KOTOMONO.CO – Media sosial kembali ramai setelah penerbitan Kamus Sejarah Indonesia yang “kontroversial” itu. Bagaimana tidak, buku rujukan yang kelak akan digunakan masyarakat untuk menemukan informasi awal mengenai sejarah Indonesia itu tak disambut gembira. Malah menuai protes dari sejumlah pihak. Terutama berkenaan ketidakmunculan nama K.H. Hasyim Asy’ari dalam kamus dua jilid itu.
Sebagai informasi, Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu terbagi dalam dua jilid. Jilid 1 bertema Nation Formation, berisi tentang sejarah Indonesia pada masa 1900-1950. Sedang jilid 2, dengan tema Nation Building berisi tentang perjalanan sejarah Indonesia era 1951-1998.
Memang, keduanya lumayan tebal halamannya. Jilid 1 tebalnya sampai 347 halaman. Sementara jilid 2 setebal 340 halaman.
Alhamdulillah, saya mendapatkan fail pdf-nya. Lumayan sulit juga saya mendapatkan fail itu. Sejumlah laman ada yang sudah menghapus fail buku itu. Ada juga yang failnya tidak dapat diunduh.
BACA JUGA: Ramadhan, Ramadlan, atau Ramadan?
Mungkin karena gelombang protes yang kadung membumbung, sehingga fail kamus itu agaknya dibikin sulit untuk diunduh. Tetapi, saya menemukan failnya juga di laman web senata.id dan segera saya mengunduhnya. Gratis.
Sebagai seorang yang gemar ngoleksi buku, dapat gratisan buku itu nyenengin banget. Karena selain menambah koleksi buku, saya juga dapat mengakses informasinya. Lebih-lebih karena saya juga penasaran dengan gelombang protes yang sedang ramai itu.
Saking penasarannya, segera saya buka-buka halaman buku tebal itu lewat laptop. Saya gunakan metode baca skiming alias baca cepat. Saya manfaatkan juga fasilitas pencarian cepat pada piranti Adobe Acrobat Reader, pembaca fail pdf itu. Saya ketik nama Hasyim Asy’ari, K.H. pada kotak pencarian. Dengan begitu, mudah bagi saya menemukan dan mendapatkan informasi atas materi pada isi Kamus yang diterbitkan Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Saya memang sengaja menggunakan metode skiming, karena informasi yang disampaikan dalam kamus itu biasanya berbentuk ringkasan-ringkasan. Bisa dibilang semacam informasi awal yang masih harus dilengkapi dengan bahan-bahan bacaan lainnya. Jadi, nggak bisa dianggap sebagai satu-satunya rujukan yang sudah final.
BACA JUGA: Usmar Ismail, Bapak Film Indonesia yang Multidimensi dan Idealis
Dan memang, nama K.H. Hasyim Asy’ari tidak tercantum dalam kedua jilid kamus itu sebagai salah satu nama penting. Nama beliau tidak dimasukkan ke dalam lema atau entri dasar dalam kamus. Meski begitu, nama muncul hanya sebagai bagian dari penjelasan uraian singkat dari sejumlah lema dasar dari kamus tersebut.
Pada jilid 1, berdasarkan urutan abjad, nama Hasyim Asy’ari, K.H. mestinya tercantum pada halaman 87, setelah lema Harada, Kumaichi. Namun, nama itu tak muncul pada halaman tersebut. Malah penyebutan nama K.H. Hasyim Asy’ari muncul dalam uraian ringkas pada lema Abdul Wahab Chasbullah, yang terdapat pada halaman 8 dan 9. Itupun sekadar menjadi bagian dari keterangan dari lema Abdul Wahab Chasbullah.
Hal serupa terulang pada jilid 2 Kamus Sejarah Indonesia. Nama K.H. Hasyim Asy’ari hanya dimunculkan sebagai bagian dari keterangan atau uraian atas sejumlah lema dasar yang terdaftar. Kemunculan nama K.H. Hasyim Asy’ari terdapat pada halaman 11, sebagai bagian dari uraian untuk lema Abdul Wahid Hasyim, K.H.; halaman 37 untuk lema Asnawi Said, Kiai; halaman 104, sebagai bagian dari penjelasan untuk lema Jusuf Hasyim; Halaman 187, dalam uraian penjelasan atas lema NU; halaman 315, untuk menjelaskan lema Wahid Hasyim, K.H.; halaman 316, untuk keterangan lema Wahab Chasbullah, K.H.
BACA JUGA: Buku Biografi Tokoh Ulama Pekalongan yang Layak Kamu Baca
Nah, dari kemunculan nama beliau yang berkali-kali itu saya merasa aneh jika kemudian penyusunan kamus itu tidak memunculkan nama K.H. Hasyim Asy’ari sebagai lema dasar. Sebab, lewat kemunculan nama beliau yang berkali-kali dalam keterangan untuk sejumlah lema itu menunjukkan jika peran beliau tidak bisa dipandang sebelah mata.
Belum lagi, sejumlah sumber rujukan yang digunakan untuk menyusun kamus itu. Tidak sedikit sumber yang menyediakan banyak informasi mengenai ketokohan beliau. Lalu, untuk apa sumber-sumber rujukan itu dicantumkan pula pada bagian daftar pustaka? Apa semata-mata untuk menunjukkan kegagahan kamus itu? Saya percaya tidaklah demikian. Apalagi tim penyusun kamus ini tergolong kaum terpelajar yang tak perlu diragukan lagi kepakarannya.
Tentu, karena beliau-beliau adalah para pakar, penguasaan terhadap metode keilmuan dan penulisan kamus pun tidak bisa disangsikan lagi. Mereka sudah sangat berpengalaman.
Memang, diakui oleh Hilmar Farid, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, bahwa zonder K.H. Hasyim Asy’ari adalah murni kesalahan yang tidak disengaja. Ia juga membantah jika ketidakmunculan nama K.H. Hasyim Asy’ari adalah upaya untuk membuat narasi sejarah baru yang “dipesan”. Meski begitu, ia menyatakan telah menarik buku elektronik itu dari peredaran. Bahkan, ketika saya cek di laman web rumahbelajar.id, softcopy buku itu memang sudah dihapus.
BACA JUGA: Kisah KH. Abdul Gaffar Ismail di Pekalongan
Menariknya lagi, ternyata buku elektronik ini sebenarnya sudah diposting di laman web rumahbelajar.id sejak tahun 2019 lalu. Sementara, pengerjaan buku ini mulai tahun 2017 silam. Kini, setelah sejumlah pihak melayangkan protes, Kemendikbud, melalui Direktorat Jenderal Sejarah, akan segera memperbaiki muatan buku tersebut setelah menarik buku elektronik itu dari peredaran.
Ah, lagi-lagi revisi. Saya jadi ingat, beberapa hari lalu Pak Mendikbud juga menjanjikan akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang bermasalah itu. Dan gara-gara kata revisi, saya kok jadi terkenang zaman masih bikin skripsi dulu ya? Bolak-balik revisi hanya untuk kejar gengsi, dapat gelar sarjana tak tahunya jadi kuli. Dhuh!
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya