KOTOMONO.CO – Setelah sekian lama ia hidup, kini ia merasa bosan. Masuklah ia pada tahap kehidupan paling akhir dari semua episode yang telah berlalu. Ia mulai berkarib dengan rencana-rencana. Dan baginya, rencana paling dahsyat di antara sekian banyak rencana yang ia rancang itu, adalah mencari hari baik untuk kematiannya.
Diambilnya kalender. Dilihatnya hari, tanggal, dan bulan-bulan yang belum dilalui. Lalu, ia mulai sibuk menghitung. Jari-jarinya gemetaran. Mulutnya komat-kamit. Entah, rumus hitung mana yang ia pakai. Hanya ia yang tahu. Selalu begitu hari-harinya.
“Dari tadi Bapak kok mbolak-mbalik kalender. Kayak mau ada hajatan saja. Ada apa to, Pak?” tanya istri Marbun yang diam-diam memperhatikannya sejak tadi.
Pertanyaan itu lenyap dari pendengaran, Marbun tetap sibuk menghitung. Tatapannya menerawang. Seperti ada peristiwa besar yang akan ia buat.
“Welah, ditanya kok malah bengong,” gugat istrinya.
Tak kuasa menyaksikan adegan yang dingin itu, Lastri mendekat. Melekatkan perasaan dan pikirannya sedekat mungkin. Disentuhnya pundak Marbun, sambil berkata, “Pak, ada apa to? Dari tadi mbolak-mbalik kalender?”
“Oh, anu Bu, Bapak sedang membuat rencana besar untuk keluarga ini,” jawab Marbun sekenanya. Lalu, kembali pada hitungannya lagi.
“Bapak mau bikin hajatan?”
Sejenak Marbun berhenti menghitung, lalu sebentar menjawab singkat, “Ah, kira-kira begitu.”
Tingkah Marbun semakin membuat Lastri snewen. Sepertinya sia-sia saja ia ada di dekat seorang suami yang ia dampingi empat puluh tiga tahun lamanya. Begitulah Marbun. Tak bisa nyambi kalau sudah kadung serius. Perhatiannya habis untuk segala yang dipikirkannya. Hal-hal lain, bisa sangat diabaikan. Lasti hanya bisa maklum.
“Pak… Pak, anak-anak kita itu kan sudah pada mentas? Sudah nikah. Hajat apa lagi?” tanya Lastri.
“Sekali waktu, seumur hidupku, aku ingin membuatmu merasa sebagai wanita yang paling bahagia di dunia ini, Bu. Mau kan?” jawab Marbun sekenanya.
Seketika Lastri tersipu. Menyela di antara ulas senyumannya, ia berkata, “Oh… itu. Itu kan masih lama, Pak. Masih tujuh tahun lagi.”
“Lho tujuh tahun itu tidak lama
Kali ini, pertanyaan itu membuat hitungannya terhenti. Marbun mulai berpikir mencari akal untuk menjawabnya. Ia tak mungkin memberi jawaban yang terus terang. Tetapi, ia juga akan bersalah jika ia memberi jawaban yang dusta. Ini tak boleh dibiarkan terjeda dalam waktu lama. Jawaban itu harus diberikan dalam waktu seketika, agar tak timbul pertanyaan yang menyimpan perasaan curiga.
Dijawablah pertanyaan itu dengan enteng dan sekenanya, “Ah, Ibu ini…. Boleh dong, Bapak sewaktu-waktu bikin kejutan untuk Ibu. Hm? Gimana?”
Ah, rupanya jawaban itu agak melegakan sementara. Senyuman sang istri seketika itu mengembang. Ada pula rona wajah malu-malu terpancar dari bola mata istrinya yang cantik itu.
“Nah, sekarang ini teh Bapak habis. Boleh Bapak minta tolong dibuatkan lagi teh yang paling enak di dunia. Ya, teh buatan Ibu adalah teh paling nikmat di dunia,” rayu Marbun.
