KOTOMONO.CO – Mereka percaya covid ada, tapi tidak percaya semengerikan ini.
Kabar duka susul menyusul datang. Tempo hari, empat saudara saya meninggal. Satu sempat dibawa ke rumah sakit tapi hanya bisa mendapat perawatan di selasar rumah sakit saking penuhnya. Hingga keluarga memaksa untuk dibawa pulang dan tak butuh waktu satu hari, akhirnya meninggal. Tentu saja diiringi dengan drama yang katanya pihak rumah sakit mau meng-covid-kan, tersebar dari mulut ke mulut, dan akhirnya dipercaya sebagai kebenaran.
Usai itu, belum genap seminggu, saudara saya meninggal lagi. Lalu genap seminggu setelahnya, saudara saya satunya meninggal. Kemudian, baru juga tiga hari, saudara yang bahkan sempat mengantar ke kuburan saudara pertama saya yang meninggal, kini juga ikut menyusul. Semuanya karena sakit, dan ketiganya tak sempat dibawa ke rumah sakit, barangkali terlalu mempercayai rumah sakit meng-covid-kan pasien agar dapat insentif atau percaya kalau di rumah sakit makin tidak terurus.
Duka berjalan terus, tapi masih banyak yang denial. Mereka percaya covid ada, tapi tidak percaya semengerikan ini. Tidak percaya rumah sakit, dan tidak percaya vaksin. Lantas, bagaimana mungkin pandemi berakhir jika semuanya bersandar pada ketidakpercayaan?
Saya baru menyadari, hoax silih berganti datang dan mengalir deras seperti air terjun tanpa bisa dikendalikan. Suatu sore, saya duduk bersama ibu-ibu yang dengan bangganya membagikan informasi soal vaksin. Mereka bilang, vaksin itu bahaya, bisa membuat pendengaran rusak, atau bisa menyebabkan orang meninggal. Studi kasusnya dari “jarene”.
BACA JUGA: Kata Siapa Pengurusan Jenazah Covid-19 Tak Sesuai Syariat?
Kasus lain, katanya, dokter dan nakes, atau orang rumah sakit itu kaya-kaya, orang tiap ada yang meninggal di-covid-kan. Tiap pasien covid dihargai 90 juta. Banyak pasien meninggal di rumah sakit karena konsumsi obat-obatan. Lebih lucu lagi, ada yang bilang, vaksin itu dipasang microchip.
Jannn… negara kita kok sepertinya kaya sekali. Padahal pas rakyat protes buat lockdown saja negara bilang tidak punya uang, dan malah bikin istilah-istilah njilmet kayak PSBB, PPKM, atau apalah-apalah, yang justru menyengsarakan rakyat bawah.
Soal microchip? Astaga, ngurus administrasi yang berhubungan sama kantor pemerintah saja masih butuh fotocopy KTP, padahal katanya e-KTP. Terus kalian percaya negara kita sehebat itu? Semodern itu sampai bisa bikin microchip? Hambok pikir maneh!
Semakin hari, angka positivity rate dan kematian naik. Bahkan menurut Tempo, Indonesia menempati peringkat tujuh dunia positivity rate-nya. Kurva kian menanjak ekstrem. Akan tetapi test dan tracking tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Ditambah laporan data positif dan kematian yang tak sinkron antara daerah dan pusat. Padahal masalah data ini sudah sengkarut sejak awal pandemi, tapi sampai hampir dua tahun, pemerintah enggan berbenah diri.
BACA JUGA: Serba Kebetulan Rektor Universitas Indonesia dan Istri
Saya tidak akan mengungkit-ungkit lagi perihal melonjaknya Covid-19 karena pejabat yang sembrono dan arogan sejak awal. Namun kok ya bukannya ada perbaikan, pandemi ke sini makin ganas, makin tidak terkendali, dan makin menghawatirkan. Tiap hari kabar duka silih berganti disiarkan. Ambulan meraung-raung dijalanan. Rumah sakit kolaps, tabung oksigen menipis, petugas kesehatan tumbang, para penggali kubur kecapekan, dan relawan kemanusiaan yang minta maaf sebab sudah diambang batas perjuangan.
Sedangkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan, bukannya sigap, malah cuci tangan sana sini. Kematian dianggap hanya deretan angka tanpa makna. Padahal di dalamnya ada orang tua yang kehilangan anak, istri yang menjanda, suami yang menduda, anak yang menjadi yatim-piatu, dan negara yang tidak bisa menjamin hidup rakyatnya. Ngenes sekali, bukan?
Kalaupun warga percaya banyak tetangga mereka yang tiada bukan karena covid, tapi memang sakit dan sedang musim pancaroba, tapi kenapa pancaroba sebelumnya tidak seperti ini? Entah kenapa saya yakin, ada banyak tetangga kita yang meninggal karena corona, hanya saja menjadi warga atau keluarga yang positif Covid-19, sampai hari ini masih menjadi aib.
Stigma negatif terus melekat, entah muasalnya darimana. Maka dari itu, sebagian besar yang sakitnya terindikasi positif, mereka enggan periksa. Masih percaya dengan jamu dan obat herbal lainnya.
BACA JUGA: Berterimakasih pada Lampu Penerangan Jalan atas Jasanya Membuat Angka Covid-19 di Pekalongan Menurun
Oleh karenanya, diantara hoax yang merajalela, kita bisa menjadi counter informasi, sekecil-kecilnya untuk keluarga inti. Barangkali keluarga kita ada yang positif, bisa segera ditindaklanjuti dan ditangani. Terlebih saya yang hidup di desa, tau betul bahwa masyarakat desa riskan sekali terpapar hoax. Salah satu alasannya karena sebagian besar dari mereka memiliki literasi digital yang rendah, dan apesnya, beberapa keluarga ada yang tidak memiliki counter, yang setidaknya bisa mengerem arus hoax.
Dan ya, pada saat seperti ini, kita perlu percaya pada dokter dan rumah sakit, yang menjadi ujung tombaknya. Kita perlu percaya pada vaksin, yang menjadi benteng. Kita perlu untuk selalu mematuhi prokes juga menjaga imun. Sebab kalau kita mati karena positif, hanya keluarga kita yang berduka, negara cuma menganggapnya sebagai angka. Itupun kalau masuk ke data.