KOTOMONO.CO – Seperti halnya kebanyakan orang Indonesia di tanggal 20-an ke atas, saya juga turut merasakan keringnya dompet ketika tanggal tua. Meski demikian, perut yang terlanjur buncit ini memang terus meminta untuk dimasuki sesuatu, lebih-lebih sepulang beraktivitas seharian. Kebetulan laju kendaraan sebuah motor melewati depan rumah. “Sateeee kereeeee” teriak ibu-ibu penjual sate kere itu, mana kata “kere” nya pake dipanjangin lagi.
“Sate bu!”, teriak saya. Segera asap bebakaran membumbung tinggi ke langit, disertai rintik hujan yang memang sejak sore tadi turun. Dalam satu porsi sate kere, saya memesan 4 sate kikil dan 1 sate gembus. Tentu tidak lupa disertai lontong. Semua itu hanya dibanderol Rp 13 ribu saja. Ya maklum, pecinta kikil. Rinciannya satu tusuk sate kikil seharga 2 ribu, untuk sate gembus hanya seribu rupiah saja. Bila ditambah lontong, satunya cukup keluarkan budget Rp 2,5 ribu aja. Sebenarnya diluar sate gembus dan kikil, masih banyak pilihan lain seperti jantung, paru, hati, dan koyor yang semuanya berbahan dasar jeroan sapi.
Bau bakaran khas dan kecap tak lama menyambut menggelitik hidung. Tidak sampai 5 menit, se-pincuk sate kere hadir di meja teras, siap dihabisi perut lapar ini. Rasa bumbu kacang berbaur dengan kecap yang melekat pada sate, ditambah potongan cabe agak pedas, semakin menambah syahdu hawa dingin sore itu.
Sate kere, “kere” sendiri berarti miskin alias ra ndue duit (nggak punya uang). Ya, memang makanan khas Solo yang satu ini lahir dari kesusahan orang-orang di masa lampau. Dulunya, tidak semua kalangan bisa menikmati sate daging. Apalagi kelas bawah yang sangat jarang atau bahkan tidak mungkin bisa menikmatinya. Pada era kolonial, daging adalah makanan yang terbilang mewah. Hanya orang-orang Belanda dan mungkin pegawai ambtenaar saja yang bisa menikmatinya.
BACA JUGA: Anti Mainstream, Sate Emprit ini Menjadi Kuliner Khas Kediri Yang Istimewa
Sedangkan masyarakat kelas bawah hanya mampu menahan keinginan melahap daging yang enak itu. Untuk menjawab rasa keinginan yang tidak tersampaikan, dibuatlah sate kere dengan bahan dasar jeroan sapi yang memang lebih murah ketimbang daging. Pada masa itu jeroan adalah bagian sapi yang memang dibuang dan tidak dimanfaatkan.
Ciri khas sate kere selain dari jeroan sapi adalah gembus. Gembus sendiri adalah olahan berbahan ampas tahu. Sate jeroan dan sate gembus ditambah lontong yang diguyur sambel kacang dengan topping bawang merah dan irisan cabai adalah definisi sate kere secara lengkap.
Meski sejarahnya adalah makanan kaum kelas bawah, saat ini sate kere menjadi makanan khas yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Mulai dari pejabat pemerintah hingga tukang becak pun turut menikmati kelezatannya. Penjual sate kere juga makin banyak berseliweran di seputaran kota Solo. Mulai dari yang menetap dengan gerobak sederhana, hingga yang mider alias muter ke gang-gang menjajakan sate kere.
BACA JUGA: Coffee Shop Terracotta Ter-epic di Jogja, Mohan Cafe
Dengan adanya penjual mider ini, sangat menguntungkan sekali bagi pembeli untuk ngirit bensin keluar rumah. Kita tinggal duduk manis dan menanti. Kira-kira antara jam 15.00 sampai 17.00 bila tiba-tiba tercium aroma sate, segera beranjak dan memanggilnya. Sate kere ini cukup mengenyangkan. Potongan lontong dan sate gembus sering mengajak saya untuk berandai-andai bak sate daging yang enak itu. Terlebih di tanggal tua seperti sekarang, sate kere adalah solusi win-win untuk tetap kenyang di kala dompet menipis.
Kalau mampir ke Solo, ada beberapa spot penjual sate kere yang bisa kalian datangi untuk mencoba kelezatannya. Yang pertama dan cukup terkenal adalah sate Yu Rebi. Lokasinya tepat di belakang Stadion R.Maladi Sriwedari, itu lho tempat pertama diselenggarakannya PON. Tepatnya ada di Jalan Kebangkitan Nasional no.2. Selain bisa menikmati sate kere, dekat dari situ juga ada Monumen Keris dan kalau mau jalan agak jauh dikit ke arah timur ada Gedung Wayang Orang Sriwedari.
BACA JUGA: Sate Apus, Kuliner yang Bener-bener Nge-Prank Khas Solo
Yang kedua adalah sate kere dekat Pasar Burung Depok. Sate kere ini bertempat di di pertigaan sebelah utara pasar, sebelum SMK Tunas Pembangunan. Gerobaknya kecil, warna hijau. Tapi kalau semakin sore, banyak orang mengantri untuk jajan sate kere disitu.
Ketiga, adalah sate kere Mbah Tugiyem Jebres. Sate kere yang satu ini kesukaan Pak Jokowi lho guys. Tepatnya berada di Jalan Arifin no.63, Jebres. Kalau kalian lewat perempatan Pegadaian, ambil kanan lurus sedikit lalu tengok kiri jalan. Jika bingung, banner bertuliskan “Sate Presiden” akan menyambut kalian setelah masuk Jalan Arifin. Tapi tenang, sate yang satu ini tidak dikawal Paspampres kok.
Itulah sate kere. Sebuah makanan yang tadinya dari bahan “buangan”, diolah secara kreatif oleh masyarakat Solo pada masa kolonial. Kini bertransformasi menjadi makanan khas yang tak lagi membeda-bedakan kelas sosial. Bahkan presiden pun juga turut menikmatinya. Makin kenyang, makin nyaman, yuk healing ke Solo!