“Bapak ini bisa saja. Dari dulu tak berubah,” ucap istrinya dengan sunggingan senyuman yang menawan.
Lalu, Marbun kembali dengan hitungan hari itu.
Keesok paginya, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, tangannya yang biasa memegang koran tiba-tiba memegang kalender. Kembali pada hitungan hari.
“Lho, belum selesai juga to, Pak?” seloroh istrinya yang datang mendekat dengan secangkir kopi.
Sejenak menghela napas, lalu ia menjawab singkat, “Hmm… iya. Belum.”
“Nih, kopinya Pak. Diminum dulu, keburu dingin.”
“Terima kasih, sayang.”
Sebentar kemudian ada ruang jeda menyela di antara pembicaraan mereka. Jeda itu dibiarkan diisi oleh kicauan burung yang ada di halaman rumah. Sang istri sangat mengerti, ia tak mungkin mengajukan pertanyaan di saat-saat seperti ini. Ia tahu, pertanyaan tidak akan membantu apa-apa, kecuali membuat suaminya merasa kerepotan.
Hanya dialog kecil sebagai pengisi ruang kosong. “Bapak ini loh, kalau sudah serius, apa-apa dipikirkan begitu njelimet. Sampai-sampai lupa waktu istirahat,” ucapnya sembari mulai memijat-mijat bahu suaminya dengan lembut.
“Ibu ini loh, kayak nggak ngerti Bapak saja.”
“Ngerti sih ngerti, Pak. Tapi ingat, Bapak juga perlu jaga kesehatan. Ingat juga umur Bapak itu sudah tua, tenaganya juga nggak sama ketika waktu muda. Mbok jangan terus-terusan nyiksa badan gitu to, Pak,” sahut istrinya.
Marbun tersenyum. Ia merasa perhatian istrinya itu sungguh ungkapan kasih sayang yang hanya satu-satunya ia dapat dari orang yang ia kasihi. Begitu mendamaikan.
“Bu, selagi Bapak kuat, Bapak rasa tidak masalah. Yang penting, apa yang Bapak rencanakan ini berjalan dan jangan sampai ada kendala, Bu. Bapak hanya memastikan itu.”
“Bapak memang tak pernah berubah dari dulu.”
“Tapi Ibu sayang to, sama Bapak?” goda Marbun.
Pijatan lembut istri Marbun terhenti sejenak. Lalu, ditariklah kedua telapak tangan istrinya itu, hingga membuat wajah sang istri bersandar pada bahu Marbun. Ditatapnya kini wajah sang istri dengan penuh kelembutan. Lalu, diciumnya kening sang istri.
“Pak, kadang kala Ibu mikir, bagaimana ya caranya agar membuat Bapak itu bisa menikmati masa-masa pensiun tanpa diganggu oleh kebiasaan Bapak mikir. Tetapi, rasa-rasanya sulit. Dari dulu, Bapak memang sukanya mikir. Ada apa saja, Bapak selalu ikut memikirkan. Padahal, belum tentu itu menyangkut kehidupan Bapak sendiri, juga kehidupan keluarga. Tetapi, begitulah Bapak. Semua serba dipikirkan.”
“Kau benar, Bu. Kau benar. Bapak memang suka kepikiran kalau ada apa-apa. Tetapi, bukan karena takut. Bukan juga karena merasa harus ikut memikirkan. Ini semua, karena Bapak selalu berpikiran bahwa segala yang terjadi di sekitar kita mau tidak mau kita akan kena pula getahnya sekalipun kita tidak ikut ambil bagian. Kewaspadaan menjadi perlu, agar kita tidak terjebak di dalam kubangan yang berlumpur,” ungkap Marbun.
“Sekarang, Bapak sudah pensiun, Pak. Lalu apalagi yang menjadi pikiran, Bapak? Rasa-rasanya Bapak kok nggak berhenti mikir to, Pak?” gugat istrinya.
Marbun tertunduk diam. Kalender yang mula-mula ia pegang itu ditaruhnya di atas meja. Sejurus kemudian, ia beringsut dari kursi kayu kesayangannya. Lalu, didekatinya gramofon peninggalan ayahnya. Diputarnya sebuah piringan hitam.
Kini alunan musik klasik memenuhi ruangan. Marbun mendekat, kemudian mengulurkan tangan pada istrinya, sebagai tanda ajakan berdansa. Disambutlah tangan itu dengan senang hati. Mereka tenggelam dalam lautan nada. Merasakan betul waktu yang hampa dari segala yang mengganggu pikiran. Rencana tentang kematian seketika itu ikut tenggelam hingga ke dasar tanpa sanggup lagi muncul ke permukaan. Jelang nada terakhir, keduanya menemukan puncaknya.
“Kau benar, istriku, ada banyak hal yang sebenarnya tak perlu dipikirkan. Dan sebenarnya hanya ada sedikit hal yang menjadi perlu dipikirkan. Kita kadang terbalik memahami itu,” ucap Marbun tepat di nada akhir dari musik yang ia putar.
***
Pagi berikutnya, Marbun tampak duduk di kursi kayu kesayangannya itu lagi. Di tangannya, masih terpegang kalender yang sama. Sementara sang istri tengah sibuk di dapur. Sejak semalam, ia telah merencanakan, jika hari ini ia akan memberikan kejutan pada suami tercintanya. Ya, ia ingin memasak sayur sop kesukaan suaminya itu.
Ia juga telah menghubungi semua anak dan menantu untuk datang pada hari ini. Sebab, hari ini adalah hari ini adalah hari yang akan menjadi hari penuh kenangan indah. Terutama, sejak Marbun pensiun dari pekerjaannya. Sedikit memaksa mereka, sang istri meminta semua anak dan menantunya izin cuti dari tempat kerja.
Ia juga berpesan pada semua anak dan menantu untuk mengajak serta anak-anak mereka. Tetapi, tidak boleh ada dari mereka memberitahukan rencana kedatangan mereka kepada Bapak. Rencana itu berjalan mulus. Semua anak dan mantunya mengiyakan. Mereka juga mempersiapkan untuk membawa buah tangan untuk Bapak. Semua datang tepat pada waktu yang telah dijanjikan.
Di halaman belakang, tempat Marbun duduk sambil menghitung hari, semua diam-diam berjalan mendekat ke arah Marbun yang duduk dengan kalendernya. Saling pandang dan memastikan tak ada suara sedikit pun. Mereka juga sangat berhati-hati membawa barang-barang bawaan yang dipersiapkan untuk Marbun.
Semakin dekat, semakin mereka berhati-hati. Semakin mengendap. Lalu, begitu jarak mereka amat dekat, Ibu memberi kode hitungan. Ia berbisik lirih, “Satu, dua, tiga!”
“Selamat ulang tahun, Bapak!” serempak suara mereka memenuhi ruangan.
Tetapi, sama sekali tak ada reaksi dari Marbun. Ia hanya tertunduk memandangi kalender. Semua saling pandang. Lalu, “Paaaak…. Pak…. Paaaak…. Bapaaaaaak!” jeritan itu melengking. Sang Ibu meraih tubuh suaminya lalu dipeluknya erat. Anak-anak mereka juga turut mengerubuti tubuh Bapak mereka.
Tubuh Marbun lemas. Makin dingin dan beku. Tak ada daya. Tak ada lagi napas sebagai tanda kehidupan. Tak ada lagi detak jantung. Sementara pada kalender yang dipegangnya, sebuah tanggal dilingkari dengan tinta warna hitam. Tanggal itu, bagi Marbun, adalah hari baik bagi kematian yang selama ini ia rencanakan. Dan tanggal itu, adalah tanggal hari ini.
Baca juga tulisan-tulisan Cerpen menarik lainnya