KOTOMONO.CO – Belum lama ini, ya sekitar beberapa hari yang lalu, saya menghadiri sebuah acara diskusi sekaligus peluncuran majalah di sebuah kampus, tentu saja di Kota Pekalongan. Cukup lama saya tidak menghadiri acara semacam ini.
Kesibukan mengurung saya, sampai-sampai tidak ada waktu menghadiri semacam acara diskusi. Lagi pula, saya juga tidak pernah diundang dalam acara semacam itu. Ya, wajar saja. Kemampuan berpikir saya sedikit buntu ketika menghadapi teori-teori bernuansa akademis, yang ditafsirkan seenak jidat.
Soal acara tersebut, saya pun tidak diundang sebenarnya. Ya, iseng saja. Karena kebetulan malam itu, saya lagi nggak ada kerjaan.
Meski tidak disampaikan, saya paham diskusi itu mengusung pendidikan kesetaraan gender. Anggapan itu muncul karena tema majalahnya demikian. Entah apa maksudnya. Tapi saya rasa, isu ini sangat menarik, sekalipun tidak perlu dikasih embel-embel kata “pendidikan” di depannya.
Saya rasa, tidak perlu dijelaskan urgensinya kesetaraan gender di tengah orang-orang yang, makin tidak peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Oke, mari kita membahas bagaimana jalannya diskusi tersebut. Dari awal, saya datang berniat untuk bertukar pikiran. Barangkali melalui diskusi tersebut, saya yang sangat awam soal kesetaraan gender mendapat insight baru. Syukur-syukur kalau bisa dapat pacar.
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Ealah. Alih-alih mendapat pacar yang bisa dibawa pulang, saya justru ketambahan beban pikiran baru soal kesetaraan gender. Lho, ini gimana sih? Mau nggak mau, beban itu harus saya bawa.
Dalam diskusi, alih-alih memperoleh pemahaman gagasan soal kesetaraan gender, yang saya dapatkan justru hal-hal yang bernuansa sejarah. Hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan perempuan di masa lampau. Hal-hal yang semestinya saya dapatkan ketika diskusi bersama pegiat sejarah seperti Om Dirhamsyah.
Betul memang, kesetaraan gender dan perjuangan perempuan bertalian erat. Di Indonesia, kita mengenal sosok Kartini. Dia perempuan, dan dia memperjuangkan hak-hak perempuan di eranya. Hak-hak yang dirampas, seperti halnya hak pendidikan.
Sampai di sini, saya tidak bersedia untuk menceburkan diri ke perdebatan soal Kartini. Selain tidak menguasai betul, bukan itu yang ingin saya utarakan.
Begini. Sebelum kita lanjutkan, saya akan berikan batasan terlebih dahulu soal apa itu gender.
Nah, yang perlu dicatat, gender bukan perempuan atau laki-laki. Ia adalah apa yang melekat pada laki-laki maupun perempuan. Sementara, laki-laki dan perempuan sendiri itu adalah jenis kelamin. Kalau vagina dan penis, itu alat kelamin.
Yang perlu dipahami, gender bisa berbagai macam. Selain sifat bisa juga peran. Misalnya, perempuan itu memasak, irasional, dan terlalu sensitif. Sedangkan, laki-laki itu kuat, pekerja keras, dan sebagainya. Begitulah yang saya pahami soal gender. Jika ada yang tidak sepakat, silakan.
BACA JUGA: Perempuan Sarjana Tanpa Karir
Ketika pemahaman saya soal gender begitu, maka yang saya pahami soal kesetaraan adalah, menghapus segala yang melekat di dalam diri perempuan dan laki-laki. Ingat! Perempuan dan laki-laki, bukan hanya perempuan saja, atau laki-laki saja. Aktivis gender dipersilakan untuk menambahi. Hehe.
Dengan kata lain, untuk mewujudkan apa yang disebut kesetaraan gender adalah dengan cara mengubah sudut pandang. Kita mesti melihat laki-laki dan perempuan dari kacamata kemanusiaan. Itu saja.
Sudah paham? Jika belum, saya sederhanakan begini. Kita mestinya melihat perempuan maupun laki-laki, tanpa memikirkan peran sampai sifat yang melekat pada keduanya yang menciptakan konstruksi sosial.
Saya rasa, kita nggak bisa memandang perempuan itu lembek, irasional, emosian, dan lain sebagainya. Begitu pula kita tidak bisa memandang laki-laki itu mesti kuat, pekerja keras, dan sebagainya. Kita juga tidak bisa menilai, oh hebat ada perempuan bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki. Atau oh hebat, ada laki-laki melakukan pekerjaan perempuan.
Kalau kita masih begitu, itu artinya kita masih bias gender. Kita masih belum bisa memandang perempuan dan laki-laki sebagai manusia seutuhnya. Paham? Sampai sini penjelasan saya mudah-mudahan bisa dipahami. Karena saya sudah kehabisan kata-kata untuk menjelaskan itu.
BACA JUGA: Pendidikan dan Strategi Mendorong Perempuan Berkemajuan
Balik lagi ke diskusi kesetaraan gender yang saya ikuti. Entah ini perasaan saya saja atau bagaimana, saya kok merasa diskusi kesetaraan gender malam itu, sama sekali tidak ada nuansa kesetaraan gender. Apa yang disampaikan, entah pemantik atau apalah itu namanya, melengos dari yang disebut kesetaraan gender.
Biar nggak menggeneralisir, saya rasa malam itu bukan pemantik saja, tetapi beberapa yang angkat bicara. Saya sendiri juga mungkin demikian. Wadadaw! Etapi, tak mengapa. Karena dari situ, saya jadi punya refleksi baru, tentu saja buat bahan tulisan. HAHAHAHA.
Begini… begini… Jika ingatan saya nggak mblenjani janji, seorang pemantik mengatakan, kebudayaan kita lebih banyak dibangun perempuan. Beliau mengatakan di Pekalongan juga sebenarnya banyak aktor pembangunan kebudayaan dari perempuan.
Tepat di titik itulah, sebuah pertanyaan jumpalitan di pikiran saya. Lha terus kalau memang perempuan kenapa? Jika kamu sudah memahami dasar pemikiran saya kok bisa muncul pertanyaan itu, berarti kamu sudah paham penjelasan saya tadi. Jika belum, baiknya saya jelaskan, biar saya nggak ditodong lempar batu sembunyi kaki.
Jadi begini saudaraku, informasi soal katakanlan pelopor kebudayaan di Pekalongan adalah seorang perempuan, sejatinya tidak perlu disebut demikian.
Karena, perempuan atau tidak perempuan, tidak akan mengurangi betapa pentingnya tokoh tersebut dalam khazanah kebudayaan. Kalaupun si tokoh ini berkelamin perempuan, kita tidak perlu menempelkan kelamin perempuan terhadap perjuangannya.
Tidak lantas, karena ia perempuan jadi lebih hebat, terus secara nggak langsung mengatakan kalau si tokoh adalah laki-laki, perjuangannya jadi biasa-biasa saja. Sebab, entah laki-laki atau perempuan, punya posisi yang setara. Sama-sama bisa berjuang, dan tidak ada yang lebih unggul antara satu dan yang lainnya.
Pada kesempatan yang sama, si pemantik menyampaikan bahwa perempuan lebih teliti, sementara laki-laki bertugas untuk mengeksekusi. Hal itu digambarkan dengan kehidupan berumah tangga si pemantik.
Nah, dari situ sudah bias gender. Memangnya, laki-laki tidak bisa teliti? Apakah mungkin perempuan tidak bisa mengeksekusi? Sayangnya, tidak ada peserta yang merespons argumen yang bias gender tersebut, termasuk saya. HAHAHA.
Insight baru soal kesetaraan gender yang saya idamkan, ternyata gagal saya dapatkan dari diskusi tersebut. Ya, tak apalah. Karena toh sesuatu yang kita inginkan belum tentu tercapai. Namun, harapan saya berikutnya ketika film diputar.
BACA JUGA: Isu Kesetaraan Gender dalam Sebuah Majalah Kampus
Oh iya, selain berdiskusi dan meluncurkan majalah, acara ini juga memutar semacam film. Sayang sekali, film yang diputar juga tak mendatangkan insight baru, selain membuat saya mencaci maki film itu. Bukan, saya bukan kritikus film. Namun, film yang diputar itu, menurut saya, sangat mendiskreditkan perempuan.
Film itu tidak jelas premisnya. Film itu hanya merekam pengalaman seorang perempuan pemandu lagu dan pekerja seks komersial, dengan paradigma jurnalisme ludah.
Yang pada akhirnya justru menyudutkan perempuan, sekaligus meremehkan perempuan pekerja seks komersial. Alih-alih menemukan masalah struktural yang menjerat perempuan-perempuan dalam film.
Padahal, andai membicarakan kesetaraan gender, maka yang mestinya muncul adalah mendiskusikan problem struktural, seperti kemiskinan, pendidikan, budaya, sampai niat politik. Jika tidak begitu, omong-omong soal kesetaraan gender tak lebih dari sekadar onani.
Sekian. Saya mau Twitter-an dulu.