allah karena dianugerahi rezeki yang berlimpah. Juga sebagai simbol persaudaraan di antara warga sekampung.
Tak puas dengan jawaban itu, saya masih mengejar jawaban lain. Terutama soal apem. Mengapa harus ada apemnya?
Apem itu krenah. Maka, harus ada. Mengapa? Karena yang diberi itu biar nggak ngapem alias manyun. Lha kalau nggak diberi kan bisa ngapem alias manyun, karena merasa nggak kebagian. Kalau sudah manyun, hubungan antar tetangga pun bisa terganggu dan rusak.

Hm… masuk akal juga. Tapi, miturut informasi dari dunia maya, apem itu adalah simbol permintaan maaf. Konon, dulu apem hanya disantap oleh keluarga istana Kesultanan Pajang. Makanan istimewa keluarga raja.
Tapi, karena ada kebutuhan syiar agama, para wali, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga, mengolahnya menjadi sajian khas bagi warga biasa. Kata apem kemudian dimaknai sebagai pengucapan dari kata affun atau afuwun (bahasa Arab) yang artinya ampunan atau maaf. Maklum, bagi orang Jawa, meminta maaf itu bukan perkara mudah. Ada gengsi. Tetapi, dengan cara memberikan apem itu, secara tidak langsung permintaan maaf itu tersampaikan tanpa harus mengucapkan kata maaf.
Oh… gitu. Wah, wah, waaah… lha kalau gitu ya sebenarnya keberadaan apem itu menjadi penting. Nggak cuma perlu dilestarikan, melainkan pula kudu dijadikan sesuatu yang bernilai lebih. Sayang, keberadaan apem ini di sebagian kampung saya agaknya mulai sulit ditemukan saat jelang bulan puasa begini. Kalaupun ada, tak banyak.
BACA JUGA: Batik itu Bukan Ilmu Sembarangan Lho, Tenan!
Serbuan modernisme yang demikian keras menghantam cara berpikir warga, agaknya membuat apem mulai ditinggalkan. Ada yang berpikir, itu nggak praktis dan mubazir. Ada juga yang beranggapan itu bukan sesuatu yang prinsip. Makanya, tradisi megengan di era kekinian bagi sebagian orang justru digunakan untuk berburu belanjaan di supermarket. Membeli barang-barang yang belum tentu juga akan digunakan. Sampai kadang lupa berbagi apem sebagai simbol permintaan maaf kepada tetangga. Malah, pamer barang baru pula. Waduh!
Ya, mungkin karena apem sudah tidak dianggap penting lagi. Padahal, menurut saya, apapun yang dihadirkan di dunia ini sesungguhnya memiliki makna. Sekecil apapun itu. So, jangan deh kita ngrasa lebih penting dari sebutir debu sekalipun.
Iya lho! Walau kecil ukurannya, ketika diterbangkan angin dan menghunjam mata, kita bisa merasakan betapa sebutir debu itu perih rasanya di mata. So, nggak ada sesuatu pun yang remeh di dunia ini. Maka, ketika kita menganggap sesuatu itu remeh, sebenarnya kita sedang meremehkan diri sendiri. Dan kelak, alam akan memberikan pelajaran penting tentang sesuatu yang remeh itu.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya